Josha menyesap rokoknya dengan nikmat. Tiap kali asap itu memasuki tubuhnya, dia memejamkan mata merasakan kenikmatan yang sudah lama tak dirasakannya. Dia memang bukan lelaki yang gemar merokok, tapi bukan pula anti rokok. Bersama Hanum, menjadikannya lebih berhati-hati dalam bertindak. Dia yakin sekali gadis itu tidak menyukai rokok. Jadi sebelum diprotes, dia lebih dulu membuang jauh rokoknya.
Tapi kini dia berada di sebuah klub malam dengan Arfo. Keinginan untuk menghabiskan malam dalam kenikmatan dimanfaatkannya tanpa pikir panjang. Dia bahkan sudah menenggak dua kaleng bir. Selain karena rindu minuman beralkohol itu, dia juga menganggap ini waktunya untuk melepas penat setelah tiga bulan berkutat dengan kasus Om Setia.
"Jadi mayat om lo udah nggak penasaran tuh? Kan udah ketemu pembunuhnya."
"Siapa bilang om gue penasaran? Gue yang penasaran karena kematiannya nggak wajar."
"Berarti lo sekarang udah jadi pahlawan buat om lo. Kalau om lo masih hidup, lo pasti dikasih setengah warisannya."
"Gue cuma mengharap warisan bokap gue. Itu udah melimpah. Buat apa warisan dari adeknya segala."
"Tapi kalau dipikir-pikir, harta om lo itu nantinya pasti akan jatuh ke tangan lo juga. Bukannya saudaranya yang bunuh dia? Berarti nggak ada lagi ahli warisnya selain lo kan?"
Josha seperti baru memahami sesuatu. Dia berpikir bahwa apa yang dikatakan Arfo ada benarnya. Tapi dia juga tidak paham apakah Soni bisa terhapus dari ahli waris jika telah terbukti sebagai pembunuh. Sepertinya semua ini harus ditanyakan kepada Pak Anton suatu hari nanti.
"Gue belum mau mikirin itu. Apa lagi gue ke sini mau bersenang-senang. Bukan untuk mengingat masalah yang lagi gue asingkan untuk sementara."
"Bersenang-senang? Cukup minum alkohol atau perlu cewek?" sindir Arfo dengan sebelah bibir terangkat seperti mengejek.
Josha menoleh. "Lo ada kenalan cewek buat gue?"
"Ngapain lo nyari kenalan lagi? Tuh mantan cewek lo udah siap di sana." Arfo menunjuk gadis yang sedang menggoyang-goyangkan tubuhnya di dance floor. Suara musik yang memekakkan telinga sebenarnya menarik mintanya untuk bergoyang juga sejak tadi. Dia baru tergugah untuk turun setelah mengikuti arah tunjuk Arfo. Dia melihat Jenny di sana.
"Gue samperin dia."
Tanpa berpikir lagi bahwa gadis itu bukan lagi pacarnya, Josha mendekati Jenny dengan percaya diri. Dia ikut bergoyang sebentar kemudian mengagetkan Jenny dari belakang. Seketika Jenny berbalik.
"Josh!" seperti menemukan harta karun di atas ranjang, Jenny tanpa malu memeluk Josha dan mengecup bibir lelaki itu berkali-kali. Pada kecupan ketiga, josha malah menarik kepala Jenny dan melumat bibir gadis itu tanpa ampun. Sampai Jenny hampir terjatuh lunglai kalau saja Josha tidak melepaskan pagutannya.
"Gila kamu, Josh!" seru Jenny kemudian tertawa keras. Tawanya menjadi lebih lebar ketika Josha menarik tubuhnya dan membawa ke apartemennya.
Entah apa status mereka saat itu. Tidak penting sama sekali. Yang terpenting sekarang mereka bisa menikmati kehangatan yang sekian lama mereka hindari. Pergumulan hebat terjadi memaksa mereka untuk melenguh panjang. Menyantap tiap detik kepuasan.
"Aku kangen banget sam kamu, Josh," rintih Jenny ketika baru bangun tidur setelah semalam mereka bergulat.
"Oh, ya? Aku kira kamu cuma kangen uangku. Kalau emang itu yang kamu kangenin, sori aja, aku nggak ada duit. Sekarang aku miskin."
"Eh, masa sih?" Jenny bangun dari tidurnya, memandangi Josha penuh tanda tanya. "Tapi mobil kamu baru."
Mendengar kata mobil, seketika Josha teringat pada Hanum. Gadis itu tidak memberi pendapat apa pun ketika Josha dulu mengajaknya menaiki mobilnya saat membahas kematian Om Setia di kafe. Gadis itu memang berbeda. Lalu entah mengapa dia sekarang merindukan Hanum. Sedang apa dia malam ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...