Seperti kopi yang tidak selalu pahit, Jiyong pun tidak selalu bersikap dingin pada Rose. Seperti matahari yang tidak selalu terik, Rose pun tidak selalu mengekang Jiyong. Mereka pernah punya ribuan alasan untuk bersikap kekanakan– mereka saling mencintai, apapun yang mereka lakukan, berciuman bahkan bercinta, mereka punya alasan untuk melakukannya. Banyak kata yang sudah mereka lontarkan, mulai dari kata-kata asal yang terdengar seperti bisikan terindah, sampai puisi terencana yang terdengar seperti makian terburuk.
Pada saat tertentu, mereka yakin pertengkaran tidak akan membuat hubungan berakhir, dan keyakinan itu membuat mereka sama-sama merasa tenang. Ironisnya, keyakinan itu hanyalah sebuah ketenangan kosong. Ironisnya, mereka sama-sama tidak bisa menerima perbedaan yang sedari awal sudah mereka sadari. Perlahan mereka mulai bertengkar, terus bertengkar hingga makin lama pertengkaran itu menjadi semakin sengit dan pada akhirnya, mereka tidak bisa lagi menahan diri.
Pertengkaran itu terjadi di rumah, di depan kolam kecil di dekat pintu kaca. Saat itu Rose kembali setelah beberapa hari pergi tanpa memberi kabar sama sekali. Malam itu Rose datang, kembali menghampiri Jiyong dengan senyum ceria di wajahnya, seolah tidak terjadi apapun di antara mereka. Tapi Jiyong tidak bisa mengulas senyumnya seperti yang Rose lakukan. Pria itu marah, ia merasa begitu kecewa pada apa yang telah Rose lakukan. Namun alih-alih menyelesaikan masalah yang terjadi diantara mereka, Jiyong justru mengakhiri hubungan mereka. “Kenapa oppa selalu begitu dingin dan menyebalkan? Apa itu gangguan genetik? Aku datang karena aku merindukanmu, kenapa kau tidak terlihat senang? Kenapa kau justru terlihat kesal?” protes Rose malam hari itu. Seorang gadis yang amat membenci asap rokok itu mengabaikan udara di sekitarnya, namun apa yang ia dapat ternyata tidak sesuai dengan ekspektasinya.
“Kenapa kau selalu bersikap egois? Apa keegoisanmu itu sudah turun-temurun di keluargamu? Aku sudah tidak tahan lagi dengan keegoisanmu itu,” balas Jiyong, membuat malam yang seharusnya mereka habiskan dengan melepas rindu menjadi malam paling menyakitkan untuk mereka berdua.
“Kau sudah tidak tahan lagi denganku? Oppa ingin putus dariku? Kalau begitu ayo kita putus,”
“Ya, ayo kita putus, terimakasih, aku pergi,”
Terimakasih– kata itulah yang begitu melukai Rose malam hari itu. Harga dirinya terluka, sangat terluka ketika seorang pria yang ia kencani berterimakasih karena berakhirnya hubungan mereka. Seburuk itu kah hubungan mereka, hingga Jiyong bersyukur karena hubungan itu akhirnya berakhir?– pertanyaan itu tidak pernah pergi dari kepala Rose.
Sepertinya itu bukan cinta, Jiyong tidak ingin terluka lagi, sedang Rose tidak bisa pergi begitu saja setelah Jiyong melukai harga dirinya.
Setelah pagi tadi mendengar Jiyong dan Rose bertengkar karenanya, Lisa tidak bisa fokus pada pekerjaannya. “Aku harus pergi dari rumah itu, bukan begitu?” tanya Lisa, kepada sosok Mino yang duduk di sebelahnya. Sore ini Lisa pulang lebih awal, ia sudah berfikir seharian dan rasanya pergi dari rumah itu adalah hal terbaik yang dapat ia lakukan. “Ya? Anda bertanya padaku, nona?” tanya seorang pria yang mengemudikan mobil itu– si supir taksi dengan name tag Min Yoongi di dasbor mobilnya.
Akan tetapi, alih-alih menjawab pertanyaan si supir taksi, Lisa justru mendengar suara Mino yang berbicara padanya, “kenapa kau tidak mengajak Rose pergi dan berbicara berdua? Kau bisa memintanya memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi kemudian membantunya mencari solusi, bukan begitu?”
“Saat aku sedih, aku tidak ingin bertemu dengan seseorang yang datang, mengaku sebagai sahabatku kemudian memaksaku bercerita,” jawab Lisa, berbicara pada Mino tanpa menyadari lirikan aneh si supir taksi. “Kenapa? Bercerita bisa membantumu meringankan beban,” tanya Mino, yang dalam bayangan Lisa tengah mengulurkan tangannya untuk mengusap rambut Lisa. Lisa mengukir senyum di wajahnya, menatap pada kursi kosong di sebelahnya dan sukses membuat si supir taksi berfikir kalau ia adalah seorang gadis gila.
