Hanum berdiri di depan kompor dua tungku. Pada satu tungku terdapat wajan kecil yang berisi ayam ungkep, sedangkan di tungku yang lain ada telur dadar yang sedang ia bolak-balik. Di belakangnya Josha membantu mengiris buncis dan wortel. Keduanya bekerja dalam kebisuan.
Kebisuan itu terjadi karena kecanggungan akibat Fenina mengetahui keberadaan Josha di kamar Hanum. Di bawah tempat tidur, Josha jelas saja tersentak mendengar peringatan ibunya. Tak menduga sama sekali bahwa Fenina punya insting sekuat itu. Atau itu bukan insting, melainkan dugaan nyata. Bisa saja Fenina mencari Josha di kamar lelaki itu namun tak menemukan siapa pun. Akhirnya dia menuju kamar Hanum dan mendapati gadis itu gugup setengah mati. Raut wajah Hanum jelas saja berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan beberapa menit yang lalu saat mereka berdua mengobrol berdua.
Bagi Hanum, rasa malu yang menyergap dirinya membuat wajahnya memanas seketika. Saat wajah itu panas, otaknya tak bisa berpikir jernih. Dia ingin menghilang saat itu juga. Ini jelas pengalaman pertama baginya berhubungan dengan seorang lelaki. Pada saat pikiran normal menguasai dirinya, seringkali dia merasa murahan. Tapi ketika berada di dekat Josha, rasanya lain lagi. Dia menyukai ciuman itu. Dia menyukai dekapan Josha.
"Buncis dan wortelnya sudah ku potong. Apalagi yang harus aku iris, Han?" pertanyaan Josha membuyarkan lamunan Hanum.
Tanpa menjawab, gadis itu meletakkan beberapa bawang merah, bawang putih, dan cabai rawit. Hanum bahkan tak sanggup menatap mata Josha. Dia langsung saja berpaling untuk mencuci sayur itu.
"Mengenai tadi jangan terlalu dipikirkan, Han. Aku minta maaf."
Hanum diam saja namun tangannya terus bergerak untuk mengambil wajan baru untuk menumis. Ketika dia akan mengambil bumbu iris, dia menoleh dan mendapati Josha belum selesai mengiris.
"Tinggal sedikit lagi."
Hanum hanya mengangguk dan berniat berbalik tapi Josha menahannya. Lelaki itu berdiri memegang kedua tangan Hanum.
Melihat raut wajah yang biasanya dingin kini berubah resah, Josha menahan untuk tersenyum. "Kamu gugup, ya?"
"Kamu nggak?" Hanum mendongak.
Josha menggeleng. Tangannya kini berpindah memeluk pinggang gadis itu. Tubuh mereka melekat erat. Dua pasang mata itu saling tatap dengan lembut.
"Han, terima kasih kamu nggak percaya dengan apa yang Jenny bilang."
"Aku sudah hafal dengan gaya perempuan seperti Jenny." Hanum tersenyum tipis. Dia sendiri heran kenapa dia tidak mempermasalahkan ucapan Jenny. Jika saja dulu, sebelum perasaan ini datang, mungkin dia akan marah besar dan mengausir mereka berdua sekaligus. Rasa ini memang dapat mengontrol emosinya. Inikah cinta? "Ngomong-ngomong, di mana Jenny sekarang? Aku nggak lihat dia sejak tadi."
"Dia sudah pulang."
Kening Hanum berkerut. "Nggak kamu antar, Josh? Jarak dari sini ke kecamatan cukup jauh."
"Biarin aja. Dia bisa minta antar orang-orang kebun."
Hanum tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Lepas."
"Nggak mau." Bukannya melepaskan dekapannya, Josha justru mengetatkannya. Bibirnya menempel di dahi Hanum.
"Josh."
"Kamu belum bilang perasaanmu padaku, Han. Sikapmu memang sudah menunjukkan kalau kamu menerimaku, tapi aku juga butuh kepastian."
"Kepastian apa, Josh?"
"Kepastian kalau kamu juga mencintaiku."
Hanum meneguk ludahnya susah payah. Sesungguhnya dia tidak tahu bagaimana perasaannya kepada Josha. Sekian lama dia bertahan sedingin es untuk membekukan perasaannya agar tidak mudah jatuh cinta pada sosok Josha. Kenyataannya dia kalah pada pesona Josha. Mau tidak mau, dia terpaksa menyerah pada rasa yang seharusnya tak boleh hadir itu. Dan kini Josha meminta kepastian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...