Josha tidak pernah menyadari kalau dia punya rasa jijik sampai tidak mau makan setelah menemani seseorang buang hajat. Bayangkan saja, sejak bangun tidur sampai pukul satu siang dia tidak memasukkan apa pun ke dalam mulutnya. Tidak nafsu dan selalu teringat saat menceboki nenek.
Dia masih tidak ingin makan ketika Hanum datang pada pukul dua siang. Saat itu wajah Josha seperti orang kesurupan. Tawar, datar, dan dingin. Jujur saja, Hanum ingin tertawa melihatnya, tapi ditahannya. Wajah lelaki itu berbeda seratus delapan puluh derajat dengan wajah yang tengil menggoda seperti semalam dan tadi pagi.
Merasa kasihan, Hanum mengajak nenek ke kamar dan menidurkannya. Kemudian dia ke dapur dan menyiapkan makan. Saat itulah Hanum mengetuk pintu kamar Josha. Josha yang di dalamnya sedang terbaring seperti orang pingsan, bangkit dengan malas.
Jika kemarin matanya membulat ketika melihat Hanum di hadapannya, kini dia tidak berminat sama sekali. Bertemu Hanum tidak akan membuat mood-nya menjadi baik, justru lebih anjlok.
"Ada apa?" tanya Josha kering.
"Aku sudah siapkan makan siang."
Josha mendengus. "Makan pagi aja aku belum. Tahu-tahu sekarang sudah siang aja."
Hanum tidak menanggapi. Dia memilih untuk menjauh dan kembali ke dapur. Tak tahunya Josha mengikutinya. Mereka duduk berhadapan dalam diam.
Josha mengamati makanan yang terhidang di atas meja. Tidak ada lagi sayur bening bayam seperti yang dilihatnya tadi. Yang ada adalah tumis buncis dengan daging, telur bumbu merah, dan semur hati ayam.
Buat Josha, makanan itu adalah makanan yang sangat sederhana. Tapi dalam keadaan lapar begini─lagi pula dia tidak tahu di mana harus mencari makanan yang sesuai seleranya─Josha makan dengan lahap. Dia lupa dengan rasa jijiknya.
"Kamu kelaparan?" tanya Hanum dengan dahi berkerut.
"Kelihatannya bagaimana?"
"Kenapa tadi nggak makan pagi?"
"Mana sempat?" Josha meninggikan suaranya. "Nenek nggak berhenti mengganggu. Selalu ada aja yang dimintanya."
"Baru sehari kamu sudah se-desperate ini."
"Kamu tahu apa yang kulakukan tadi? Selama enam jam, dia minta makan dua kali dan minta buang air besar dua kali juga!"
Hanum menyunggingkan sebelah bibirnya. "Salahmu sendiri. Kenapa memberinya makan tidak tepat waktu."
Josha melotot tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Dia minta makan. Masa aku tega nggak memberinya makan. Kupikir dengan mengenyangkan perutnya, dia nggak akan rewel lagi. Ternyata aku salah."
"Seharusnya kamu bertindak sesuai logika," kata Hanum serius. "Kamu memberi nenek makan berulang-ulang, sudah jelas akan membuatnya buang hajat berulang-ulang pula. Ini jadi pelajaran pertama buat kamu. Beri nenek makan sesuai waktunya."
"Aku benci harus melakukannya lagi."
"Tapi kamu harus."
"Aku tidak bisa!"
"Kamu harus bisa!"
"Aku bukan kamu yang bisa melakukannya dengan senang hati."
"Senang hati atau terpaksa, kamu harus melakukannya."
Josha menatap tajam. Dadanya naik turun menahan kekesalan. Gadis yang awalnya menarik ini ternyata bisa juga bersikap menyebalkan. Atau memang begitukah sikap aslinya? Oh, Tuhan, jadi aku akan hidup dengan gadis semenyebalkan itu?
Josha tidak mau berlama-lama lagi di tempat ini, dia ingin segera menghindar dari apa pun yang membuat otaknya stres. Namun ketika baru selangkah dia beranjak, Hanum bersuara lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...