15. Wasiat Ketiga: Bisnis Batik yang Hampir Karam

490 52 3
                                    

Kalau saja waktu bisa diputar, Josha ingin kembali pada malam itu. Malam di mana dia berkunjung ke Jakarta padahal Hanum telah melarangnya. Kini hanya penyesalan yang menggeluti pikirannya karena ucapan Jenny yang menyentakkan mereka berdua. Dia tidak percaya Jenny hamil karena dia selalu main aman. Mungkin Jenny berteriak begitu karena marah melihatnya sedang berciuman dengan Hanum.

Sedangkan Hanum tampak tak begitu menghiraukan ucapan itu. Gadis itu hanya memintanya untuk mengurus masalahnya dengan Jenny.

"Aku tahu kamu bohong kalau kamu hamil," geram Josha. Kalau saja Jenny itu lelaki, Josha pasti sudah menjotosnya sampai babak belur. Dia sudah berhasil meluluhkan hati Hanum. Tapi semua menjadi percuma karena sebuah gangguan dari gadis gila harta seperti Jenny.

"Aku nggak bohong. Kamu jangan pura-pura lupa kalau kita sempat melakukannya sebelum kamu pulang."

Josha tertawa sinis. "Kita melakukannya tiga hari yang lalu dan sekarang kamu bilang kamu hamil. Kamu sehat, Jen?"

Jenny tampak gelisah karena ketahuan mengada-ada. "Ya─Ya bisa aja kan? Tiga bulan lalu kita juga sempat berhubungan."

"Jen, sudah ya. Jangan bikin aku semakin marah sama kamu. Kita sudah putus, jadi jangan ganggu aku lagi."

"Josha!"

Josha meninggalkan Jenny dan memilih untuk ke kamar nenek. Di kamar nenek ada satu sofa kecil yang bisa digunakannya untuk tidur dari pada tidur di sofa depan karena pasti Jennya akan menganggunya lagi.

Josha mengamati nenek yang sedang tidur pulas. Napasnya naik turun teratur. Nenek terlihat damai dan bahagia dalam tidurnya. Tak sadar Josha tersenyum kemudian mengecup kening nenek. Dia jadi menyesal pernah marah-marah pada ibunya karena tidak mau merawat nenek. Sekarang dia justru sangat menyayangi nenek. Menyuapi dan mengajak nenek jalan menjadi hobi barunya.

Teringat Fenina, Josha berinisiatif untuk meminta Fenina ke Tasikmalaya. Barangkali dengan obrolan antar wanita, Hanum bisa luluh oleh nasehat Fenina. Selain itu Josha ingin mamanya membawa serta Jenny karena sepertinya Jenny akan sangat susah untuk diusir.

***

Josha tampak bahagia dengan kedatangan Fenina, seperti kedatangan malaikat penolong. Fenina tepat datang pukul dua siang. Josha tidak memberitahukan akan hal itu kepada Hanum sehingga gadis itu kalang kabut karena tidak punya persiapan apa-apa untuk menyambut kedatangan Fenina.

"Jangan panik, Han. Aku memang berniat nggak memberitahu kamu. Kejutan," kata Josha semringah. Hanum hanya tersenyum tipis di depan Fenina.

"Bagaimana kabar kamu, Han? Sehat?"

"Sehat, Tante. Tante sendiri bagaimana?"

"Seperti yang kamu lihat. Tante baik-baik saja meski sering kali rindu pada Josha. Tapi demi kebaikan Josha, Tante harus kuat menahan rindu."

"Ah, Mama. jangan gitu dong. Aku jadi ikutan sedih nih." Josha merangkul erat bahu Fenina.

"Mama nggak sedih, Bang. Mama justru bahagia kamu bisa berubah sedrastis ini. semua berkat Hanum. Hanum yang dengan keras mendisplinkan kamu."

"Itu nggak..."

"Iya, Ma. Semua ini berkat Hanum. Sepertinya kita harus memberi hadiah buat Hanum. Bagaimana kalau kita membawanya ke jalan-jalan ke Jakarta?" Josha melirik Hanum. Melihat wajah Hanum yang tertunduk, dia jadi ingat kejadian semalam saat berhasil melumat bibir tipis itu cukup lama. Kalau saja Jenny tidak kurang ajar mengganggunya, dia pasti bisa lebih lama mencumbu Hanum.

"Boleh, sekalian kita bawa Nenek Ismi. Tapi tidak sekarang. Nanti kalau kamu sudah menyelesaikan wasiat papa yang ketiga."

Josha terpaku. Untuk wasiat ketiga dan keempat, Fenina belum pernah menyampaikannya. Tanpa disadarinya, jantungnya berdegup tidak normal. Dia khawatir isi wasiat ketiga itu membuatnya mati kutu seperti dulu. Selama beberapa minggu setelah kasus Om Setia selesai, Josha merasa hidupnya mulai tenang dan santai. Fokusnya lebih pada meluluhkan hati Hanum. Tapi kenyataannya sekarang dia harus siap dengan wasiat itu.

Perkara Bang Josh (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang