Jiyong memarkir mobilnya begitu ia tiba di alamat yang Lisa kirimkan untuknya. Satu jam lalu, Lisa menelponnya, mengajaknya bertemu kemudian mengirimnya alamat sebuah rumah. Jiyong sudah ada di bandara ketika Lisa menelponnya, pria itu hendak terbang kembali ke Jeju untuk menemui Lisa, namun gadis itu justru ada di Seoul– untung saja Jiyong belum lepas landas. Tempat Lisa ingin bertemu adalah sebuah bangunan 8 lantai, terlihat seperti asrama mahasiswa namun lebih mewah. Malam itu, Lisa menyuruh Jiyong datang menemuinya di atap bangunan itu, dan ada dua jalan untuk sampai ke atap– dengan lift di dalam gedung atau menaiki anak tangga di sebelah gedung dan karena hujan, Jiyong memilih untuk memakai lift gedung itu.
Liftnya hanya sampai ke lantai 8, Jiyong masih harus menaiki tangga untuk masuk ke atap dan hujan masih turun di luar– walau tidak sederas sebelumnya– rumah atap yang sepertinya akan jadi tempat pertemuan mereka masih gelap, tidak ada cahaya apapun di atap itu jadi Jiyong memutuskan untuk menunggu Lisa di depan pintu rumah atapnya– salah satu tempat teduh di sana. Jiyong sudah menunggu selama 10 menit, namun ia tidak punya niatan untuk menelpon Lisa sama sekali. Baginya, menunggu terasa jauh lebih baik di banding melihat Lisa serta lukanya.
Jiyong tidak tahu apa yang ingin Lisa bicarakan dengannya. Pria itu tidak berharap Lisa akan menyambut kedatangannya, namun ia khawatir Lisa akan memakinya bahkan mungkin memukulinya. “Apapun yang wanita itu lakukan padaku, aku memang pantas mendapatkannya,” pikir Jiyong berusaha menguatkan dirinya sendiri. Di tengah gugupnya ia saat menunggu, handphonenya terus saja bergetar, panggilan dari Rose– mungkin karena Jiyong tidak memberi kabar apapun pada Rose sejak kemarin. Lama-kelamaan, panggilan-panggilan itu terasa semakin menganggu, bukan hanya dari Rose tapi juga dari manager dan pihak agensinya, bahkan dari teman-teman segrupnya, karenanya, Jiyong memutuskan untuk mematikan handphonenya.
Waktu terus berjalan sampai tepat pada pukul 8 malam, Lisa tiba di rumah atap itu. Gadis itu naik ke rumah atap itu melalui tangga di sebelah gedung, berjalan dengan pakaian dan rambut basah kuyup sembari memegangi sepatu hak tingginya. Dengan kaki telanjang, ia berjalan menghampiri Jiyong, meminta maaf karena terlambat kemudian membuka pintu rumah atap itu dan debu adalah hal pertama yang menyabut mereka di rumah itu. “Selama ini Mino tinggal disini?” tanya Jiyong dan Lisa menggelengkan kepalanya.
“Tidak, ini gudang. Dia tinggal di lantai 8, di bawah,” jawab Lisa yang masih dengan tubuh basahnya mulai membongkar satu persatu kotak disana. “Ah ini… bawakan ini,” pinta Lisa kemudian sembari menunjuk sebuah kotak di depannya.
Satu-satunya alasan Lisa menyuruh Jiyong ke atap bangunan itu adalah untuk membawakannya sebuah kotak. Tanpa menanyakan apapun, Jiyong membawakan kotak itu, namun saat Jiyong sudah mengangkat kotak berdebu itu, Lisa justru menaruh tas jinjing serta sepatunya di atas kotak yang Jiyong bawa. “Taruh semua itu di depan pintu 801, lalu kembali kesini dan bawakan kotak yang ini juga,” pinta Lisa sekali lagi. Kalau bukan Lisa yang memintanya– kalau bukan karena Jiyong merasa bersalah pada gadis itu– Jiyong tidak akan mau di perlakukan seperti ini.
“Ambil tas dan sepatumu lalu taruh kotak itu di kotak ini, aku akan membawanya sekaigus,”
“Aku tidak bisa mengangkatnya, tanganku bergetar, aku belum makan sejak kemarin,” jawab Lisa sembari menunjukan tangannya yang gemetar– atau sebenarnya ia mengigil karena kehujanan.
“Kau bukan satu-satunya orang yang kelaparan,” gumam Jiyong, yang juga tidak bisa menelan apapun sejak kemarin. Pria itu lantas menaruh kotak yang ia pegang di atas kotak lainnya kemudian membawa kedua kotak itu beserta tas dan sepatu Lisa sekaligus. Lisa mengunci kembali pintu rumah atap itu kemudian berjalan bersama Jiyong menuruni tangga menuju rumahnya.
Di rumahnya, Lisa menyuruh Jiyong meletakan barang-barang itu di ruang tengah. Apartemen yang Mino tinggali selama ini ternyata tidak terlalu buruk, apartemen itu memiki dua buah kamar tidur, dapur juga ruang tengah yang cukup luas. Isi rumah itu terlihat cukup mewah di tambah beberapa lukisan yang Jiyong yakini sebagai karya seni Mino. Sementara Lisa menghilang di salah satu kamar tidur, Jiyong justu sibuk memperhatikan lukisan itu satu persatu.
“Aku akan memberimu satu lukisan buatannya, kalau kau berjanji akan selalu mengingatnya,” ucap Lisa sembari berjalan keluar dari salah satu kamar kemudian berjalan ke dapur, hendak membuat sesuatu yang hangat. Lisa baik-baik saja? Tentu tidak, ia justru tengah berusaha mengulur waktu sebelum membuka kotak-kotak yang diambilnya dari gudang.
“Kau serius?”
“Ya,” jawab Lisa yang sekarang menghangatkan tubuhnya di depan kompornya– ia ingin memasak ramyun yang hangat untuk mereka berdua. “Seseorang di rumah sakit memberitahuku, katanya, seseorang baru akan benar-benar mati kalau sudah tidak ada lagi orang lain yang mengingatnya. Tapi saat itu aku justru memintanya untuk selalu mengingatku agar aku bisa mengakhiri hidupku tapi tidak benar-benar mati,”
“Kau mencoba bunuh diri?” tanya Jiyong, entah kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja walau Jiyong sudah tahu jawabannya.
“Ya, tapi aku kembali hidup.”
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Man's Death
Fanfiction"Peluk aku, aku sedang kesulitan," ucap Lisa di depan pintu rumahnya. Pintu rumahnya terbuka dan ia mengulangi permintaannya. "Peluk aku, aku sedang kesulitan," ulangnya, sekali, dua kali, tiga kali ia mengulang permintaan itu... Namun tidak seorang...