Hanum memang gadis desa. Tapi sejak SMA dia bersekolah di kota. Begitu pula sekarang saat dia telah menjadi mahasiswa. Jadi penampilan dan gaya bicaranya juga tidak kalah dengan gadis perkotaan. Josha bahkan heran dengan pakaian Hanum yang kekinian. Coba lihat saja penampilan Hanum hari ini. Blouse warna merah dipadukan dengan celana jeans dan sneakers senada dengan warna bajunya. Rambut panjangnya diekor kuda. Wajahnya disapu make up tipis. Dan satu hal lagi yang mempercantik penampilannya, gelang dan kalung mungil yang bertengger manis.
Josha tak akan memungkiri bahwa gadis yang berada di depannya ini memang sangat menarik. Fisik dan penampilan adalah poin nomor dua. Yang utama adalah karena sikap dan ucapannya yang tegas dan penuh percaya diri. Itulah daya tarik paling hebat dalam diri Hanum.
Sebenarnya Josha tidak ingin berhenti beradu pendapat dan tanya jawab seperti tadi. Hanya dari obrolan itu saja, jiwanya jadi bersemangat dan ingin rasanya meraup Hanum untuk menaklukkan gadis itu seperti yang biasa dia lakukan kepada Jenny atau Virny. Tapi otaknya masih bekerja waras. Hanum tentu berbeda. Sangat berbeda!
Sebelum Josha membuka mulutnya, Hanum lebih dulu memanggil pelayan. Tanpa memedulikan Josha yang tak mengalihkan pandangan terhadap dirinya, dengan tenang Hanum memesan makanan. Makanan berat, nasi cumi saus pedas dan kepiting saus tiram.
Sejak pagi dia belum makan. Jadi mumpung Josha mentraktir, dia akan makan semaunya. Lelaki itu anak orang kaya, bukan? Justru Josha-lah yang menelan ludah karena makanan yang dipesan Hanum bukan makanan murah. Kartu kreditnya memang belum berkurang. Tapi dengan pengeluaran yang sebesar ini, dia tidak yakin uangnya akan cukup untuk beberapa bulan ke depan. Pengeluarannya saja sudah menumpuk.
Ketika pesanan mereka datang, Hanum hanya melirik sekilas pada sepiring nasi goreng yang diletakkan di depan Josha. Tidak ada pertanyaan apa pun tentang menu pilihan Josha. Dia bahkan tidak menawari Josha cumi dan kepitingnya. Dia makan dengan lahap dan tidak menyisakannya sedikit pun. Dalam diamnya, Josha melirik penuh kekesalan.
"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan tentang kematian Om Setia?" tanya Hanum setelah meja mereka bersih. Tinggal segelas minuman dingin yang belum dihabiskannya.
"Sebelum aku menjawab, aku akan bertanya lebih dulu." Josha membersihkan bibirnya dengan tisu. "Sebegitu banyak porsi makanmu? Setiap hari?"
"Nggak selalu. Kalau sedang ingin saja." Hanum menjawab malas. "Kenapa? Keberatan? Aku bisa membayarnya kalau uangmu nggak cukup."
"Hah, uangku nggak cukup? Ada-ada saja! Membeli kafe ini pun aku sanggup!" Josha berdecih. Wajahnya menampilkan kesombongan. Hanya untuk menutupi kelemahannya.
"Lalu?" Hanum bersedekap dan bersandar dengan nyaman. Pada saat itu fokus Josha menjadi berpindah. Dari mata turun ke dada gadis itu. Ada sesuatu yang menonjol di sana ketika Hanum bersedekap.
Menyadari posisinya yang salah, Hanum tidak lantas salah tingkah. Dengan mata yang bersorot jengkel, dia mengambil sweater dari dalam tasnya dan memakainya tanpa ragu meski Josha sudah menyunggingkan sebelah bibir.
"Bahkan kamu nggak menawariku makananmu."
"Nggak penting, Josha." Hanum menekankan suaranya saat menyebut nama Josha. "Sekarang mulailah bercerita atau aku pulang."
Josha tertawa. "Oke, akan kumulai dengan kecurigaanku tentang ketidakwajaran kematian Om Setia." Tawanya berubah menjadi senyuman miring. Sesekali pandangannya menyapu daerah dada itu lagi─dada yang terlihat menggiurkan─dan membuat Hanum memutar bola mata. "Kukira kamu pasti menyadarinya. Hanya saja kamu tidak berani mengungkapkannya."
"Aku tidak berhak mengacaukan suasana kekeluargaan yang terjalin damai sekian lama."
"Jadi kamu akan membebaskan pelaku pembunuhan hanya untuk menciptakan kedamaian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...