Jika ada rasa bersalah terbesar dalam hidupnya, maka inilah rasa bersalah itu. Akibat dari keegoisannya dan hanya memikirkan tentang penyembuhan sakit hati serta menghindari lelaki yang tidak dapat dipercaya, Hanum harus mengorbankan Nenek Ismi yang telah merawatnya sejak remaja. Semua karena kecerobohannya. Nenek kelelahan sampai akhirnya meninggal dunia.
Tangisan Hanum menderu akibat rasa bersalah yang teramat sangat. Seandainya saja dia tidak ikut Josha ke Jakarta, seandainya saja dia tidak egois dengan mengajak nenek pulang cepat, dan banyak pengandaian yang lain yang membuat dirinya lemas sampai tak mampu berdiri.
"Sabar, Han. Ini sudah takdir," kata Bu Minah berusaha menenangkan Hanum karena gadis itu tak mau beranjak dari samping jenazah nenek. Sementara para tetangga telah berkumpul dan mempersiapkan segala keperluan untuk pemakaman dan perawatan jenazah. Beberapa keluarga jauh Nenek Ismi duduk berkeliling membaca kitab suci.
"Semua gara-gara aku, Bu Minah. Aku yang ngajak nenek ke Jakarta. Aku juga yang ngajak pulang cepat," isak Hanum tak peduli meski beberapa orang memberi nasehat dan menariknya lembut supaya tidka terlalu dekat dengan jenazah.
"Jangan menyalahkan diri sendiri, Han. Nenekmu tidak akan tenang kalau kamu tidak bisa merelakannya. Ikhlaskan, Han."
Bagaimana bisa aku mengikhlaskannya? Sementara nenek adalah pahlawanku selama ini. Jika saja nenek tidak memungutku dari panti asuhan, aku tidak akan hidup seberuntung sekarang.
Malam semakin larut. Gelap tidak menghalangi keinginan masyarakat untuk memakamkan jenazah nenek pukul sembilan malam. Hanum tidak punya pilihan lain sekalipun dia ingin waktu lebih lama lagi untuk berada di dekat nenek. Kalau saja dia tahu bahwa tadi malam adalah malam terakhirnya bersama nenek, dia akan memeluk nenek sepanjang malam.
Maafkan aku, Nek. Suara batin Hanum menyeruak ketika melepaskan kepergian nenek. Dia tidak bisa ikut mengantar nenek ke tempat peristirahatan terakhir nenek karena dilarang oleh para tetangga. Hanya satu alasan karena proses pemakaman itu dilakukan pada malam hari.
***
Pukul satu malam. Hanum belum juga bisa tidur. Semua yang terjadi seharian itu seperti mimpi baginya. Kejadian demi kejadian mampir dalam setiap helaan napasnya. Hingga pada waktu terakhir dia harus kehilangan orang yang paling dicintainya.
Malam ini dia tidur di kamar nenek. Sedangkan Bu Minah dan dua orang saudara nenek yang rumahnya tak jauh dari rumah nenek, menginap di kamar belakang. Dia masih ingin meraup aroma nenek. Aroma khas minyak telon dan bedak bayi. Hanum memang merawat nenek seperti merawat bayi. Dia tidak mau ada orang jijik melihat nenek. Neneknya harus terlihat segar dan wangi. Sekarang nenek sudah tidak ada. Tidak lagi seseorang yang dilumuri minyak telon dan ditaburi bedak bayi.
Hanum berjalan menuju dua benda tersebut yang tertata rapi di atas meja. Dia menuangkan minyak telon itu ke telapak tangannya dan mengoleskannya ke leher dan lengannya. Aroma segar langsung menyeruak den membuatnya lebih tenang.
Aku ingin bersama nenek lagi. Kapan kita bisa bertemu, Nek?
"Hanum!"
Hanum menoleh secepat kilat ketika pintu kamarnya terbuka. Dia melihat lelaki itu. Lelaki pemicu keegoisannya sehingga nenek meninggalkannya begitu cepat.
Josha melangkah cepat kemudian menubruk gadis itu. Memeluk erat untuk menyalurkan kasih sayang dan kekuatan. Sayangnya Hanum tidak merespon sama sekali. Gadis itu justru mendorong sekuat tenaga.
Josha mundur cepat karena mendapat dorongan mendadak. "Han?" desis Josha tak mengerti mengapa Hanum bersikap seperti itu.
"Mau apa kamu kemari? Semua wasiat yang ayahmu rencanakan sudah kamu lakukan. Jadi tak ada yang perlu dilakukan lagi di sini," kata Hanum dengan wajah dingin dan datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...