Pada akhirnya Josha bisa tenang setelah sibuk dengan ketakutannya sendiri. Dia tidak berani memadamkan lampu kamarnya. Dia berusaha mengusir ketakutannya dengan menelepon Arfo. Dalam waktu yang sama pukul sebelas malam, terdengar suara musik yang menghentak-hentak di ujung telepon sana. Sialan! Seharusnya dia juga berada di tempat yang sama, merasakan nikmatnya dunia gemerlap.
"Oi, gimana nasib mayat om lo?" teriak Arfo supaya Josha mendengar pertanyaannya.
"Brengsek lo!"
Terdengar Arfo tertawa terbahak-bahak. "Nggak kangen cewek lo? Dia ada di samping gue."
"Siapa yang lo maksud?"
"Virny."
"Dasar cewek murahan!"
Arfo tertawa lagi. "Apa bedanya sama lo? Lo juga murahan."
Josha mendengus kemudian mematikan teleponnya. Sepertinya menelepon Arfo bukan keputusan yang tepat. Yang ada Arfo malah meledekanya. Padahal dia butuh pendapat orang lain tentang analisa ketidakwajaran kematian Om Setia. Di mana dia bisa menemukan orang yang bisa diajaknya untuk berdiskusi masalah penting ini?
Ah, sudahlah. Lebih baik dia tidur malam ini. Dan bersiap untuk merawat nenek besok pagi. Dia harus memastikan nenek sudah buang hajat sebelum Hanum berangkat. Dia tidak mau repot lagi. Dan yang utama, dia tidak mau kehilangan nafsu makanannya. Semoga Hanum bisa meringankan pekerjaannya yang masih dalam tahap belajar ini.
Lalu tanpa sadar dia sudah terlelap dalam tidurnya. Dia baru terjaga dengan nafas memburu ketika mendengar salak anjing pada pukul dua malam, diiringi dengan suara yang memanggil namanya.
Keringat dingin bercucuran di wajahnya. Jantungnya berdetak begitu cepat. Dia mengamati sekelilingnya, hendak mengambil minum yang biasa tersedia di atas nakas. Tapi tak ada minuman apa pun di sana. Dia lupa kalau dia tidak sedang berada di kamarnya di Jakarta. Jadi ditelannya saja ludahnya, kemudian kembali tidur dalam cemas.
***
Keesokan paginya, Josha melangkah menuju kamar mandi dengan berkalung handuk dan sekotak alat mandi. Di rumah ini hanya ada dua kamar mandi luar yang berdampingan dengan dapur. Tidak ada kamar mandi dalam seperti di rumahnya. Saat itu dia melihat Hanum sedang meracik masakan. Mungkin untuk nenek.
"Pagi, Han," sapanya yang hanya dibalas dengan kata 'hm'. "Good morning, Honey bunny sweety," goda Josha karena merasa tidak dihiraukan. Godaannya sukses membuat Hanum melirik dengan mata penuh ancaman.
Josha bersandar di depan pintu kamar mandi sambil memandangi Hanum yang berdiri membelakanginya. Sekali lagi, mata sialnya melihat pinggang ramping gadis itu. Tidak seperti pada malam pertama dia datang ke rumah ini saat Hanum berbalik melihatnya, Josha mengalihkan pandangannya. Dia tidak pura-pura lagi mengalihkan perhatiannya. Dia justru memandang menggoda. Hal itu jelas membuat dada Hanum naik turun karena kesal.
"Kamu cantik, Han. Seksi."
"Memang hanya itu yang ada dalam kepala cowok mesum seperti kamu. Nggak jauh-jauh dari urusan seks."
"Wow," Josha membeliak dengan tawa ringan. Dia mengerutkan kening karena keberanian Hanum mengucapkannya. "Kamu cukup berani ya. Dan galak."
Hanum tidak merespon jawaban Josha. Dia mengucapkan hal lain yang membuat Josha melotot kaget. "Tugasmu hari ini adalah mengurus pakaian kotor nenek dan ajak nenek jalan-jalan di depan rumah."
"Memangnya kamu mau ke mana, Han? Ini hari sabtu, kan? Jangan bilang kamu ada kuliah," protes Josha ikut kesal.
"Ada kuliah atau nggak ada kuliah, itu tetap jadi tugas kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...