Delapan

336 36 0
                                    

Author pov

Queen turun dari mobil Radja dan melambaikan tangannya pada pria itu lalu jalan menyusuri kompleksnya.

Sekarang sudah pukul 10 pagi. Hari minggu. Setelah dari pulau tidung, Radja kembali membawanya ke Bogor sehingga ia baru bisa pulang sekarang.

Radja bahkan mengajaknya untuk memanjat tebing. Semua adrenalin itu terbayar saat mereka sudah sampai di atas tebing. Pemandangan yang terlihat di atas sana. Leganya Queen karena bisa teriak untuk mengeluarkan beban-beban yang ada bahunya. Beban-beban yang ia rasakan seakan terlepas dari dirinya. Sangat setara dengan perjuangannya menaiki tebing ini.

Queen tersenyum saat mengingat semua itu. Rasanya begitu menyenangkan bisa bersama dengan Radja.

Dan saat Radja mengantarkannya pulang tadi, ia memang meminta agar di turunkan didepan kompleksnya saja, entah kenapa, tapi perasaannya tidak enak.

Entah apa yang terjadi namun ia benar-benar takut akan firasatnya sekarang ini.

Langkah Queen terhenti saat ada orang-orang ramai di rumahnya yang disertai bendera kuning. Queen mempercepat langkahnya dan berlari memasuki rumahnya melihat apa yang terjadi.

Semoga firasatnya kali ini salah.

Saat melihat banyak orang yang mengelilingi seseorang yang ditutup kain itu. Queen buru-buru menghampiri orang tersebut. Ia membuka kain yang menutupi wajah jenazah tersebut dan seketika air matanya terjatuh.

Ibunya, orang yang sangat ia cintai, orang yang selalu ia lindungi, orang yang menjadi satu-satunya alasan ia bertahan. Terbujur kaku di hadapannya.

Queen beringsut mundur sambil menggelengkan kepalanya. Tidak terima bahwa ibunya sudah tidak lagi bernafas.

"Nggak, ini ga mungkin, ini ga mungkin. Ibu ga mungkin meninggal. Aku udah janji buat bawa ibu pergi dari rumah ini. Ibu ga mungkin meninggal!"

Semua yang ada disitu menatap Queen dengan iba. Queen masih menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Menolak fakta bahwa ibunya telah tiada.

Queen kembali mendekati ibunya dan memeluk tubuh tak bernyawa itu dengan air mata yang masih mengalir.

"Ibu, ayo dong bangun, sekarang bukan bulan april, udah bukan april fools lagi, ibu jangan diem aja gini dong, Queen ga suka ibu diem. Bu, ayo bangun, Queen harus nepatin janji Queen buat bawa ibu pergi. Ibu bahkan belum Queen liat Queen lulus. Ibu harus bangun sekarang. Buka mata ibu, jangan terus di tutup bu. Liat ini Queen pulang. Maaf Queen pergi pagi-pagi banget kemaren dan ga pulang seharian. Queen minta maaf. Sekarang ibu bangun ya? Sampe kapan ibu mau tutup mata ibu? Sekarang dibuka bu. Queen janji ga bakal bandel lagi. Queen ga akan buat onar lagi di sekolah. Queen ga akan bikin ibu di panggil lagi sama bu Indira. Queen ga bakalan ngelawan lagi. Queen bakal berubah. Asal ibu bangun. Queen janji, bu. Ayo ibu bangun. Queen bawa cupcake kesukaan ibu. Ibu suka banget kan sama itu? Ibu harus bangun kalo mau makan itu."

Queen terus mengguncang tubuh ibunya yang sudah kaku. Lalu ia menangis dengan kencang meratapi kepergian ibunya itu.

"Ibu, maafin Queen. Ibu jangan pergi ninggalin Queen. Queen ga punya siapa-siapa lagi bu. Ayo dong bu bangun. Ibu sayang Queen kan? Kalo ibu sayang Queen, ibu harus bangun sekarang. Bercanda ibu ga lucu banget bu, ayo bangun. Jangan tinggalin Queen, bu. Jangan tinggalin Queen."

Gadis itu terus mengguncang tubuh ibunya, berharap ibunya bangun dan berteriak 'kejutan'. Berharap ibunya hanya berpura-pura saja. Ia pun tidak bisa lagi menahan isakan pilu yang keluar dari bibirnya itu.

Ia mengecup pipi ibunya berulang kali. Menunjukan betapa ia mencintai ibunya tersenyum, berharap ibunya kembali bernafas. Ibunya tidak boleh pergi sekarang. Ibunya harus melihatnya lulus. Ia masih memiliki janji untuk membawa ibunya pergi dari rumah ini.

Lalu gadis itu tersentak dan mengeluarkan handphonenya lalu menghubungi Radja yang ia harap belum jauh dari sini.

Tuttt

Tutttt

"Halo, kenapa Queen?"

