Satu

845 59 0
                                    

Author pov

Queen melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumahnya dan mendatar saat mendengar suara ayahnya yang membentak ibunya dan ibunya yang hanya bisa menangis.

Selalu seperti ini.

Terkadang ia bosan dan ingin sekali pergi dari rumah ini. Namun ia tidak bisa melakukan apapun.

Queen menaiki tangga tanpa melepas sepatunya, bergegas memasuki kamarnya sebelum sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Dari mana saja kamu! Lihat sekarang sudah jam berapa!!" bentak ayahnya saat melihatnya hendak memasuki kamarnya tersebut.

Queen menatap jam dinding di rumahnya, "jam 9."

"Mau jadi apa kamu pulang jam segini?!! Mau jadi jalang?!"

Queen menghela nafas dan menatap ayahnya tersebut dengan datar.

"Yang jelas tidak menjadi seperti kalian," lalu ia memasuki kamarnya dan mengunci kamarnya tersebut. Ia berbaring di ranjangnya tanpa menghiraukan gedoran kencang di pintu kamarnya.

Ia melepaskan sepatu dan kaus kakinya lalu menuju ke cermin yang ada di kamarnya. Menatap wajahnya yang begitu mirip dengan ibunya yang lemah. Ia tidak ingin seperti ibunya, lemah dan tidak dapat melakukan apapun.

Ia benar-benar benci dianggap lemah karena itu akan mengingatkannya pada ibunya yang hanya diam saja menerima perlakuan ayahnya.

Ia kembali menatap cermin, melihat warna rambutnya yang tadi ia warnai di rumah sahabatnya. Kini rambutnya terombre dengan warna yang mencolok. Cokelat dan abu-abu.

Masa bodoh dengan pendapat orang tentang rambutnya yang selalu berganti warna. Ia sungguh tidak perduli. Toh ia hidup bukan untuk mengurusi manusia sok suci seperti mereka. Lagipula di sekolahnya itu bebas, tidak ada peraturan untuk rambut harus berwarna hitam, begitupun dengan seragam, mereka bebas ingin memakai yang ketat atau longgar.

Queen mengganti pakaiannya dengan kaus hitam longgar dan celana pendek.

Telinganya seketika mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya, suara cambukan, ia langsung mempercepat pergerakannya saat kembali mendengar suara tersebut.

Queen keluar kamarnya dan berlari ke arah kamar orang tuanya itu dan memasuki kamar tersebut dengan cepat.

Ia memeluk tubuh ibunya dan melindungi ibunya yang sedang di cambuk dengan sabuk kulit ayahnya, menggantikan ibunya tersebut.

CTASSS!!

Queen memejamkan matanya saat sabuk ayahnya sudah berhasil mencambuk punggungnya. Rasanya perih, lebih terasa perih jika yang mencambukmu adalah orang tuamu sendiri, seorang pria yang harusnya menjadi pahlawanmu, seorang pria yang seharusnya menjadi cinta pertamamu, seorang pria yang seharusnya membuatmu ingin mendapatkan seseorang yang sama, seorang pria yang menurunkan darah dan gen padamu, seorang pria yang secara sah adalah ayahmu sendiri.

Entah berapa cambukan sudah dilayangkan untuknya, namun ia tetap memeluk ibunya dengan erat tanpa mau melepaskan pelukan tersebut.

Belasan bahkan puluhan cambukan.

Saat di hitungan ke 25, cambukan tersebut berhenti. Rasa perih mulai ia rasakan, angin yang terhembus dari jendela yang terbuka menambah rasa perih di punggungnya.

Ia masih menutup matanya, tidak berniat membuka matanya tersebut.

Saat mendengar suara langkah kaki yang menjauh dan suara pintu terbuka lalu tertutup lagi, ia baru membuka matanya.

Ia mendengar suara mobil dihidupkan dari garasi rumahnya dan semakin lama, suara tersebut terdengar menjauhi rumah tersebut. Ayahnya keluar lagi malam ini membuatnya menghela nafas lagi, bersyukur.

Suara isakan dari ibunya membuat perhatiannya teralih. Ia menatap ibunya dengan lembut.

"Udah bu, jangan nangis, sekarang ibu tidur ya. Udah malem."

Ibunya menggelengkan kepalanya, masih sambil menangis, ia lalu mengambil kotak p3k yang ada di bawah ranjangnya dan menuntun anak gadisnya tersebut untuk duduk di ranjang.

Queen duduk di ranjang tersebut dan melepaskan kaosnya dan membelakangi ibunya. Ia tau apa yang akan dilakukan ibunya.

Ibunya mengobati punggung Queen dengan hati-hati. Takut melukai punggung anaknya.

Ia tidak sempat terkena sabuk itu, saat sabuk itu sudah hampir mengenainya, Queen memeluknya dan berakhir anaknya yang terkena.

Queen menggigit bibirnya kencang, menahan rasa perih yang semakin terasa saat punggungnya terkena obat antiseptik.

Entah sudah lima atau sepuluh menit berlalu, ia tidak begitu menghitungnya. Ibunya telah selesai membersihkan lukanya, ia bangkit dan tersenyum lembut pada ibunya.

"Queen ke kamar dulu ya bu, ibu tidur aja. Kalo kemaleman tidurnya nanti sakit."

Queen keluar dari kamar orang tuanya dan memasuki kamarnya sendiri lalu menguncinya.

Ia berjalan ke arah cermin dan menatap punggungnya dengan nanar. Luka baru di punggungnya. Luka yang lama saja belum sembuh. Sekarang punggungnya makin parah. Ia merasa miris melihat keadaan tubuhnya.

Gadis itu lalu memakai kaos tanpa lengannya dan membuka jendela balkonnya. Ia duduk di sana dan mengeluarkan vapornya lalu menghisapnya.

Ia menatap balkon yang ada di seberangnya. Terlihat terang. Tadinya rumah di sebelah itu kosong karena pemiliknya menjual rumah tersebut, namun sepertinya sudah ada yang menempati rumah tersebut.

Ia kembali menghisap lalu menghembuskan vapornya. Sensasi rasa cappucino itu memanjakan lidahnya.

Pikirannya melayang ke saat ia masih kecil. Keluarganya adalah keluarga yang bahagia, keluarga yang sempurna, itu sebelum satu kesalahan merubah semuanya.

Kesalahan dimana ibunya keguguran anak kedua mereka saat gadis itu berusia 8 tahun. Saat itu ibunya habis menjemput dirinya, mereka tengah berjalan pulang dan Queen kecil melihat penjual permen kapas di sebrang jalan. Dengan bersemangat Queen kecil lari menyebrangi jalan tanpa melihat ke kanan dan kekiri. Saat itu ibunya melihat motor yang tengah mengebut kencang, ia langsung berlari menghampiri Queen dan akhirnya malah dirinya yang terserempet motor tersebut dan mengakibatkan dirinya keguguran.

Setelah itu ayahnya berubah, ia menjadi pria yang kasar, tempramental dan keadaan keluarganya pun berubah secepat itu juga.

Queen memasuki kamarnya saat ia menatap jam di handphonenya yang sudah menunjukan pukul 12 malam. Ia menutup jendela balkon dan duduk di ranjangnya lalu melipat kakinya.

Gadis itu menenggelamkan wajahnya di kakinya lalu mulai menangis. Menangisi keadaan. Menangisi semua hal. Ia sangat membenci ayahnya, ia juga membenci ibunya, bahkan ia membenci dirinya sendiri. Ia tidak bisa menjadi seorang anak yang berguna untuk ibunya. Ia tidak bisa membawa ibunya menjauh dari sini. Ia begitu membenci Tuhan yang membuat keluarganya menjadi seperti ini.

Jika ada yang bertanya, apakah ia tidak lelah dengan semua ini? Jawabannya adalah, tentu saja ia lelah. Namun ia tidak bisa membawa ibunya kabur dari sini. Mereka harus bertahan sampai dirinya lulus dari bangku SMA-nya lalu ia bisa membawa ibunya pergi. Pergi menjauh dari ayahnya yang seperti iblis.

Terkadang, ia berpikir untuk menyerah saja, ia tak ingin lagi merasakan semua hal ini, ia ingin mengakhri hidupnya sendiri, namun seketika ia tersadar, siapa yang akan menjaga ibunya jika ia tidak ada? Ibunya pasti akan lebih menderita lagi daripada ini.

Setelah lelah menangis, gadis itu membaringkan tubuhnya dengan bertelungkup lalu mulai memejamkan matanya, ia memang membenci tuhan, namun ia masih berharap bahwa Tuhan mengembalikan keluarganya seperti sedia kala.

Seperti saat ini, berdoa dan memohon agar semuanya kembali menjadi normal lagi. Agar keluarga sempurnanya kembali lagi.

Tak berselang lama, gadis itu terlelap dengan tubuh dan hati yang terasa sangat penat.

My Name Is... QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang