Chapter 9

4.1K 188 1
                                    

Aroma menyengat obat-obatan mulai tercium. Dr. Arthur telah lebih dulu memasuki lorong rumah sakit yang tampak sepi. Fea berjalan mengikuti di belakangnya sambil menggendong Sondea. Masker 3M Particulate Respirator N95 sudah siap melindungi pernapasan Sondea dari virus-virus rumah sakit.

Di sepanjang lorong tak banyak lalu lalang perawat ataupun penjenguk lain. Seolah dunia telah menyediakan jalan bagi mereka secara tidak langsung. Sondea tampak menarik-narik pengait masker di telinganya. Merasa tidak nyaman dan setengah menangis. Fea mencoba mengalihkan ketidaknyamanannya dengan bernyanyi-nyanyi riang. Menyibukkan dua telapak tangan Sondea dengan tepukan-tepukan yang dibantu tangannya. Usahanya tak menampakan hasil.  Sondea semakin menjadi. Kini sudah menangis dan sulit ditenangkan.

Ruang perawatan Pak Gandhi tinggal beberapa langkah lagi. Dr. Arthur sudah menarik gagang pintu dan siap masuk terlebih dahulu. Fea yang masih berjalan, terhenti sejenak untuk membuat Sondea lebih kondisional. "Aduuuh sulit sekali ditenangkan anak ini" Fea menggerutu disertai rasa panik.

Dr. Arthur yang sudah di dalam ruang perawatan Pak Gandhi pun tengah sibuk sendiri dengan pembicaraannya bersama sang ayah. Dr. Hilman telah lama tidak bertemu dengan anaknya, tentu banyak sekali cerita yang ingin didengar dari Dr. Arthur.

"Bagaimana keseharianmu nak?".

"Baik yah, masih sama seperti biasa".

"Lalu hubunganmu dengan Fea, apakah sudah menemukan kecocokan?".

"Kami berdua memang tidak berusaha untuk cocok yah. Mengalir saja sesuai kebutuhan dan kenyataan. Setidaknya kami tidak saling menyusahkan, itu sudah sangat baik".

"Baiklah, yang terpenting kehidupan pernikahan kalian tidak menjadi beban untuk masing-masing saja itu sudah baik".

"Karena aku juga tidak tahu dan tidak mau tahu tentang hakikat pernikahan yah. Sudah terjadi ya jalani saja, aku juga tidak berharap akan rasa kepemilikan yang membuatnya semakin rumit".

"Iya, ayah percaya kepadamu nak. Kamu tidak mungkin pula berbuat yang tidak-tidak".

Terdengar bunyi ketukan pintu, yang seketika muncul Fea bersama Sondea dibaliknya. Masih suara tangisan yang keluar dari mulut mungil Sondea. Dengan menanggalkan segala rasa gengsi, Fea mendekati Dr. Arthur dan meminta tolong untuk mencoba menenangkan Sondea.

Diterimanya Sondea dari uluran tangan Fea, Dr. Arthur kemudian keluar ruangan untuk mencoba menenangkan Sondea dengan caranya. Fea mencium tangan Dr. Hilman dan mengucapkan salam. Dr. Hilman tersenyum lebar melihat menantunya yang sangat cantik dan begitu sopan.

"Bagaimana kabarmu nak, apakah Arthur menyusahkanmu?".

Fea tertawa ringan dan melanjutkannya dengan jawaban "Tidak sama sekali yah, kami mempunyai hubungan yang simpel".

Dr. Hilman mengimbangi tawa Fea.

Fea mendekat ke ranjang pasien dan menyentuh tangan ayahnya. Diciumnya tangan itu, kemudian berbalik dan bertanya "Bagaimana keadaan ayah, apakah sudah membaik Dr. Hilman?".

"Ya begitulah, sudah ada pergerakan-pergerakan kecil di jarinya" sambil menunjuk dengan mata ke arah jari telunjuk Pak Gandhi yang tiba-tiba mengalami pergerakan. Fea meneteskan air mata ketika melihat tangan yang sudah setahun lebih terlihat pucat dan tidak ada tanda-tanda kehidupan padanya.

Fea meletakkan tangan itu di pipinya. Merasakan getarannya di kulit pipinya. Menciuminya berkali-kali. Sampai basah terkena air mata yang membanjiri wajah cantiknya.

*********************

Suara Sondea yang sedari tadi menangis, sudah tak terdengar lagi dari dalam ruangan. Tergantikan oleh bunyi tap tap tap derap langkah sepatu mendekat. Yang Fea mengenali langkah itu, Dr. Arthur. Dalam kondisi masih menangis, Fea berpikir sejenak. Tak terdengar suara tangisan Sondea lagi. "Apakah dia berhasil menenangkan Sondea?" Tanyanya pada diri sendiri di dalam hati.

Telinga Fea berusaha mencari-cari suara tangis Sondea, tapi memang hening. Hanya ada suara sesenggukan dari hidungnya sendiri. "Bagaimana bisa dia yang bahkan dalam sehari saja belum tentu menyentuh Sondea, bisa dengan mudah membuatnya tenang".

Tak sabar dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan. Fea memutar leher sembilan puluh derajat ke arah terakhir bunyi tap sepatu berhenti. Benar Fea menemukan Dr. Arthur di sudut matanya. Dan Sondea memang sudah diam dalam gendongannya. Tapi ada satu hal yang aneh. Masker yang meliputi setengah wajah Sondea sudah tidak berada di tempatnya.

"Yahh kalau hanya dengan melepas maskernya seperti itu sih, aku tidak perlu meminta bantuanmu Dr. Arthur" Fea membuka pembicaraan sembari meletakan tangan ayahnya lagi.

"Justru memang seharusnya dilepas sejak awal, karena masker inilah yang membuat dia menangis".

"Kamu ini gimana sih. Bukannya kamu dokter. Bisa membiarkan anak balita tanpa perlindungan di rumah sakit?" Fea hampir memakai nada dasar G5 untuk suara wanita, sebelum menyadari dimana keberadaannya.

"Aku memang dokter, dan aku juga tidak akan marah kalau hanya diomeli seorang aktris karena perkara ini".

Merasa tersinggung Fea hendak marah dan meneriaki Dr. Arthur lebih kencang. Tapi urung, rupanya dia berencana lain.

"Ya baiklah, kau memang lebih tahu tentang hal-hal medis. Tapi kalau sampai Sondea sakit, itu sama sekali bukan urusanku. Jangan libatkan aku, apalagi mengganggu waktu istirahatku". Dr. Arthur mendapat bertubi-tubi ancaman darinya.

To be continued..........................

Wonder Woman RushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang