Josha kembali ke Jakarta dengan tenang karena telah menemani Hanum dalam ujian skripsi. Perpisahan mereka tadi pagi cukup menggelikan di mata Josha karena untuk pertama kalinya wajah garang Hanum berubah seperti anak kecil yang kehilangan bonekanya.
"Jangan sedih begitu dong," ucap Josha menahan tawa melihat Hanum yang diam saja dengan ekspresi seperti orang bingung. "Aku kan cuma ke Jakarta nggak sampai seminggu, bukan mau ke medan perang."
"Kamu mau menemui Jenny lagi seperti dulu?" Hanum merasa bodoh dengan pertanyaan itu. Seperti gadis manja yang selalu curiga dan cemburu terhadap kekasihnya. Sekarang dia sendiri melakukan hal yang sama.
"Nggak akan. Sekarang yang ada di dalam mata, kepala, dan hatiku hanya kamu, Hanum. Aku memang nggak berjanji ini akan selamanya karena kita nggak tahu apa yang akan terjadi esok. Tapi aku akan berusaha untuk menjaga hubungan kita." Josha menggenggam tangan Hanum dan memandang gadis itu lekat-lekat.
Hanum tanpa menjawab memeluk kekasihnya dan merebahkan kepalanya di dada Josha. Sekarang dia tahu kenapa para gadis mudah menyerahkan diri kepada lelaki. Rasa cinta yang membumbung tinggi membuat seorang gadis rela memberikan apa saja asal lelaki yang dicintainya bahagia.
Josha mendekap erat tubuh Hanum seolah tak ingin melepaskan. Dia jadi ingin segera berangkat lalu kembali dan bisa bersama kekasihnya setiap hari. Atau kalau perlu sepulang nanti dia akan menikahi gadis itu supaya tidak ada batasan lagi dalam diri mereka.
Mobil Josha telah memasuki halaman rumahnya. Setiap kali melihat rumah itu, Josha selalu ingat akan kenakalannya di masa remaja dan betapa menjengkelkannya dia sebagai seorang lelaki yang tak tahu diri.
Mbak Mina yang sedang menyiram bunga, langsung melemparkan gembornya dan menghambur mendekati mobil Josha yang baru saja berhenti.
"Ya ampun, Bang Josh, lama sekali nggak pulang. Betah amat di Tasik. Kata Bu Nina Bang Josh udah punya cewek ya? Makanya nggak mau balik ke sini," celoteh Mbak Mina membuat Josha tertawa. "Ceweknya kok nggak diajak kek sini, Mas?"
"Besok-besok kalau urusan udah beres. Udah masakin nasi goreng, belum?"
"Udah, udah," Mbak Mina ngelonyor ke dapur. Sementara Josha setengah berlari memeluk Fenina yang telah berdiri di tengah pintu menyambutnya.
"Apa kabar, Ma?" sapa Josha sambil melepaskan pelukan. Baru seminggu mereka berpisah setelah Fenina kembali ke Jakarta, tapi rasanya seperti lama tak bertemu.
"Baik, Bang. Mama kangen kamu."
"Aku juga kangen Mama."
"Hanum tidak kamu ajak?"
"Hanum baru aja selesai ujian skripsi jadi sekarang masih sibuk proses perbaikan. Lagi pula nggak tega juga ninggal nenek cuma sama Bu Minah."
Mereka menuju ruang keluarga dan bersantai di sana setelah Josha meletakkan tas ransel. Aroma nasi goreng menerpa membuat perut Josha yang sejak tujuh jam yang lalu tidak terisi. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Tapi dia sudah tidak sabar untuk menikmati sepiring nasi goreng buatan Mbak Mina.
"Mau makan sekarang, Bang?"
"Boleh, Ma." Josha segera berdiri kemudian mereka menuju meja makan.
Sebenarnya Josha ingin makan dengan tenang tanpa membicarakan suatu hal. Tapi sudah menjadi kebiasaan Fenina suka membicarakan sesuatu di meja makan.
"Bang, Mama ada teman yang punya butik busana batik. Mama bisa bantu kamu untuk memasarkan batik kita ke teman Mama. Memang yang dibutuhkan tidak terlalu banyak karena ini hanya butik. Tapi Mama sudah menelepon pengusaha konveksi yang menjadi langganan pemda. Tante Anindra yang memberi tahu Mama." Anindra adalah adik Fenina yang bekerja di pemda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Bang Josh (End✅)
General Fiction"Wasiat sialan!" Umpatan itu yang diucapkan Josha saat tahu papanya yang baru saja meninggal memberinya empat wasiat yang harus diselesaikan. Jika Josha menolak wasiat itu, maka bisa dipastikan dia tak akan mendapatkan harta warisan papanya sepeserp...