Josha menarik pergelangan tangan Hanum dengan gelagat mencurigakan seolah tidak ingin ada yang melihat. Josha sudah memastikan bahwa nenek sedang dibawa Bu Minah berkeliling kampung dan Jenny masih asyik memotong rumput meski dengan sangat terpaksa. Jadi sekarang waktunya dia mendekati Hanum.
"Mau ke mana? Jangan main tarik."
"Jalan-jalan pagi. Jangan berisik, nanti Jenny dengar."
Dengan menahan kemengkalannya, akhirnya Hanum tutup mulut. Dia mengekor saja saat Josha mengajaknya untuk melewati pintu belakang karena di halaman depan ada Jenny.
Setelah berada di jalanan kampung, Hanum baru menarik tanganny supaya lepas dari genggaman Josha. Perasaannya tiba-tiba menjadi tak menentu saat berjalan berdua dengan Josha di pinggir tanaman teh yang sangat luas. Udara sejuk menambah kegalauannya saja. Tak sadar dia memeluk tubuhnya sendiri.
"Dingin?" tanya Josha menyentakkan lamunan Hanum.
Gadis itu menggeleng cepat. "Kita mau ke mana?"
"Ke mana aja. Aku bosen diganggu Jenny."
"Kukira kamu senang disusul pacarmu."
"Mantan pacar, Hanum."
"Terserah. Aku nggak peduli."
Josha berhenti kemudian menahan tangan Hanum supaya gadis itu juga berhenti. "Nggak bisa ya kamu bersikap lebih lembut padaku? Selama ini aku sabar menghadapi kamu. Tapi kamu tetap saja bersikap seperti ini. Coba jelaskan salahku di mana?"
Hanum memandang Josha tanpa menjawab apa pun. Bukan karena tak mau berterus terang. Tapi karena dia merasa ada yang lain di dalam hatinya. Jika awalnya dia bersikap dingin karena tidak suka dengan kejalangan lelaki itu, kini sikap dinginnya semakin parah karena dia ingin mengenyahkan perasaan ini. Perasaan ganjil yang mengganggu malam-malamnya.
"Kamu percaya kalau aku berubah gara-gara kamu?" Josha tak melepaskan tatapannya. "Sekarang aku sadar bahwa surat wasiat papa sangat berarti bagi hidupku. Bisa ku bayangkan jika papa tidak memberi surat wasiat itu, ku pastikan sampai sekarang aku masih menghamburkan uang tanpa memikirkan masa depan."
"Aku nggak ikut andil dalam perubahanmu. Keadaan yang memaksamu untuk berubah dengan sendirinya."
"Nggak." Josha menggeleng. "Semua karena kamu, Han. Jadi jangan salahkan kalau aku punya perasaan lain padamu. Oke, aku akui kalau aku yang kalah dan kamu pemenangnya. Tapi itu tidak membuat aku mundur karena kamu terang-terangan menolakku. Aku berani bertaruh, kamu menyimpan rapat-rapat perasaanmu."
"Josh, jangan sok tahu tentang perasaanku. Kamu nggak tahu apa-apa."
"Please, Han. Kita akhiri perseteruan ini. Aku ingin kita berhubungan baik. Oke?"
Hanum tidak menjawab. Gadis itu justru melepaskan tangannya dan berjalan lagi. Josha mengikutinya. Di depan sana, mereka melihat Bu Minah dan nenek sedang berdiam diri di bawah pohon. Sedangkan di sebelah kiri, terdapat ibu-ibu yang sedang berbelanjan di pedagang sayur keliling. Terdapat Reni pula di sana.
"Josh!" panggil Reni seketika membuat Josha dan Hanum berhenti. Wanita itu berjalan cepat menuju kedua orang itu. "Masih betah juga kamu di sini setelah menjebloskan ommu sendiri ke penjara?" tanya Reni berapi-api.
"Bi, tenang," ucap Hanum tidak enak karena banyak ibu-ibu yang melihat adegan mereka.
"Kamu juga, Han. Kamu berpihak pada keponakan tak tahu diri ini. Pantes aja dia dibuang kemari oleh ayahnya. Ternyata memang kelakuannya tak lebih baik dari tukang ngadu."
"Jaga omongan, Bi." Josha mengingatkan dengan santai. "Om Soni sendiri yang mengaku telah merencakanan pembunuhan itu hanya demi warisan Om Setia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...