Chapter 17

1.4K 116 0
                                    

Di sebuah lembah yang berada di antara Pegunungan Fallegt dan Hutan Farast tengah terjadi duel. Duel tersebut melibatkan pasukan dari Fackla dan juga dari Farast.

"Pedangmu cukup hebat, tapi percayalah kau akan mati oleh pedangku," ujar Pangeran Edmund ketika dia berduel pedang dengan salah satu bangsa Vampir dari pihak musuh.

"Sebelum itu terjadi, Andalah yang akan mati di tanganku, Yang Mulia Pangeran Edmund," balas vampir itu dengan menekankan suaranya ketika menyebut Pangeran Edmund.

"Mari kita lihat siapa yang akan meninggalkan nyawa di lembah ini." Pangeran Edmund tersenyum miring di balik pelindung wajahnya.

Secara langsung Pangeran Edmund melemparkan serangan. Namun langsung ditangkis oleh vampir itu. Serangan yang membabi-buta oleh Edmund membuat vampir tidak sanggup melawan serangan Pangeran Edmund lagi. Ia hanya mencoba melindungi dirinya dengan tameng. Ini memberi ruang kosong bagi Pangeran Edmund untuk menyerang tanpa ampun.

Akan tetapi, tampaknya sang pangeran sedikit lengah. Ketika vampir itu sudah tergeletak di tanah, dia secara tiba-tiba menggerakkan kakinya menabrak kaki Pangeran Edmund. Alhasil sang pangeran juga terjatuh.

Si Vampir kemudian mengambil posisinya. Pedangnya sudah dihadapkan ke sang pangeran, untungnya Pangeran Edmund berhasil menangkis. Kuasa Edmund tak begitu banyak, dia hanya melakukan tangkisan dan sesekali berlindung di balik tamengnya.

"Sialan!" maki sang pangeran.

Posisinya kini berada di bawah vampir. Hanya perlu sekali tusukan saja untuk melenyapkan sang pangeran.

"Dalam posisimu seperti ini masih saja bisa mengumpat," kata vampir tersebut.

Dalam sekali bantingan, Pangeran Edmund sudah membalikkan posisi mereka, yang awalnya dia di bawah kini sudah di atas. Dia juga berhasil melepaskan pedang yang ada di tangan vampir itu. Si Vampir hanya memiliki tameng saja sebagai perlindungan.

"Memangnya tidak boleh apa jika aku mengumpat?" Pangeran Edmund benar-benar telah mengambil kuasa sang musuh.

"Keparat!" umpat vampir itu.

Di detik itu juga Pangeran Edmund menusukkan pedangnya tepat di dada vampir, yang membuat si vampir itu terhenti dan memegang dadanya yang penuh darah.

"Sudah kubilang kematianmu ada di tangan pedangku." ujar sang pangeran secara bangga.

Sementara itu, di ruang bawah tanah Fackla sudah ada Ratu Elena yang sedari tadi sedang merasa cemas. Dia sudah didampingi oleh Vexie dan juga Pangeran Axelle, pangeran dari West Land.

"Yang Mulia, putri Anda akan baik-baik saja. Percayalah padaku," ujar Vexie terus mencoba menenangkan Ratu Elena.

Pangeran Axelle ikut menyahut, "Benar, Yang Mulia, Anda tidak perlu khawatir. Saya yakin Putri Eliza bisa menjaga dirinya."

Ratu Elena tidak terlalu fokus dengan apa yang diucapkan Vexie dan Pangeran Axelle. Dia terus menggingit buku kukunya hingga memucat. Perasaannya begitu bergejolak. Emosi sang ratu benar-benar tidak stabil.

Kondisinya akhir-akhir ini pun sedikit memburuk, ini disebabkan dia terlalu stres memikirkan kerajaan dan putrinya, Putri Eliza. Bahkan sudah dua hari ini Ratu Elana tidak makan. Raja Stefan tidak mengetahui keadaan Ratu Elena, karena jika dia mengetahuinya pasti dia akan khawatir. Lagipula Ratu Elena melarang siapapun memberitahu keadaannya pada Raja Stefan maupun Pangeran Edmund.

"Aku harus pergi ke pulau itu," ujar Ratu Elena dengan tegas, mengangetkan Vexie dan Pangeran Axelle.

"Maaf, Yang Mulia, Anda berniat pergi ke pulau mana?" sahut Vexie. Sebenarnya dia tahu apa yang dimaksud pulau oleh Ratu Elena. Sedangkan Pangeran Axelle diam saja sambil mendengarkan, dia tidak tahu pulau apa yang dimaksudkan oleh Ratu Elena.

DodhéantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang