CHAPTER 18 [ Memori ]

11 1 0
                                    


Dibantu dua orang perawat jaga, Rendra dan Syifa mendorong brankar menuju UGD Rumah Sakit Dr. Soetomo. Darah Kinal membasahi brankar dan menetes di sepanjang lantai yang dilaluinya. Salah seorang perawat menahan Rendra dan Syifa di pintu masuk UGD.

"Maaf mba, mas. Silakan tunggu di sini saja, biar dokter yang menangani.", katanya sebelum menutup pintu UGD. Rendra duduk di kursi tunggu dengan keadaan khawatir, melihat seragam Rendra penuh darah, Syifa menyarankan cowok itu untuk pulang dan mengganti seragamnya.

"Ren, mending kamu pulang aja dulu, ganti bajumu. Biar aku yang tunggu di sini, sebentar lagi keluarga Kinal juga datang, kamu bisa balik lagi nanti.", pesan Syifa perhatian.

Rendra terus menunduk memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Ngga Syif. Aku mau tetep di sini nunggu Kinal sampai sadar." Syifa tak menyangka kalau Rendra bisa sampai bersikap seperti ini karena Kinal. Yang dia tahu Rendra adalah sosok humoris, ceria dengan kekanak-kanakannya yang bisa membuat setiap orang bahagia. Namun ia begitu membatasi dirinya dengan sosok perempuan, bahkan Syifa sahabatnya.

"Kalau gitu aku balik ke mobil. Siapa tahu ada pakaian bersih sepupuku yang bisa kamu pakai.", Rendra melirik Syifa tersenyum, "Makasih ya, Syif." Ketika Syifa tengah mengambil pakaian untuk Rendra di mobilnya, orang tua Kinal datang ke UGD bertemu dengan Rendra.

Nathalie datang tergopoh-gopoh bersama Mbak Ratna dengan ekspresi panik dan khawatir, "Rendra, gimana keadaan Kinal? Kenapa bisa begini, apa yang terjadi?", tanya Nathalie dengan air mata yang membasahi pipinya. "Kinal lagi ditangani dokter tante. Ceritanya panjang, kita doakan saja supaya Kinal baik-baik saja.", jelas Rendra berusaha tenang, meski hatinya terus saja panik dengan detak jantung yang begitu cepat.

Mbak Ratna merangkul Nathalie kemudian menenangkan wanita itu, mengajaknya duduk di kursi tunggu, namun air mata Nathalie masih terus mengalir tak terbendung. Syifa kembali membawa pakaian bersih milik Max, sepupunya, yang kemarin kebetulan memakai mobilnya untuk pergi kuliah dan tak sengaja meninggalkan pakaiannya di mobil Syifa.

Syifa menyodorkan pakaian itu dan meminta Rendra untuk segera membersihkan dirinya. "Ini.", Rendra mendongak ke arah Syifa yang kini berdiri di depannya. Seorang laki-laki paruh baya dengan setelan jas kantor datang tergopoh-gopoh menghampiri mereka yang tengah menunggu kabar dari Kinal.

"Nathalie, gimana keadaan Kinal?", tanya laki-laki itu khawatir menggenggam jemari Nathalie. "Dia masih ditangani dokter." Mata Rendra hampir saja keluar karena terkejut melihat sosok laki-laki yang kini berada di dekatnya, seketika bayangan masa lalu menghantuinya. Seorang perawat keluar dari ruang UGD, "Maaf, dengan keluarga pasien?"

Nathalie dan suaminya refleks berdiri lalu menghampiri perawat itu, "Pasien belum sadarkan diri, dia kehilangan banyak darah, sayangnya stok darah untuk golongan A positif di rumah sakit ini tengah kosong, apa ada keluarga pasien yang bergolongan darah sama dengan pasien?", tanya perawat itu. "Saya, Sus.", ucap laki-laki paruh baya itu mengajukan diri.

"Kalau begitu mari pak ikut saya.", laki-laki itu berjalan mengekor di belakang si perawat menuju ruangan pengambilan darah.
Tatapan Rendra masih belum bisa terlepas pada pria paruh baya itu, bahkan ketika Syifa menegurnya ia tak menanggapinya. Sampai akhirnya gadis itu menepuk pundak Rendra untuk menyadarkannya dari lamunannya.

"Mikirin apa? Udah ganti baju aja dulu, tenangkan diri kamu, Kinal pasti baik-baik saja.", Rendra mengangguk pada Syifa kemudian berdiri dan berjalan menuju toilet menuruti perintahnya.

Sekembalinya dari toilet, Rendra melihat Nathalie tengah mengobrol dengan Syifa. Sepertinya gadis itu tengah menceritakan kronologis kecelakaan yang menimpa Kinal sore ini. Rendra berjalan menghampiri mereka, "Tante, Rendra minta maaf karena ngga bisa jagain Kinal dengan baik.", ucap Rendra pada Nathalie yang kini sudah terlihat lebih tenang.

"Kamu ngga salah, kamu sudah berusaha menolong Kinal, Ren. Syifa sudah cerita kejadian sebenarnya, ini semua sudah kehendak Tuhan. Terima kasih sudah berusaha menjaga Kinal dengan baik seperti janji kamu.", Syifa merasa ada yang aneh dan sepertinya ada sesuatu yang ia tak ketahui.