Queen masih terisak dengan hebat membuat Radja yang di sebrang telpon sana panik.

"Queen? Kenapa? Lo jangan nangis. Gua puter arah ni sekarang."

"Ibu ga gerak, ibu lagi bercanda sama gua. Ibu lagi ngeprank gua. Tapi, badan ibu dingin semua. Ibu juga pucet banget."

Tangisan Queen makin keras. Membuat Radja mengerti apa yang terjadi. Pria itu mulai menaikan kecepatan mobilnya kembali ke rumah Queen.

"Ibu. Ibu udah gaada, Dja."

Gadis itu benar-benar menangis histeris seiring ponselnya yang terjatuh dari genggamannya.

Pada akhirnya Queen harus mengakui bahwa pahlawannya, alasannya tetap hidup, orang yang membawanya ke dunia ini, telah tiada.

°°°°°

Queen menatap makam ibunya dengan tatapan kosong. Disampingnya, Radja tengah mengusap bahu Queen dengan pelan.

Beberapa saat yang lalu, ibunya telah dikebumikan dengan Queen yang masih menangis tidak rela. Bahkan Radja harus menahan Queen yang akan ikut masuk ke dalam liang lahat ibunya.

Para warga yang ikut mengantar dan menguburkan pun mulai bubar satu persatu. Queen hanya menatap nisan ibunya tanpa berniat membalas perkataan mereka yang kebanyakan berkata 'yang sabar' atau 'yang ikhlas ya'.

Mudah saja mengatakan semuanya karena mereka tidak merasakannya. Mereka tidak akan bisa berkata seperti itu dengan mudah jika mereka merasakan apa yang ia rasakan.

Seorang wanita yang lebih muda dua tahun dari ibunya menghampirinya dan di ikuti oleh seorang pria.

Mereka menyentuh bahu Queen yang masih tak dihiraukan oleh gadis itu.

"Kamu bisa tinggal sama tante sama om kalo kamu mau. Kalo kamu ga nyaman tinggal sama papa kamu, rumah kami selalu terbuka untuk kamu."

Tangan Queen mengepal dengan kencang. Merasa marah dengan pria tua yang bahkan tidak hadir di pemakaman ibunya ini.

"Saya akan tinggal sama bajingan itu sampe dia menderita. Dia sudah membuat ibu saya seperti ini. Bahkan dokter mengatakan bahwa ibu saya kerancunan strychnine. Om itu dokter dan pasti om tau itu apa. Warga bilang kalo mereka liat ayah keluar dari rumah dengan terburu-buru setengah jam sebelum ibu ditemuin meninggal. Bahkan keparat itu ga hadir di pemakaman sekarang. Saya akan tinggal bersama pria bau tanah itu sampai ia benar-benar menderita dan memilih meracuni dirinya dengan racun yang sama persis dengan yang ia berikan pada ibu. Saya pastikan itu."

Joshua dan Fira memandang satu sama lain dengan khawatir. Mereka khawatir Queen akan melakukan hal tersebut dan menjadikannya seorang pembunuh.

"Kamu ga harus lakuin itu. Ibu kamu gaakan suka kalo kamu lakuin itu."

Queen membalikan tubuhnya ke arah Joshua.

"Tau apa lo tentang ibu? Kalian semua tutup mata sama yang terjadi dengan keluarga gua. Kalian semua pura-pura gatau hal ini. Kalian semua penjilat sialan yang hanya butuh uang bajingan itu. KALIAN SEMUA GAADA YANG MIKIRIN GIMANA MENTAL SAYA SAKIT KARENA BAJINGAN ITU! SAYA BAKAL TETEP LAKUIN HAL ITU KE BAJINGAN ITU DAN IBU PUN PASTI AKAN SENANG!! MEREKA GAAKAN PERNAH KETEMU LAGI KARENA BAJINGAN ITU PASTI TERBAKAR DI NERAKA! Kenapa saya bisa ngomong kayak gitu? Karena saya Queen Lilith Azrael. Ratu atas kegelapan dan pencabut nyawa."

Radja yang di sampingnya hanya bisa menenangkan Queen sambil berdoa agar Queen tidak benar-benar melakukan itu semua.

Queen kembali menatap nisan ibunya yang tertuliskan nama ibunya. Nama yang benar-benar mencerminkab seperti apa ibunya itu. Deolinda Adena. Dewi yang cantik serta bersih.

Tangannya kembali mengepal. ia sudah tidak perduli lagi dengan dingin yang menusuk tulangnya, dengan matahari yang sudah mulai tenggelam, dengan luka ditangannya yang di sebabkan oleh kuku panjangnya itu. Ia benar-benar tidak perduli.

Satu hal yangia perdulikan, ia akan memastikan bajingan itu menderita sebelum terbakar di neraka.

Janjinya pada makam ibunya saat itu.

My Name Is... QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang