Chapter 21

1.4K 104 18
                                    

Lembah Rexy merupakan saksi terjadinya pertumpahan darah beberapa abad yang lalu. Sengketa antar sesama makhluk immortal rasanya tidak akan pernah padam, Ares pun menyukainya. Padahal pertumpahan darah yang terjadi sekitar 300 tahun yang lalu telah menelan korban lebih dari 50.000 jiwa, yang terdiri dari semua golongan makhluk immortal. Suara tangisan penerus mereka tak juga membuat mereka berdamai, apalagi ditambah Lucifer yang terus-terusan menyulut keributan, mencoba mengadu domba setiap golongan makhluk immortal. Tujuan utamanya memang pembalasan dendam. Sayangnya, sebanyak apapun cara yang ditempuh Lucifer, belum ada yang berhasil sepenuhnya. Musuh Lucifer lagi-lagi menjadi lawan yang kuat setelah ia lemahkan.

Kejadian ratusan tahun lalu itu kini terjadi lagi. Lembah Rexy selalu menjadi saksi sejarah. Mereka saling menyerang dengan membabi buta, tidak peduli sudah berapa banyak nyawa yang melayang. Yang jelas, semakin banyak nyawa yang terbunuh, semakin memperbesar peluang kemenangan. Pihak Kerajaan Fackla dan Lucifer memang sudah menjadi musuh bebuyutan sejak dahulu kala.

Dalam pertumpahan darah kali ini, pasukan dari Lucifer mengerahkan sekitar 15.000 pasukan yang terdiri dari pengikut setianya, sedangkan dari pihak Fackla, mereka hanya berpasukan sekitar 9.000 pasukan. Tentu mereka kalah telak dalam masalah jumlah. Apalagi sedari tadi korban terus berjatuhan dari pihak Fackla.

Raja Stefan, selaku pemimpin pasukan Fackla, mulai khawatir dengan kekuatan pasukannya. Dia mengisyaratkan pada Maxim untuk membawa pasukan mereka mundur, Maxim mengagguk patuh pada sang raja.

Maxim berteriak untuk mengomandankan pasukan agar mundur dan kembali ke tempat peristirahatan. Ledekan dan decihan pun keluar dari mulut pihak Lucifer. Namun, sama sekali tidak didengar oleh pihak Fackla.

Raja menghela napas pasrah, dia hampir menyerah. Ada rasa bersalah dalam dirinya yang merasa begitu egois harus mengorbankan mereka demi putrinya. Walaupun sebenarnya pihaknya dan Lucifer tidak pernah akur.

"Maxim, buat strategi lain! Kita tidak bisa terus berperang. Sudah tiga kali peperangan, tetapi tidak menghasilkan kemenangan. Aku tidak berpikir sesempit seperti yang terlintas di pikiran kalian. Aku hanya tidak ingin korban dari kita semakin banyak." Ada nada frustasi di dalam ucapan sang raja. Dan itu membuat suasana menjadi hening.

"Saya mempunyai usulan, Yang Mulia," kata Maxim yang ditanggapi anggukan oleh Raja Stefan agar Maxim menyuarakannya.

"Kami akan mengirim surat ajakan untuk berperang secara personal ke Lucifer. Jika kita bisa memenangkannya, Lucifer harus membebaskan Putri Eliza," jelas Maxim.

Raja Stefan terlihat ragu, "Meskipun kita memenangkan perang, aku yakin Lucifer tidak akan dengan mudah membebaskan putriku, tapi mencoba tidak ada salahnya,"

"Kapan Anda bersiap melakukannya, Yang Mulia?" tanya Maxim pada sang raja.

"Lusa aku sudah siap." balas Raja Stefan.

***

Pangeran Edmund mengeram menahan amarah. Setelah perang tadi, sang pangeran memutuskan untuk pulang ke istana, karena luka yang dideritanya cukup parah. Sesampainya di istana dia justru dikejutkan berita bahwa ibunya dan Pangeran Axelle sedang dalam perjalanan menuju Pulau Riore. Dia mengetahuinya ketika dia tidak sengaja mendengar omongan Vexie yang sedang berbicara dengan Frixin, burung merpatinya. Pangeran Edmund merasa sangat marah, bagaimana dia dan sang ayah bisa kecolongan seperti ini. Dia tidak marah pada sang ratu, dia lebih marah kepada dirinya sendiri yang terlalu lalai.

Hal lain yang membuat amarahnya semakin memuncak yaitu Ratu Elena tengah menjadi tahanan Minotaur. Para bangsa peri mengetahuinya sebagai musuh. Minotaur merupakan makhluk bengis yang tak memberi ampun ketika menyiksa, apalagi saat wilayahnya sudah terganggu. Selain itu, Minotaur merupakan bawahan Lucifer, yang mana pasti Ratu Elena sangat dalam bahaya.

"Katakan padaku di mana ibuku sekarang?" Pangeran Edmund hampir kesetanan. Dia tidak bisa membiarkan ibunya dalam bahaya.

"Ada di perbatasan antara Hutan Visberia dan Hutan Frikson, Yang Mulia," ucap Vexie seraya tertunduk, dia tahu sang pangeran tengah dalam keadaan marah.

Setelah mengetahuinya, Pangeran Edmund segera bergegas. Dia menyiapkan perbekalan secukupnya dan mengambil kuda miliknya. Dia bahkan tidak peduli dengan luka yang bahkan baru saja diobati. Yang menjadi prioritasnya saat ini adalah ibunya. Persetan pula dengan perang yang tengah terjadi.

Sementara itu, Ratu Elena baru saja tersadar. Matanya perlahan membuka dan mengamati sekitar. Dia seperti berada di sebuah gua yang minim cahaya. Kepalanya pusing dan seluruh tubuhnya terasa pegal. Sang ratu mencoba untuk bangun, tapi tidak bisa. Tulangnya terasa remuk, sangat sulit digerakkan. Matanya kembali mengernyit ketika berusaha mencari sosok Pangeran Axelle.

Dia baru tersadar bahwa kakinya terantai. Ratu Elena memberontak, tapi percuma saja sebab seluruh tubuhnya mati rasa. Dia tercekat ketika kakinya dirasa seperti ada yang menggenggam terlalu erat, hingga terasa sangat sakit. Kemudian dia menoleh dan mendapati tatapan tajam dari Minotaur. Seperkian detik, tubuh sang ratu dibanting dengan keras ke arah tembok yang terbuat dari batu.

Ratu Elena meringis menahan sakit yang menjalar ke tubuhnya. Pandangannya juga mulai kabur. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Ratu Elena berusaha bangkit. Namun, gagal sebab tubuh sang ratu kembali dibanting. Kali ini pandangannya benar-benar telah hilang.

Sang Minotaur terlihat puas menatap tubuh Ratu Elena yang lemas. Baru saja dia akan melakukan sedikit aksi lagi, tapi seseorang memblok tangannya. Si Minotaur menggeram marah, dia langsung balik memblokade.

"Makhluk sialan ini cukup kuat!" Ujar Pangeran Axelle yang mulai menghindari serangan Minotaur.

Hembusan napas dari Minotaur semakin kasar, dia sedang dalam keadaan marah. Kakinya dengan cepat melangkah menuju sang pangeran. Pangeran Axelle segera menghindar, serangan Minotaur tak mengenai sasarannya. Hal ini membuat sang pangeran tersenyum miring. Selagi Minotaur itu masih kalang kabut, Pangeran Axelle melayangkan pukulan keras padanya beberapa kali hingga Minotaur itu pingsan.

Ratu Elena masih terbaring lemas. Pangeran Axelle mencoba menghampirinya, dan membawa sang ratu keluar dari tempat Minotaur itu.

*****

Lucifer tersenyum kecil, sedikit terhibur dengan pertunjukan yang sedang berlangsung itu. Dia bangga mengetahui bahwa dialah penyebab pertandingan ini dimulai. Balas dendamnya tentu belum terbalas, sebab pertandingan ini masih prolog.

"Lucifer," panggil seseorang.

"Pihak Kerajaan Fackla mengirim surat untukmu," kata Jack yang tengah memegang surat tersebut.

Lucifer mengambil yang kemudian berdecih sembari tersenyum licik. "Katakan padanya aku menyetujuinya."

Jack mengangguk, lalu berjalan meninggalkan Lucifer.

Lucifer melangkahkan kakinya menuju suatu ruangan yang terdapat seperti peti mati. Dia membuka peti tersebut, dan mendapati sebuah pedang, Úmrtia. Tidak hanya pedang, tapi juga seperangkat perlengkapan perang seperti baju perang dan lainnya.

Sebenarnya dia bahkan tidak memerlukan barang-barang itu. Dia sangat yakin bisa memenangkan pertarungan tanpa menggunakan perlengkapan perang. Sombong. Ya, dia memang sombong. 

Lucifer mengambil pedang Úmrtia miliknya yang terbuat dari emas dan kristal panas dari neraka. Pedang itu begitu bersih dan sangat mengkilat serta terlihat sangat tajam. Lucifer memandangi pedangnya, mengusap secara perlahan hingga suara decitan itu muncul.

Lucifer menyingkap jubah hitamnya, kemudian dalam sekejap dia menghilang entah ke mana.

****
Tbc

Mohon maaf saya bisanya segini dulu, ya. Saya sebenernya lagi stuck otaknya, akhir-akhir ini juga nyoba nyari inspirasi supaya bisa lanjut nulis. Yaudah lah, sekian saja. Bye, see u next chapter.

Salam,

Aisya1464
(16/04/20)

DodhéantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang