Sembilan

312 38 0
                                    

Author pov

Queen berjalan memasuki gerbang sekolahnya dengan santai tanpa menghiraukan orang-orang yang melihatnya dengan tatapan prihatin.

Mungkin kabar duka itu sudah sampai ke sekolah ini. Ia tidak perduli. Mau seprihatin apapun mereka. Jika penjilat, tetap saja penjilat.

Queen terus berjalan sambil mengencangkan musik dari earphonenya. Ia tidak ingin mendengar bisik-bisik kasihan dari murid-murid sekolah ini.

Queen menghentikan langkahnya saat ia sudah sampai di lokernya. Ia membuka loker miliknya itu dan menahan umpatannya saat lokernya dipenuhi bunga dan surat belasungkawa.

Ia mengepalkan tangannya saat ia melihat foto mendiang ibunya dengannya yang diambil saat hari kelulusan Queen di masa smp.

Matanya menatap sekitar. Mencari siapa yang mungkin menaruh foto ini di lokernya. Namun yang ia lihat hanyalah sepi. Koridor loker ini benar-benar kosong. Hanya ada ia disini.

Memang jarang murid yang menggunakan loker mereka. Queen pun menggunakannya karena malas membawa tas berat ke sekolahnya.

Gadis itu lalu mengambil kamus bahasa perancisnya dan kembali menutup rapat lokernya itu.

Ia menyandarkan tubuhnya ke loker itu. Ia terduduk dan tangannya menutup mulutnya rapat-rapat.

Dinding yang ia bangun untuk hari ini sukses runtuh ketika melihat fotonya bersama sang ibu.

Queen terus menangis sambil menahan isakan yang keluar dari bibirnya.

Ia begitu merindukan ibunya. Ia merindukan waktu yang ia habiskan bersama ibunya itu.

Radja, yang sejak tadi mengikuti gadis itu, kini ikut duduk di sampingnya dan mengusap rambutnya dengan pelan.

Ia tidak tau apa yang gadis ini rasakan. Ia kehilangan pria yang membuat keluarganya menderita. Sementara gadis ini kehilangan satu-satunya alasannya untuk bertahan hidup. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan rasanya.

Orang depresi bisa melakukan segala hal bahkan yang membahayakan sekalipun dan Radja percaya akan hal itu. Jadi ia terus mengikuti kemanapun Queen pergi.

"Tell me this is just a dream, Dja. Tell me."

Radja hanya bisa menenangkan Queen tanpa bisa menjawab kata-katanya. Ia tidak bisa mengatakan itu karena semuanya nyata. Gadis itu tidak bermimpi.

Queen memukul dadanya yang terasa sesak secara berulang-ulang.

"Kenapa bukan gua aja yang mati? Kenapa harus ibu? Kenapa bukan pria bajingan itu aja? Kenapa Dja kenapa?!"

Radja menahan tangan Queen lalu memeluk gadis itu dengan erat sehingga membuat tangisan Queen makin histeris.

Terakhir yang Queen tau adalah tubuhnya melemah dan semuanya menjadi hitam.

°°°°°

Radja menatap Queen yang tengah berbaring di ranjang uks. Gadis itu telah di periksa oleh dokter yang menjaga uks ini. Menurut dokter, gadis itu pingsan karena kelelahan, terlebih lagi ia belum mengisi perutnya.

Radja menggenggam tangan gadis itu dengan erat. Meyakinkan bahwa Queen aman di mimpinya itu.

Lalu pria itu mulai mendekat saat mata Queen perlahan terbuka.

Gadis itu mengerjapkan matanya. Menyesuaikan dengan cahaya di ruangan ini.

"Terakhir lo makan kapan?" tanya Radja.

Queen memijat kepalanya dengan pelan saat pusing kembali menyerangnya. Radja menatap gadis itu dengan khawatir. Wajah Queen benar-benar pucat saat ini.

My Name Is... QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang