Dr. Hilman yang menyaksikan pertengkaran menantu dan anaknya, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. "Sondea anak tampan, sini ikut opa" Dr. Hilman membuka tangannya untuk meminta Sondea dari gendongan Dr. Arthur. Sondea menatap Dr. Hilman dengan kilau mata beningnya, khas bayi normal yang belum bisa berjalan.
Dr. Arthur menyingkir dari tepi ranjang pasien, duduk di kursi yang berada di sudut ruang. Fea masih tak bergeming duduk di sebelah ranjang ayahnya, kembali fokus menatap tubuh sang ayah. Dr. Hilman mendekat ke ranjang pasien, kemudian duduk berseberangan dengan Fea. Sondea anteng dalam pangkuan kakeknya, seakan mengerti sedang apa dirinya di rumah sakit. Sesekali jari-jari mungilnya memainkan selimut Pak Gandhi di hadapannya. Tak luput tangan mungil itu meraba-raba lengan kakeknya yang terbaring tak berdaya.
Suasana dalam ruangan itu terasa hening dan memang tidak ada siapapun yang membuka suara. Semua berada di dimensinya masing-masing. Fea masih tetap dalam renungannya. Sudah bukan tentang Nevan ataupun ayahnya, atau Sondea, dan semakin tidak mungkin jika itu Dr. Arthur. Baru saja dirinya teringat atas berkas yang ditemukannya tempo hari. Fea melawan prasangka buruk yang menghinggapi pikirannya. Tapi untuk berprasangka baik pun itu malah menjadi suatu kebodohan. Entahlah, Fea tak mau tergesa-gesa mengambil kesimpulan.
Di sudut ruangan, Dr. Arthur sibuk menekan tombol-tombol layar ponselnya. Rupanya pikirannya masih dikuasai rasa ingin tahu tentang penyakit pasien semalam. Berusaha menggali informasi lebih banyak darinya.
Dr. Hilman semakin asyik dengan Sondea. Berusaha membangkitkan komunikasi batin antara Sondea dan Pak Gandhi. Memperhatikan wajah Pak Gandhi, memastikan atau lebih tepatnya menantikan perubahan raut wajah dan terbukanya kelopak matanya.
*******************************
Tiga puluh menit berlalu, masih tetap sama. Hanya terdengar sedikit ocehan Sondea dan kekehan kecil Dr. Arthur. Fea tersadar, teringat jadwalnya hari ini bertemu Mr. Ransom. Diambilnya ponsel dari dalam tas untuk melihat jam. Sekaligus terlihat pula belasan missed calls dari Furla. Memang Fea sudah hampir dua jam berada di rumah sakit. Dirasanya besukan kali ini cukup.
"Ayah, jam sebelas ini saya ada jadwal bertemu dengan klien" Fea membuka suara kepada Dr. Hilman.
"Hmmm baiklah, ayah pikir besukanmu kali ini juga sudah cukup. Kondisi ayahmu mulai menunjukan progress yang baik. Kalau kalian terlalu lama disini itu juga dapat mengganggu ketenangan ayahmu".
"Baiklah ayah, saya pamit dulu ya" sambil mengulurkan tangan untuk menerima Sondea dari pangkuan kakeknya.
"Kau tidak diantar Arthur?"
"Tidak yah, Furla sudah menjemput saya dan sebentar lagi segera tiba kok".
"Kenapa kalian tidak berusaha untuk kompak dan saling mengenal satu sama lain? Bukankan itu lebih baik".
Dr. Arthur menyahut pembicaraan ayahnya dan Fea. "Ayah jangan mencemaskan kami yah, biar semuanya berjalan secara alami. Kami merasa nyaman dengan cara kami yang seperti ini".
"Tapi mau sampai kapan kalian dalam kondisi stagnan seperti ini terus? Akan lebih baik kalau sebuah keluarga itu ada komunikasi yang intens, merasa saling dibutuhkan satu sama lain".
"Siapa yang berani jamin juga yah? kalau kami berdua berbuat seperti anjuran ayah pasti akan berjalan lebih baik daripada hubungan kami saat ini".
Merasa setuju dengan pendapat suaminya. Fea pun menambahi "betul yah, kami menghargai setiap masukan dan desakan untuk bersikap layaknya keluarga yang hangat. Tapi ini cara kami dan kami merasa baik dengan seperti ini".