"Rendra punya janji apa sama mamanya Kinal?", batin Syifa bertanya-tanya.


💎💎💎


Rendra berdiri di depan pintu UGD melihat keadaan gadis yang kini tengah terbaring di atas ranjang tak sadarkan diri. Memorinya berputar ke masa tujuh tahun yang lalu, kejadian itu masih tergambar jelas di ingatannya.

Seorang gadis kecil berusia 10 tahun tengah menangis di atas pusara seorang wanita yang kini sudah pergi dari dunia yang fana kemarin siang. Rendra melihat gadis itu tengah memeluk batu nisan dan menambahkan taburan bunga di atas makamnya.

Didekatinya gadis itu sambil menyodorkan sapu tangannya untuk menghapus air mata si gadis. Gadis itu mendongak ke arah Rendra, "Hapus air mata kamu, kamu jelek kalau menangis.", ledeknya. Mata si gadis berkaca-kaca dan berwarna merah karena sudah terlalu lama menangis.

"Terima kasih.", ucap si gadis kecil menerima sapu tangan yang diberikan Rendra.
Tiba-tiba dua orang berbadan kekar dengan pakaian serba hitam menghampiri mereka dan menarik Rendra untuk segera menjauh dari gadis itu.

"Pak Arman, lepaskan! Dia teman saya. Biarkan dia tetap di sini.", perintah si gadis menarik baju pria kekar itu. "Sekarang kalian pergi saja, saya masih ingin di sini.", perintah si gadis sekali lagi. Meski awalnya dibantah oleh dua orang berbadan kekar itu, namun akhirnya mereka pergi menjauh dari si gadis dan Rendra.

Dua anak usia sepuluh tahun itu duduk di bawah pohon beringin untuk berteduh, "Yang tadi itu bodyguard kamu?", tanya Rendra kemudian. Si gadis hanya mendehem, "Itu makam siapa?", tanya Rendra lagi.

"Mamaku, dia baru meninggal kemarin.", jawab si gadis singkat sambil menunduk dan mencabuti rumput di tanah. "Ooh."
"Kamu sendiri kenapa di sini? Ziarah juga?", mulai mau untuk bertanya. "Aku tukang bersih-bersih di sini.", sudut bibir si gadis mengukir senyum.

"Ngga mungkin. Mana ada tukang bersih-bersih pakaiannya sebagus kamu.", sindirnya. "Ih ngga percaya.", melihat gadis kecil itu kesal Rendrapun mengaku, "Iya deh. Aku ziarah ke makam kakekku.", gadis itu pun tersenyum kembali. "Oh ya, kamu mau ngga pergi sama aku. Aku tahu tempat yang bagus loh.", ajak Rendra.

Gadis itu melirik dua bodyguard yang tengah berdiri di bawah pohon beringin yang berada seratus meter dari tempat mereka berdua duduk. "Mau.", singkatnya sambil tersenyum manis. Dan ketika dua bodyguard itu lemah, mereka berdua berlari bergandengan tangan pergi dari tempat penuh duka itu.

Kelap-kelip lampu menjelang senja di sebuah pasar malam melengkapi kebahagiaan dua bocah cilik yang tak saling mengenal. Dua bocah yang selama ini hanya menjalani kekangan orang tua dan menuruti kemauan mereka tengah melepas duka mereka di tempat penuh tawa ini. Mereka menikmati kebahagiaan singkat ini dengan tawa yang lepas, tanpa paksaan.

Rendra dan gadis kecil itu menaiki hampir semua wahana di pasar malam, wahana terakhir yang mereka naiki adalah bianglala. Suara mesin disel yang bergemuruh bagaikan guntur mengawali putaran bianglala yang dihiasi lampu warna-warni.

Baru tiga putaran bermain, tiba-tiba bianglala itu berhenti sehingga membuat panik semua pengunjung yang menaiki wahana itu, termasuk si gadis kecil.
"Aaa, takut. Aku mau turun.", gadis itu langsung memeluk Rendra, ia menangis dan merengek minta turun dari bianglala yang tengah berhenti di puncak itu.

"Ngga apa-apa. Nanti jalan lagi kok. Tenang, ada aku di sini.", ucapnya menenangkan gadis kecil yang tengah ketakutan dan masih terus memeluknya hingga ia sulit bernapas.

Setelah menaiki bianglala, mereka pergi membeli permen kapas. Rendra merogoh saku celananya mengeluarkan dua buah gelang yang tadi sempat dibelinya dari seorang penjual aksesoris. Gadis kecil itu masih asyik menikmati permen kapasnya, "Berikan tangan kamu.", pinta Rendra. Gadis itu menyodorkan tangan kanannya, lalu Rendra mengaitkan gelang anyaman yang terbuat dari tali itu ke pergelangan tangan si gadis kecil.

Gadis itu menatap ke arah pergelangan tangannya, gelang berwarna hitam merah kini terkait di tangannya. "Mungkin kita ngga akan bisa ketemu lagi, jadi aku berikan gelang ini untuk kenang-kenangan. Aku juga punya satu lagi.", menunjukkan satu gelang yang sama di tangannya. Hari sudah gelap, tapi dua anak itu masih berada di sana saling menghibur hati.

🥀Selasa, 12 November 2019

🍃Nilanura

The Treason love "Ketika Cinta Tak Selamanya Tulus"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang