10. Dugaan yang Sama

467 52 1
                                    

Josha tergesa-gesa menemui Hanum. Setelah dari kafe tadi, dia pergi berjalan kaki ke bukit. Dan sekarang dia berjalan cepat sampai terengah-engah. Bukan terengah-engah lelah, tapi lebih karena buru-buru. Ketika melihat Hanum sedang memakaikan baju pada nenek, dia berusaha mengatur napas supaya nenek tidak terkejut dengan kehadirannya.

"Ada apa?" tanya Hanum dengan dahi berkerut.

Josha bersandar di daun pintu yang terbuka, melambaikan tangan kepada nenek dan dibalas dengan tawa yang berhiaskan gusi tanpa gigi.

"Kamu pasti tidak percaya kalau aku sudah mendapatkan sebuah bukti baru. Ya, meskipun bukti ini tidak begitu kuat, tapi bukti ini juga tidak bisa dipandang sepele."

"Apa itu?" tanya Hanum tidak sabar.

"Sabar dulu, Han. Aku akan menjawabnya kalau kamu mau membuatkan kopi buatku."

"Sebegitu sepinya hidupmu sampai beberapa kali memintaku untuk membuatkanmu kopi."

Josha hanya mengangkat bahu tanda tak peduli kemudian menekuri ponselnya lagi. Dia hanya melirik sekilas ketika pada akhirnya Hanum beranjak ke dapur. Ada senyum geli melihat gadis itu mau menuruti kemauannya. Sayangnya, ketika Hanum kembali dengan secangkir kopi, lalu Josha menyesapnya untuk menikmati, lelaki itu membelalakkan mata, tetapi berusaha tenang.

"Ini kopi pahit, Han," ucap josha menahan diri untuk tidak kesal.

"Kamu hanya bilang kopi. Bukan kopi manis."

Josha memejamkan mata kemudian bersandar lemas menyadari bahwa Hanum memang sengaja mempermainkannya.

"Jangan berlama-lama. Sekarang bilang, bukti apa yang kamu bawa?"

Josha menatap jengkel. Sebenarnya dia malas menghadapi Hanum yang selalu bersikap seenaknya padanya. Tapi seperti yang sudah-sudah, dia berusaha untuk mengalah.

"Aku punya rekaman obrolanku dengan Rudi." Josha menyerahkan ponselnya pada Hanum. Tanpa menunggu lama, Hanum segera mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Detik demi detik berlalu dalam diam hingga pada rekaman terakhir, Hanum membelalakkan mata dan membeku di tempat. "Ada apa, Han? Kamu baik-baik aja?"

"Aku... aku..." Hanum tergagap dengan mata gelisah. Baru kali ini Josha melihat gadis itu dalam kondisi seperti ini.

Josha menunggu dengan sabar. Dia tahu bahwa Hanum akan mengatakan sesuatu yang sangat berat, membebani hatinya.

"Sebenarnya... aku punya fotonya," jawab Hanum akhirnya.

"Foto? Foto apa?" Josha berusaha untuk bertanya dengan tenang.

"Foto lebam itu. Aku... memfotonya sebelum jenazah Om Setia dimandikan."

"Astaga, Han! Kenapa kamu baru bilang sekarang?"

"Aku, aku hanya berniat untuk mengabadikan wajah Om Setia saja. Bukan untuk menjadikannya bukti karena kecurigaanku. Kecurigaanku saat Om Setia telah dikuburkan dan aku baru sadar bahwa ada yang nggak beres dengan wajahnya, terutama keningnya."

"Coba mana lihat fotonya?" kali ini Josha terlihat tergesa.

Hanum merebahkan nenek hati-hati. Kemudian berjalan cepat ke kamarnya. Secepat kilat Hanum datang lagi dan menunjukkan ponselnya yang di layarnya telah menampilkan wajah Om Setia.

Josha menatap Hanum dengan pasti. "Kita bisa jadikan rekaman Rudi dan gambar ini sebagai bukti bahwa kematian Om Setia tidak wajar."

"Kamu yakin, Josh?" tanya Hanum resah.

"Kamu ragu-ragu?"

"Aku nggak tahu..."

Di luar dugaan Hanum, Josha menyentuh tangannya. Menggenggamnya erat seperti menyalurkan kekuatan dan semangat.

Perkara Bang Josh (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang