Josha meneguk bir yang tengah dipegangnya. Setelah kosong, dia melemparkan begitu saja ke area dapur. Tidak peduli Fenina, mamanya, mengawasi perilakunya dengan geram sedari tadi. Sudah biasa dia bertingkah seperti ini. Tidak perlu ada yang disembunyikan. Josha tidak suka terlihat baik dan bermoral mulia di depan banyak orang tapi kenyataannya dia jauh dari kata baik.
Bir adalah minuman andalannya. Ketika masalah membalut hidupnya yang santai dan damai, dia mempercayakan bahwa bir bisa mengurangi stres. Tidak peduli akibat buruk yang ditimbulkan oleh minuman tersebut.
Seperti pula saat ini, dia sudah menenggak tiga kaleng sejak Fenina menyampaikan wasiat papanya yang meninggal tiga bulan yang lalu. Wasiat konyol yang bahkan diimpikannya pun tidak pernah.
Awalnya Josha mengira bahwa setelah kepergian papanya, dia bisa dengan mudah mendapatkan semua peninggalan papanya. Mulai dari perusahaan, perkebunan, bisnis batik, rumah, mobil, dan seabrek harta lainnya. Dia tidak mengira bahwa papanya akan memberikan beberapa syarat untuk mendapatkan semua peninggalannya. Jika dia tidak mau melaksanakan, akibatnya tentu saja harta tersebut akan jatuh ke panti asuhan. Menggelikan bukan?! Josha tersenyum sinis kemudian mengambil sekaleng bir lagi dari dalam kulkas.
“Berhentilah minum bir. Atau kamu akan mabuk, Bang!”
Sejak masih kecil, Josha diberi panggilan ‘Bang’ oleh papanya. Saat itu papanya berharap akan memiliki anak kedua dan ketiga. Kenyataannya Fenina tak dapat hamil lagi setelah mengalami kecelakaan saat Josha berusia delapan tahun.
Fenina sudah bosan melihat kelakuan anak tunggalnya itu. Anak tunggal yang seharusnya menjadi satu-satunya kebanggaan dalam keluarga, ternyata malah tidak suka bekerja dan justru berfoya-foya menghamburkan harta orang tua. Entah apa yang salah dalam mendidiknya dulu. Seringkali Fenina berpikir barangkali memanjakannya dulu adalah sesuatu yang salah.
“Aku benci dengan isi surat wasiat itu, Ma,” ucap Josha santai sambil menujuk sehelai surat yang sedang dipegang oleh mamanya. “Kalau Papa berniat memberikan padaku, ya udah, kasih aja. Buat apa repot-repot membuat surat wasiat konyol seperti itu.”
Fenina menghela napas panjang. Memang susah mengatur Josha. Sejak duduk di bangku SMA sampai berumur 27 tahun sekarang, Josha tidak mau diatur lagi. Hidupnya bebas sebebas burung terbang yang tak memiliki induk. Tidak dihiraukannya nasehat orang tua yang memintanya untuk berubah menjadi lelaki yang lebih baik. Ulahnya benar-benar membuat orang tuanya malu sekaligus marah. Suka bermain perempuan dan menghabiskan malam di diskotik.
Entah sudah berapa ratus juta yang dihabiskannya dalam setahun untuk membeli mobil keluaran terbaru, membelikan pacar-pacarnya tas bermerek, dan perhiasan yang paling mahal sekali pun. Fenina dan almarhum suami, Astar Handoyo, tak sanggup menahannya.
Kini ketika papanya telah meninggal, pengacara papanya memberikan surat wasiat yang harus dilaksanakan jika ingin menerima harta kekayaan peninggalan. Jika Josha tidak mau melakukan, pengacara tersebut mengatakan bahwa Josha tidak dapat uang sepeser pun sejak tiga bulan kepergian papanya.
“Harus berapa kali Mama bilang kalau itu semua demi kebaikan kamu,” hela Fenina kesal. Dia harus mengulang dan mengulang lagi penjelasan maksud dari surat wasiat itu kepada Josha. Bukan karena Josha tidak mengerti. Tapi karena Josha tidak begitu memedulikannya. “Papamu ingin kamu menjadi lelaki yang mau bekerja keras, bertanggung jawab, dan tidak menghabiskan sisa usiamu untuk sesuatu yang tidak penting. Apalagi bermain perempuan. Itu memalukan dan menjijikkan, Bang.”
Fenina jelas tahu seperti apa sepak terjang Josha di hadapan para gadis malam. Tidak jarang Josha membawa gadis yang berbeda setiap bulan. Mengenalkan gadis tersebut kepada Fenina seolah-olah mengenalkan calon menantu. Tidak tahunya hanya gadis yang menjadi kekasihnya cukup satu malam.
Ibu mana yang tidak merana melihat tingkah buruk anak laki-laki satu-satunya. Karena itu ketika pengacara suaminya datang memberikan surat wasiat itu, Fenina sangat bahagia sampai meneteskan air mata. Dia yakin Josha akan berubah menjadi lelaki yang lebih baik setelah melakukan apa yang diminta oleh almarhum papanya.
Mau tidak mau Josha harus berangkat ke sebuah desa di Tasikmalaya demi melaksanakan surat wasiat yang berisikan keinginan papanya. Dia harus melaksanakan empat wasiat. Wasiat pertama dan kedua telah dia ketahui dari Fenina. Sedangkan wasiat ketiga dan keempat masih dirahasiakan sampai dia berhasil menyelesaikan wasiat pertama dan kedua.
Wasiat pertama dan wasiat kedua saja sudah membuatnya tertawa terbahak-bahak. Dia harus mengusut kematian Om Setia, adik papa yang nomor dua, dan meminta pihak kepolisian untuk melakukan otopsi. Ini benar-benar tidak menerima kenyataan! Begitu pemikiran Josha. Pamannya yang meninggal lima bulan yang lalu itu telah pergi dengan tenang. Mengapa harus membuang waktu dan biaya untuk mengusut apa penyebab kematiannya. Sudah jelas Om Setia meninggal karena terperosok dari atas bukit. Memangnya Om Setia meninggal karena dibunuh? Pemikiran yang penuh kecurigaan, bukan?
Dan wasiat kedua juga tidak kalah menyebalkan. Josha diminta untuk merawat Nenek Ismi, nenek buyut yang tak lain adalah nenek papanya yang kini telah pikun. Dia harus merawat sejak dari nenek bangun tidur sampai menjelang tidur malam.
Argh! Selama ini dia yang selalu dilayani oleh pembantu dan para gadis pujaannya. Lalu mengapa kini dia harus melayani nenek tua renta? Tak sadar Josha melemparkan kaleng bir yang keempat.
“Cukup, Bang! Papa melakukan ini demi kebaikanmu. Dan Mama menyetujuinya. Apa jadinya kamu ketika Mama ini sudah meninggal? Kamu tidak bisa mengelola perusahaan dan bisnis keluarga. Lama-lama harta peninggalan Papa akan habis bahkan sebelum kamu menikah.” Fenina bangkit dari duduknya kemudian berlalu dari wajah anak lelaki yang menyebalkan itu.
Melihat Fenina pergi, Josha segera menyambar jaket kulit dan kunci mobil kemudian melajukan kendaraannya seperti orang kesetanan. Seperti biasa, dia pergi ke klub malam untuk bertemu dengan teman-temannya.
***
Halooo... aku kembali lagi dengan cerita baru. tenang aja, Rafel tetap berlanjut. karena dua cerita ini sudah selesai. jadi tinggal lanjut tiap saat.
vote dan commentnya jangan lupa ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...