Ini bukan perjalanan terjauh yang pernah dilaluinya. Sebelumnya dia pernah melakukan perjalanan mengendarai mobil bersama teman-temannya. Dimulai dari Jakarta ke Bandung, Semarang, Surabaya, dan terakhir adalah Denpasar. Memang bukan hanya dia saja yang lelah mengendarai. Mereka bergantian dan lebih sering mampir di tiap kota untuk menginap dan berwisata ke sebuah daerah baru yang mereka kehendaki.
Perbedaannya dengan kini adalah, dia berangkat seorang diri dan tujuannya bukan untuk bersenang-senang. Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu enam jam, harus ditempuhnya selama delapan jam karena macet.
Setiap kali lampu lalu lintas berwarna merah menyala, dia seolah ingin lampu itu tidak berganti warna. Dia berharap dia akan tetap di tempatnya dan tidak ke mana-mana lagi. Padahal sebelumnya, bertemu dengan lampu lalu lintas berwarna merah menyala adalah kesialannya. Kalau tidak sayang pada mobil dan senang berkenalan dengan polisi, rasanya dia ingin sekali menerjang lampu sialan itu.
Tapi kini dia seolah menjadi sosok yang melankolis dan tak berdaya. Tak sanggup untuk menolak takdir sekuat apa pun hatinya menolak. Semua dilakukannya untuk kehidupannya agar kembali seperti semula. Bersenang-senang dan berfoya-foya.
Tak terasa, kini mobilnya telah memasuki sebuah pedesaan yang kanan kirinya terpampang luas dengan kebun teh. Hijau menyegarkan mata.
Josha mengendarai mobilnya dengan lamban. Untuk sesaat dia merasa damai memandang kanan kiri. Udara yang sejuk dan pemandangan yang indah, membuat hatinya tenteram. Berbeda jauh dengan suasana kota yang panas dan berdebu.
Ketika ada beberapa bapak-bapak yang berdiri di pinggir jalan, dia melambaikan tangan, tanda menyapa. Bapak-bapak tersebut menyambut sapaannya dengan suara renyah. Padahal sungguh, mereka tidak saling mengenal.
Dia masih menikmati indahnya kebun teh yang luas ketika di luar dugaannya, seseorang menyeberang dengan seenaknya. Seketika Josha mengerem mobil.
Gadis itu memang tidak terjatuh. Bahkan moncong mobilnya saja tidak mengenainya. Tapi gadis itu terpekik kaget. Gadis itu terlihat melotot pada si pengendara mobil yang tak lain adalah Josha.
"Kalau menyeberang, hati-hati dong!" ucap Josha pada gadis itu yang ternyata tak dihiraukan sama sekali. "Dasar aneh!"
Josha kembali melajukan mobilnya dan mencari alamat rumah Om Soni, adik Papa yang nomor tiga. Jadi Papanya adalah tiga bersaudara. Papanya anak sulung, Om Setia anak nomor dua, dan Om Soni anak bungsu.
Dia terakhir kemari pada saat SMP kelas dua. Setelah itu dia tidak pernah mau diajak kemari. Dia lebih memilih untuk pergi dengan teman-temannya yang tentunya lebih mengasyikkan. Meskipun begitu, Josha tidak lupa mana rumah Om Soni dan mana rumah Nenek Ismi.
Soni yang telah dikabari oleh Fenina tentang kedatangan keponakan satu-satunya─Om Setia belum menikah sampai meninggal─menanti Josha di depan rumahnya. Ketika melihat mobil paling bagus yang pernah masuk ke desanya, Soni langsung berjalan menghampiri sambil merentangkan kedua tangannya.
Josha segera turun dari mobil dan menerima pelukan hangat dari pamannya tersebut. Wajahnya masih tawar, hanya dihiaskan sedikit senyum, itu pun terpaksa.
"Apa kabar keponakan om?" Soni menyambutnya dengan hangat. Senyumnya lebar, selebar daun kelor, dan mengamati Josha dari atas sampai ke bawah seolah-olah memperlihatkan kekagumannya kepada pemuda ganteng yang baru datang itu.
"Baik, Om. Om dan keluarga bagaimana? Sehat semua kan?" tanya Josha basa-basi.
"Ya, kami baik. Malah lebih baik dengan kedatangan kamu. Ayo masuk, Tante Reni sudah menunggumu di dalam dengan masakan spesial untuk menyambut keponakan paling keren ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...