"Aaaah sudahlah, terserah kalian saja. Memang susah ya memberi pengertian kepada kalian berdua". Dr. Hilman sedikit kesal tapi tidak menunjukan kepada anak dan menantunya itu.
Fea berjalan mendekat ke Dr. Hilman,mencium tangannya dan berpamitan. Ditutup dengan permintaan supaya mengupayakan yang terbaik untuk ayahnya dan menjaga kesehatan Dr. Hilman sendiri. Meskipun Fea suka berbuat seenaknya, dia pandai pula berbasa-basi yang tidak basi.
Selanjutnya Fea mendekat ke Dr. Arthur, berpamitan padanya juga memberitahu kalau Fea belum bisa memastikan jam kepulangannya nanti malam. Hanya mendapat jawaban singkat dari Dr. Arthur.
"Lalu kau akan tetap disini atau kembali ke tempat praktekmu?" tanya Dr. Hilman kepada Dr. Arthur.
"Akan kembali kesana tapi tidak sekarang. Ada yang ingin kutanyakan kepada ayah tentang penyakit ini". Sambil memperlihatkan layar ponsel kepada ayahnya.
"Baiklah". Dr. Hilman menjawabnya sambil manggut-manggut.
Fea yang sudah berada di ujung pintu melambaikan tangan. Dr. Hilman mengangguk dan memberikan senyuman. Dr. Arthur menanggapinya dengan mengangkat alis sebelah kanannya saja.
Fea meninggalkan rumah sakit dengan perasaan lega. Mengetahui kalau ayahnya sudah mengalami perkembangan yang lumayan. Kini sedikit kehilangan beban dan bisa melangkah lebih tenang.
*********************************
Dalam perjalanan menuju kantor Mr. Ransom, suasana hati Fea sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Yang tadinya melow berubah menjadi gesit lagi seperti dirinya yang sebenarnya. Pikiran tentang ayahnya tergantikan oleh setumpuk berkas yang harus dipelajari. Beberapa kalimat yang harus dihafalnya sebagai influencer brand make up yang diusungnya.
Sambil menyetir, Furla mengarahkan, membetulkan dan memoles Fea secara keseluruhan. Supaya tidak perlu berlama-lama retake yang tentunya bisa membuat mood Fea berantakan.
Furla terlalu bersemangat akan coachingnya untuk Fea. Sampai-sampai tidak menyadari ada motor mendahuluinya dari samping kiri. Padahal Furla sudah sen ke kiri. Tentulah hal yang tidak diinginkan itu terjadi. Kecelakaan yang hanya melukai pengendara motor, tetapi mobil Furla dan motor milik korban bisa dikatakan rusak.
Orang-orang yang berada di lokasi kejadian berduyun-duyun datang mengerumuni asal suara desingan barusan. Membantu pengendara motor yang jatuh ke dalam selokan kering di seberang trotoar. Ya, pengendara itu terpental sekitar 5 meter dari TKP.
Fea dan Furla yang masih di dalam mobil seketika panik dibuatnya. Muncul perasaan takut dihakimi masa di benak keduanya. Dengan sedikit gemetaran Fea keluar dari mobil, tangan kanannya memberi perlindungan untuk Sondea yang berada dalam gendongannya. Disusul Furla turun dari pintu depan.
Gebrakan tangan salah seorang warga setempat di sisa kaca mobil depan yang masih utuh, mengagetkan Furla dan Fea. "Jalan pakai mata dong Bu!" Teriaknya. Fea berlindung di belakang Furla. Furla menarik napas panjang, menyusun kata-kata permintaan maaf yang diplomatis.
Entah naluri apa yang membuat jari-jari Fea menekan layar ponselnya dan mengetik satu nama untuk dihubungi. Dr. Arthur, begitu bunyi susunan hurufnya. Fea cemas sekali, tangannya sedingin es, terbukti dengan adanya bekas sidik jari yang jelas di layar ponselnya. Bunyi nada tunggu kelima, masih belum diangkat juga oleh orang yang dituju.
To be continued............................
Sorry for the late of update 😆

KAMU SEDANG MEMBACA
Wonder Woman Rush
Fiksi UmumShafea seorang wanita karir yang gila kerja tapi juga seorang ibu muda yang ingin membesarkan dan mendidik anaknya sendiri secara sempurna. Ikuti keseruannya menjalani hari-hari sebagai seorang aktris merangkap ibu profesional versinya dan segala dr...