Suara hingar bingar musik yang menghentak dan lampu yang berkilauan dalam gelap menjadi nuansa khas kehidupan malam di sana. Inilah kehidupan gemerlap yang dicintai Josha. Menyenangkan, memabukkan, menggiurkan, dan melenakan.
Josha menggoyang-goyangkan gelas mungil yang berisi vodka di depan bartender yang terlihat sibuk. Arfo, temannya, duduk di sampingnya dan tertawa tertahan mendengar cerita Josha.
"Jadi lo mau bertobat? Merawat nenek buyut?" tawa Arfo kembali terdengar. Bahkan tawa ejekannya lebih menyakitkan dari pada teriakan mamanya. "Gue setuju sama bokap lo. Lo emang harus tobat. Selama ini lo udah keenakan hidup nganggur."
"Brengsek, lo!" umpat Josha dengan lirikan tajam. "Kalau lo masih ngeledek gue, mending lo kembalikan uang gue yang lo pinjam satu minggu yang lalu."
"Lo kan udah ikhlasin, man."
"Kalau begitu tutup mulut, lo. Atau gue masukin gelas ini ke mulut lo."
Arfo tertawa kembali. Kali ini lebih keras. "Segitu frustasinya lo. Jenny pasti nangis gulung-gulung kalau tahu lo bakal pergi ninggalin dia. Jangan bilang kalau lo mau ngajak Jenny. Bisa gagal misi lo untuk dapat harta warisan yang nggak akan habis sampai tujuh puluh turunan."
"Gue emang belum bilang ke dia. Tapi gue harap dia mau ikut gue dan mau bantu gue merawat si tua renta itu."
"Jenny? Mau bantu lo?" Arfo tertawa garing. "Gue berani bersumpah sampai telinga gajah nggak lagi lebar, cewek kayak Jenny nggak akan mau pergi sama lo."
Josha menggertakkan giginya beberapa kali. Arfo benar, tidak mungkin Jenny mau pergi dengannya dan merawat si tua renta. Jenny itu sama seperti dirinya. Mungkin Jenny lebih memilih untuk putus dan mencari cowok tajir lainnya daripada mau diajak susah payah mendapatkan warisan.
Tapi kalau mengingat berpacaran dengan Jenny adalah waktu terlama baginya, satu bulan, tidak ada salahnya kalau Josha mencoba untuk mengajak Jenny. Ya, itu tekad Josha. Tidak perlu menunggu lama untuk dia mengutarakan keinginannya. Dan apa yang diduga Arfo, betul-betul terjadi.
"Jangan aneh-aneh deh, Josh. Mana mungkin aku mau pergi sama kamu buat merawat nenek-nenek." Jenny bersedekap kesal. Kemudian melirik dengan tajam. "Jadi kamu sekarang miskin nih? Nggak punya uang lagi sebelum pergi ke Tasikmalaya dan menyelesaikan misi nggak masuk akal itu?"
Josha tidak menjawab. Karena dia memang tidak punya uang lagi. Semua kartu kredit dan rekeningnya telah diblokir. Dia hanya punya tidak lebih dari lima ratus ribu di dompetnya. Yang belum disita hanyalah mobilnya. Itu pun Josha tidak bisa menjualnya karena surat mobil itu disimpan oleh Fenina, entah di mana, barangkali di bank.
Jadilah ini keputusan akhirnya. Dia harus pergi sendiri dan melupakan amarahnya kepada Jenny, gadis matrealistis yang pernah diberinya perhiasan dan baju-baju mahal dengan total hampir seratus juta.
***
"Satu minggu lagi kamu berangkat, Bang." Suara Fenina menggema dalam kamar tidurnya yang mulai terang benderang karena Fenina telah membuka tirai kamar yang mulanya tertutup rapat.
Josha mengerutkan kening dan menyipitkan mata karena silau. Dia meluruskan tangan dan kakinya dan akan menidurkan diri lagi. Tidak peduli Fenina sedang mengomel dan memunguti baju-baju yang berserakan di bawah tempat tidur.
"Cepat bangun dan siapkan barang-barang yang akan kamu bawa." Fenina menggebukkan tumbukan baju itu ke depan wajah Josha. Seketika Josha terbangun dan berdecak kesal.
"Apaan sih, Ma?" tanyanya semakin sebal.
"Di Tasikmalaya nanti, kamu nggak bisa bangun sesiang ini. Sekarang jam delapan, Bang. Sedangkan nenek buyutmu itu bangun jam lima pagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...