“Bercerita memang bisa mengurangi beban di hatiku. Tapi… aku tidak bisa membedakan antara seseorang yang memaksaku bercerita memang karena peduli padaku atau seseorang yang memaksaku bercerita hanya karena penasaran dengan ceritaku. Sebagian besar orang yang memintaku bercerita hanya orang-orang yang penasaran dengan hidupku. Mereka bertanya padaku– Lisa-ya… apa yang terjadi? Kenapa kau terlihat sedih? Kau punya masalah? Beritahu aku apa masalahmu, kita berteman. Kenapa kau tidak mau bercerita padaku? Kau tidak menganggapku sahabatmu?– aku tidak mengerti, orang yang sedang punya masalah adalah aku, tapi kenapa mereka marah hanya karena aku tidak memberitahu mereka mengenai masalahku? Mereka bilang mereka adalah sahabatku tapi dibanding bagaimana perasaanku, harga diri mereka jauh lebih penting. Sebagian besar orang yang melabeli diri mereka sebagai sahabat selalu ingin jadi orang pertama yang tahu segalanya tentang hidup sahabatnya,”
“Itu karena kebutuhan dasar manusia adalah pengakuan,” celetuk Min Yoongi, membuat Lisa tersadar atas kehadiran pria itu kemudian menoleh ke kursinya– meminta supir taksi itu menjelaskan maksudnya. “Setiap manusia ingin diakui, tapi ungkapan persahabatan seperti ‘kita adalah sahabat' atau ‘kau adalah sahabatku’ saja tidak cukup. Karena itu mereka memaksamu bercerita, memaksamu untuk percaya kalau mereka peduli padamu. Dengan anda menceritakan masalah anda pada mereka, mereka akan percaya kalau anda menganggap mereka sahabat anda,”
“Ah… begitu,” gumam Lisa sembari menganggukan kepalanya, mencerna baik-baik apa yang dikatakan si supir taksi itu. “Kalau begitu, mungkin sekarang Rose tidak percaya kalau aku menganggapnya sahabatku, karena aku tidak pernah benar-benar menceritakan masalahku padanya? Dan karena dia tidak percaya padaku, dia tidak menceritakan masalahnya padaku? Jadi haruskah aku memaksanya? Tapi saat dia menceritakan masalahnya padaku, bagaimana kalau aku tidak bisa membantunya?” lanjut Lisa, bukan kepada Min Yoongi yang mengemudikan taksi itu, melainkan pada bayang-bayang Song Mino yang duduk di sebelahnya.
“Kau selalu bisa menyelesaikan masalah sayangku. Apapun masalah yang sedang ku hadapi, kau selalu memberiku solusi. Jangan khawatir, kau pasti bisa membantu Rose,” ucap Mino, yang tentunya hanya dapat didengar oleh Lisa seorang.
“Tapi saat aku memaksa Rose bercerita, aku juga jadi punya kewajiban untuk menceritakan masalahku padanya. Aku tidak ingin bercerita padanya, bukan karena aku tidak mempercayainya, tapi aku tidak ingin membuatnya khawatir,” lanjut Lisa yang sekarang harus bersiap-siap turun dari taksi karena rumah Jiyong sudah semakin dekat. Tidak sampai 2 menit, taksi yang Lisa naiki berhenti di depan rumah Jiyong. Gadis itu membayar taksinya dengan sejumlah uang tunai, dan Yoongi kembali bicara padanya sebelum gadis itu benar-benar turun, “nona! selain memaksanya bercerita, anda bisa memberinya sebuah pelukan tulus sebagai bukti kalau anda peduli padanya,” saran supir taksi itu.
Setelah melihat taksi itu melaju pergi, Lisa menimbang-nimbang saran yang di berikan Min Yoongi tadi. Gadis itu membuka pagar pendek yang tidak terkunci itu, kemudian berjalan menuju pintu utamanya. Mobil Jiyong dan mobil Rose terparkir di pekarangan, namun sepertinya mereka lupa menutup gerbang juga pintu utama rumah tersebut. Lisa hendak melangkah masuk, menegur siapapun yang ia temui karena tidak menutup pintu, namun ketika tangannya menyentuh gagang pintu, amukan seorang Kwon Jiyong terdengar di telinganya. “Berhenti bilang kalau kau mengugurkan kandunganmu untukku! Kau menggugurkannya demi dirimu sendiri! Kau khawatir orang-orang akan bergunjing tentangmu jadi kau mengugurkannya! Jangan pernah lupa kalau kalu mengugurkannya tanpa memberitahuku lebih dulu!” marah Jiyong, di susul suara nyaring dari tamparan telapak tangan. Lisa membeku di ambang pintu utama, untuk sesaat rasanya semua suara di dunia ini lenyap. Gadis itu terkejut dengan apa yang ditangkap telinganya sampai suara seseorang yang meludah kembali menyadarkan Lisa.
“Tsk… kenapa kau marah? Kau sama sekali tidak marah saat mengugurkan kandunganmu. Kau datang dengan senyum tanpa dosamu saat memberitahuku kalau kau sudah mengugurkannya. Kau pikir aku akan berterimakasih karena kau mengugurkan kandunganmu? Kenapa kau menangis? Kau tidak menangis saat mengugurkan kandunganmu. Wajah dan tangisanmu tidak lagi mempan untukku. Pergilah, aku tidak ingin melihatmu lagi, kau membuatku takut.”
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Man's Death
Hayran Kurgu"Peluk aku, aku sedang kesulitan," ucap Lisa di depan pintu rumahnya. Pintu rumahnya terbuka dan ia mengulangi permintaannya. "Peluk aku, aku sedang kesulitan," ulangnya, sekali, dua kali, tiga kali ia mengulang permintaan itu... Namun tidak seorang...