Suara ayam berkokok. Suara itu yang membangunkan tidur nyenyak Josha. Seperti dalam buku-buku sekolah saat dia duduk di Sekolah Dasar dulu. Bangun tidur karena mendengar suara ayam berkokok. Dan hari ini untuk pertama kalinya, Josha mengalaminya.
Dia membuka mata kemudian bangun dan menyibak tirai jendela. Suasana pagi yang sejuk dengan pemandangan hijaunya kebun teh. Rasanya lebih segar dari pada bangun karena teriakan Mama. Atau bisa juga bangun karena suara ponselnya yang selalu aktif. Baru pagi ini dia menyadari bahwa sinyal di perkebunan ini tidak begitu lancar. Pesan-pesan yang masuk dari Mama dan Arfo muncul terlambat. Tapi ternyata ada satu hal baru yang sangat menenangkan, ketika ponselnya lebih banyak diam, maka hidupnya juga lebih tenteram. Yah, walaupun dia masih merindukan dunia gemerlap malam Jakarta.
Josha masih memandangi taman bunga di halaman depan ketika sosok gadis yang dipujanya semalam muncul sambil membawa gembor. Mata Josha menyipit menyaksikan keindahan alam yang kedua itu.
Pagi itu Hanum hanya mengenakan kaos longgar dan rok di atas lutut. Tapi di mata Josha gadis itu sangat menawan. Gadis desa yang cerdas namun sepertinya sulit untuk ditaklukkan. Tak sadar dia keluar dari kamar dan mendekati gadis itu.
"Pagi, Han," sapanya lembut dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Hanum menoleh sekilas kemudian meneruskan kembali pekerjaannya. "Ini pekerjaanmu setiap hari?"
Sepi. Masih tak ada jawaban. Josha semakin penasaran mengapa gadis itu tidak mau sama sekali berbicara dengannya. "Apa aku begitu memuakkan sampai kamu tidak mau bicara padaku?" Masih sepi. Hanum masih asyik menyiram tanaman.
Tak sabar, Josha memegang lengan gadis itu. Lalu seperti disengat lebah, Hanum berjengit untuk menjauhkan diri. Matanya bersorot marah. "Sorry, aku kira kamu tidak dengar," ucap Josha santai.
"Ada apa?"
Hm, akhirnya, bibirnya terbuka juga. "Perlu bantuanku?"
Sungguh, Josha hanya iseng menanyakannya. Tapi tidak menyangka bahwa Hanum akan berkata lagi setelah beberapa detik berpikir. "Ikut aku."
Josha mengangkat kedua pundaknya kemudian mengikuti Hanum. Tapi baru selangkah, Hanum berbalik lagi.
"Jalan di depanku," ucap Hanum pendek. Perkataannya membuat Josha tergelak ringan. Josha jadi yakin bahwa semalam gadis itu memang menangkap matanya yang jelalatan.
Josha mengangkat kedua tangannya kemudian berjalan lebih dulu. Dia seperti musuh yang baru saja tertangkap oleh lawan. Hingga akhirnya langkahnya berhenti di halaman belakang. Dan di sana ada seorang nenek yang sedang duduk berjemur.
Jadi ini yang namanya Nenek Ismi? Tanya Josha dalam hati.
Nenek Ismi menoleh dengan senyum ompongnya. Kerut-kerut yang memenuhi wajahnya ikut tertarik saat bibirnya melebar. Sepintas, Josha membalas senyumnya.
Hanum lebih dulu mendekati Nenek Ismi kemudian berjongkok. "Nek, ini Josha, cicit nenek." Terlihat Nenek Ismi memandangi Hanum. Entah mengerti atau tidak, tapi Nenek Ismi hanya diam saja. "Jadi mulai hari ini nenek akan dirawat oleh Josha. Nenek senang, kan?"
"Ralat, Hanum. Bukan hanya aku yang akan merawat. Tapi kita berdua," kata Josha dengan wajah ngeri. Jangan bilang kalau hanya dia saja yang merawat. Hanum juga harus punya peran. Ini akan tidak adil baginya. Hanum hanya melirik tajam tanpa mau berucap apa pun.
"Sekarang nenek makan dulu ya. Biar Josha yang menyuapi." Tanpa menunggu reaksi Josha, Hanum mengambil semangkuk bubur ayam yang sudah ada di samping kursi. Kemudian dia menyodorkan mangkuk itu pada Josha.
"Eh, tapi aku belum terbiasa melakukannya." Raut muka Josha kebingungan. Dia ingin menolak tapi mangkuk itu sudah berada di tangannya. Melihat Hanum pergi begitu saja, dia kembali berkata, "Kamu mau ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
Fiction générale"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...