Mereka tiba di pusat kota Tasikmalaya. Josha melajukan mobilnya ke lokasi rumah batik milik orang tuanya. Tempat itu berupa rumah besar yang dari depan tak akan terlihat seperti rumah batik. Tapi di bagian belakang rumah terdapat lahan luas seperti gudang yang digunakan para karyawan untuk membatik dan mengolah kain.
Josha memerhatikan orang-orang yang bekerja tak kenal lelah. Ada segintir penyesalan yang menerpa dirinya karena uang yang dihabiskannya untuk berhura-hura sebagian berasal dari keringat para karyawan di sini. Dengan teganya dia tidak pernah mau tahu bisnis papanya. Bisnis yang sekian puluh tahun dibangun namun anak satu-satunya tak tertarik untuk bekerja keras.
Belum terlambat untuk memperbaiki semua, batin Josha untuk memberi semangat pada diri sendiri. Dia berjanji tidak akan menjadi pengangguran lagi dan hanya mengandalkan harta orang tua. Dia harus bekerja. Syukur-syukur dia langsung mendapat pekerjaan tanpa sibuk mencari seperti orang lain. Rasanya Josha ingin sekali bertemu dengan papanya dan mengucap maaf berkali-kali untuk peninggalan yang hampir saja karam. Tak terasa mata Josha berkaca-kaca.
"Josh," tegur Hanum karena khawatir pada lelaki itu. Sedari tadi ternyata dia hanya ngobrol sendiri. Josha sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Ya, Han?" Josha menoleh.
"Kamu melamun?" Hanum menyipitkan mata. "Mata kamu..."
Josha segera berpaling dan memilih mencari pengelola yang dipercaya papanya sekaligus untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mau Hanum melihatnya lemah. Padahal Hanum sudah bisa merasakan apa yang sedang bergejolak dalam dirinya. Hanya saja Hanum tidak mengutarakan.
"Bu, Pak Joni di mana ya?" tanya Josha kepada seorang nenek yang sedang membatik. Nenek itu hanya menunjuk ruangan dengan tangannya. Josha tersenyum kemudian mengucap terima kasih.
"Josh, karyawan di sini nggak terlalu banyak. Padahal Pak Setia bilang dulu ada 50 karyawan."
"Iya, Han. Kita perlu bertanya kepada Pak Joni. Aku sendiri sebagai anak pemilik rumah batik ini juga nggak paham." Josha tersenyum kemudian memanggil sopan Pak Joni yang sedang mengepak beberapa kain. Lelaki itu hampir saja lupa kalau saja Josha tidak mengenalkan diri.
Lalu yang terjadi setelahnya adalah obrolan ringan dengan Pak Joni. Dari sana Josha tahu bahwa menurunnya produksi batik itu karena tiga faktor seperti yang dijabarkannya di depan Fenina.
***
Setelah meninjau rumah batik, Josha mengajak Hanum untuk menikmati makan siang di sebuah rumah makan bergaya tradisional. Makanan khasnya tak jauh-jauh dari nasi lalap dengan aneka lauk seperti ayam, bebek, dan ikan.
Josha dan Hanum memesan makanan yang sama yaitu nasi lalap bebek bakar dengan sambal hijau pedas. Untuk minumannya mereka hanya ingin es teh. Menu sederhana namun sangat nikmat di lidah mereka. Apalagi ini adalah makan bersama untuk pertama kali setelah hubungan mereka membaik.
Mereka masih menikmati makanan itu saat seseorang memanggil Hanum. Hanum mendongak dan mendapati Siska, teman sekampusnya, bersama pacarnya.
"Kebetulan ketemu di sini, Han."
"Eh, iya, Sis. Yuk, makan bareng!"
"Aku baru aja selesai. Ini udah mau balik." Siska melirik lelaki keren yang duduk di samping Hanum. Melihat gelagat itu, Hanum hendak memperkenalkan, tapi Josha lebih dulu mengulurkan tangannya. Secepat mungkin Siska membalas jabat tangan itu.
"Saya Josha, kekasih Hanum."
Hanum hampir saja tersedak mendengar pernyataan Josha. Gadis itu melihat Siska dan pacarnya tersenyum.
"Ya, udah, aku duluan ya," pamit siska dengan lambaian tangan.
Kekasih Hanum?
Hanum merenungi dua kata itu. Ada keanehan yang menjalari di hatinya saat menyadari bahwa Josha menganggapnya kekasih. Bahkan dirinya saja sejak kapan dia resmi menjadi kekasih Josha. Sepertinya ini menimbulkan tanda tanya besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...