Tepat pukul dua siang setelah memuaskan rindu di rumah mamanya, Josha berangkat ke Tasikmalaya. Fenina sampai heran melihat Josha yang terkesan buru-buru. Padahal seingatnya dulu ketika akan berangkat, Josha terlihat malas sekali. Tapi jujur saja, Fenina senang melihatnya.
"Rupanya kamu sudah betah tinggal di sana, Bang," kata Fenina sebelum Josha berangkat.
"Hanum kangen aku, Ma."
Fenina melotot kaget mendengar Josha dengan penuh percaya diri mengucapkannya. "Yakin? Sepertinya Hanum tidak tertarik sama sekali padamu. Maklum, kamu tidak masuk dalam kriterianya. Hanum gadis cerdas yang bermasa depan cemerlang."
"Masa depanku juga cemerlang."
"Memangnya kamu menyukainya? Kalau kamu suka, Mama setuju sekali."
"Dia gadis galak tapi sangat menarik."
Fenina tersenyum geli melihat putranya yang sepertinya baru kali ini penasaran kepada seorang gadis. Ini pertama kalinya mereka membahas gadis yang Josha sukai. Sebelumnya Josha tidak pernah membahas gadis-gadis yang pernah dibawanya ke rumahnya.
Ada kelegaan saat melihat Josha mulai berubah sedikit demi sedikit. Josha tidak lagi bersikap dan berucap manja, meskipun terkadang Fenina merindukan hal itu. Setelah makan pagi tadi Josha juga langsung mencuci piringnya. Benar-benar kemajuan yang luar biasa.
Josha juga bersikap lebih manis padanya. Untuk kali ini saja, rasanya Fenina ingin menghalangi Josha kembali. Tapi itu tidak mungkin. Josha harus kembali dan menyelesaikan misinya. Hanya itu yang dapat dilakukan agar Josha berubah menjadi lelaki yang bertanggung jawab.
Di waktu kemudian, setelah berpamitan pada ibunya, Josha mengemudikan mobilnya dengan riang. Beberapa kali dia menelepon Hanum untuk mengabarkan dia sampai kota apa. Padahal Hanum tidak begitu meresponnya.
"Han, aku kangen masakanmu," ucapnya manja seperti ucapan suami pada istrinya.
"Lagakmu sudah sok akrab."
"Kita memang akrab. Tinggal serumah nggak boleh saling benci, kan?"
Di ujung telepon Hanum tersenyum samar-samar. "Masakan apa?" tanyanya akhirnya. Kalah dengan rayuan Josha.
"Tumis buncis dengan daging. Oh, ya masakkan juga nenek sayur bening bayam. Biar aku yang menyuapinya." Selain merindukan Hanum, Josha juga rindu melihat tawa ompong nenek. Dan tentu saja panggilan khas nenek. Hosa... Hosa...
Josha mematikan ponselnya untuk memberi kejutan pada Hanum. Dia berharap Hanum tidak mendengar kedatangannya. Harapannya terkabul saat mendengar musik mengalun lembut dari arah dapur. Josha menduga Hanum memasak sambil mendengarkan lagu.
Dengan berjalan amat pelan, Josha menangkap pinggang Hanum saat gadis itu sedang menumis masakan pesanannya. Maksudnya ingin memeluk dari belakang. Tapi apa mau dikata, Hanum terlonjak kaget dan mengangkat alat penggorengannya hampir memukul Josha. Tak ingin terluka, Josha mundur cepat sambil mengangkat kedua tangan.
"Josha! Jangan kurang ajar!" ucapnya sengit ketika melihat lelaki itu tiba-tiba sudah berada di dapur. Padahal setengah jam yang lalu Josha bilang masih kurang dua jam lagi dia baru sampai. Dasar pembohong!
"Astaga, Han. Kamu benar-benar galak!"
"Aku nggak suka kamu berbuat seenak kepalamu. Meremehkan setiap wanita yang kamu pikir bisa kamu peluk seenaknya. Aku bukan seperti gadis-gadismu yang murahan." Hanum mengucapkannya dengan penuh marah. Dadanya naik turun karena kesal.
"Sori, aku cuma pengin buat kejutan," jawab Josha tenang dengan mata yang masih menatap Hanum. Mesra.
Ketika tidak ada tanda-tanda bahwa Josha akan menyerangnya lagi, Hanum melanjutkan masaknya dan menghidangkan sayur tersebut di atas meja, lengkap dengan lauk pauknya. Josha tersenyum bahagia melihatnya. Dia mengucap terima kasih berulang kali sampai Hanum bosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
Fiction générale"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...