Bagian 20

1.2K 201 11
                                    

“Telpon aku kalau kau ingin pulang, Seungri akan menjemputmu, aku tidak ingin melihat Rose datang ke sekitaran rumahku lagi,” ucap Jiyong setelah mobil yang Seungri kemudikan berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah tempat Rose tinggal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Telpon aku kalau kau ingin pulang, Seungri akan menjemputmu, aku tidak ingin melihat Rose datang ke sekitaran rumahku lagi,” ucap Jiyong setelah mobil yang Seungri kemudikan berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah tempat Rose tinggal.

“Mungkin aku akan menginap-“

“Kau bisa langsung menelponku kalau sungkan menelpon Jiyong hyung,” potong Seungri dengan selembar kartu nama yang sengaja ia berikan pada Lisa. Sebisa mungkin, Seungri ada disana untuk memastikan Jiyong dan emosinya tidak membuat masalah.

“Ah… ya, terimakasih,” ucap Lisa, ia terima kartu nama yang Seungri berikan padanya, kemudian bergerak untuk membuka pintu belakang yang ada di sebelah kirinya. “Tapi, Ji- tuan Kwon? sepertinya itu bukan cinta. Maksudku, hubunganmu dengan Rose setelah kejadian itu. Mungkin itu bukan lagi cinta, karena hati kalian tidak bisa terluka lagi. Cinta bisa berubah, tapi kebenaran tidak bisa berubah. Rose mungkin ingin terus berkencan denganmu, tapi hubungan kalian tidak akan terasa sama seperti dulu, jadi aku akan membujuknya agar berhenti terobsesi padamu. Aku berharap kau bisa cepat sembuh,” ujar gadis itu, sebelum kemudian dia berpamitan dan melangkah turun dari mobil Jiyong.

Lisa berdiri di depan sebuah pintu kokoh, menatap pintu itu sembari mengatur nafasnya kemudian menekan bel pintunya. Orang pertama yang menyapanya di intercom pintu itu adalah tuan Park, ayah Rose yang tentunya juga sudah mengenal Lisa. “Oh Lisa, kau datang,” sapa tuan Park, yang sedikit berbasa-basi karena ia tidak tahu kalau sahabat putrinya kini tinggal di Jeju. “Rose tidak bilang kalau sekarang kau bekerja di Jeju, di perusahaan mana?” tanya tuan Park, berbasa-basi sembari mengantar Lisa ke kamar putrinya. Tuan park menanyakan berbagai pertanyaan, sampai pada akhirnya Lisa berhasil masuk ke dalam kamar Rose.

Rose sedang berbaring di atas ranjangnya ketika Lisa datang. Gadis itu tidur menelungkup dengan wajah menghadap bantal. Punggungnya bergetar, khas seseorang yang tengah menangis, namun tidak ada sedikitpun suara yang dikeluarkannya. “Tok tok…” ucap Lisa, terdengar lembut namun cukup keras untuk menarik perhatian Rose, membuat wanita itu lantas menoleh dan bergegas duduk sembari menghapus air matanya. Rose kelihatan terkejut saat menemukan Lisa berdiri di depan pintu kamarnya, sedang yang berdiri di sana hanya dapat tersenyum dengan canggung.

“Kenapa kau kesini?” tanya Rose, masih menunduk, menutup sebagian wajahnya dengan rambutnya yang panjang. “Bagaimana kau bisa kesini?” bisiknya, walau sebenarnya ia yakin betul kalau Jiyong lah alasan bagaimana Lisa bisa sampai disana.

“Uhm-“

“Kau tidak membenciku?” potong Rose, membuat Lisa justru tersenyum dan berjalan menghampiri sahabatnya itu. Senyumnya terlihat begitu lembut, namun Rose tidak juga memahami arti senyuman Lisa itu. Masih sembari tersenyum, Lisa lantas berucap, “mungkin aku akan kecewa pada keputusanmu, tapi kau adalah temanku. Sebesar apapun rasa kecewaku, aku harus mendengar ceritamu lebih dulu. Tidak adil kalau aku menilaimu dari cerita Ji- maksudku, pria itu saja.”

“Setelah mendengar versiku, lalu apa yang akan kau lakukan? Bagaimana kalau aku-“

“Kau bahkan belum memberitahuku bagaimana perasaanmu yang sebenarnya, bagaimana aku bisa memutuskan apa yang harus ku lakukan? Untuk sekarang, aku hanya punya dua rencana, aku akan menghiburmu atau memarahimu, belum ada rencana untuk berhenti menjadi temanmu dalam pikiranku sekarang,” potong Lisa yang kemudian mendudukan tubuhnya di sebelah Lisa. “Tidak akan ada yang mengganggu kita malam ini, aku akan tetap disini untuk mendengarkan ceritamu. Bahkan orangtuamu tidak akan mengganggu kita, kau bisa mengatakan segalanya.”

Rose tidak merespon. Gadis itu ragu akan keadaannya, haruskah ia bercerita? Atau menutupi keadaannya seperti biasanya? Ia tidak ingin terlihat menyedihkan di depan Lisa– orang yang menurutnya jauh lebih menyedihkan. Rose tidak ingin kebahagiaan yang selama ini ia pamerkan pada Lisa jadi terlihat semu. Kebahagiaannya seharusnya membuat Lisa iri, bukan justru membuat Lisa khawatir seperti sekarang. “Kita berteman, tidak perlu berlomba siapa yang paling bahagia atau siapa yang paling sedih, kau bisa memberitahuku apapun,” ucap Lisa, mencoba menenangkan Rose namun tidak lantas membuat Rose bersedia bicara padanya.

Lisa akhirnya menyerah, Rose tidak akan bercerita sebelum ia memulai pembicaraan itu dengan cerita miliknya. “Apa kau akan percaya kalau aku bilang aku dan Mino tidak pernah bersetubuh? Kami tinggal bersama tentu aneh kalau kami tidak pernah melakukannya. Tapi begitulah kenyataannya, sedikit menyedihkan tapi entah kenapa itu terjadi begitu saja. Kami sangat sibuk, bekerja seolah tidak ada hari esok. Menimbun uang untuk menikah seolah itu satu-satunya tujuan hidup kami. Aku sadar kalau kami tidak pernah bercinta, kami tidur bersama, tapi setelah bekerja, kami terlalu lelah untuk sekedar saling menyentuh. Ku pikir… ah… masih ada hari esok, kita bisa bercinta sampai mati besok, tidak perlu terburu-buru. Aku tidak pernah memprotes keadaan kami, ku pikir itu bukan hal penting untukku, toh tinggal bersama juga membuat kami bisa melihat tubuh satu sama lain tanpa rasa malu, aku bisa membayangkan bagaimana rasanya bersetubuh dengannya dan itu cukup untuk membuatku antusias. Aku akan mendapatkan tubuhnya nanti, dia tidak akan berpaling dariku jadi aku hanya perlu menimbun uang untuk sebuah pesta pernikahan yang mengesankan. Tapi pada akhirnya, aku tetap tidak bisa memakai uang itu sampai hari ini, padahal hari ini uangku- uang kami sudah cukup untuk membuat sebuah pesta pernikahan di kapal pesiar,”

“Kau punya uang sebanyak itu?” tanya Rose dan Lisa menganggukan kepalanya. “Aku cukup kaya bukan? Aku juga tidak tahu kalau ternyata kami bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Selama bertahun-tahun aku berkencan dengan Mino, kami membuat tabungan bersama. Awalnya uang itu hanya untuk pergi berkencan, untuk sekedar menonton film atau makan malam bersama. Lalu kemudian kami tinggal bersama dan menabung untuk biaya menikah. Aku memberikan 80% gajiku setiap bulannya, dan dia juga begitu. Karena itu kami tidak pernah punya uang selama ini, tapi kemarin saat aku pergi ke makam Mino oppa, aku menemukan buku tabungan yang sengaja kami sembunyikan di belakang lukisannya. Seorang teman Mino oppa ingin mengambil lukisan itu, aku mengizinkannya dan saat lukisan itu diambil dari dinding buku tabungannya jatuh,”

“Lalu apa yang akan kau lakukan dengan uang itu?”

“Belum ku putuskan, untuk saat ini aku hanya akan menyimpannya,” ucap Lisa sembari membaringkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang empuk Rose. “Mungkin aku akan menyumbangkannya? Atau memberikan uang itu pada orangtua Mino oppa?”

“Kenapa memberikannya pada orangtua Mino oppa? Itu uang kalian, kurasa orangtuanya pun tidak akan memintanya,”

“Semua orang punya pertimbangan. Kau pun begitu, iya kan?” gumam Lisa, sama sekali tanpa menatap gadis yang tengah ia ajak bicara. Lisa bernafas dengan begitu tenang, menatap langit-langit kamar yang kelihatan sangat mewah di atasnya. “Kenapa aku ingin memberikan itu pada orangtuanya? Karena itu milik Mino oppa, mereka sudah memberikan rumah itu untukku, begitu juga dengan isinya. Walaupun sebagian orang tidak setuju dengan pertimbanganku, kurasa mereka tetap harus mendapatkan sesuatu dari Mino oppa. Apa pertimbanganmu, saat mengugurkannya?”

“Kau penasaran?”

Mendengar pertanyaan Rose, membuat Lisa kembali mengingat ucapannya serta ucapan supir taksi yang mengantarnya pulang tadi. “Bohong kalau aku bilang aku tidak penasaran,” ucap Lisa mengakui bagaimana perasaannya saat itu. “Aku tidak merasa dikhianati karena kau tidak memberitahuku lebih awal, aku mengerti alasanmu menyimpan semuanya sendirian. Aku mengerti kalau kau merasa khawatir, aku dan orang-orang akan menghakimimu karena keputusanmu. Tapi alasanku datang dan memintamu menjelaskan segalanya karena aku takut. Aku takut aku akan kehilanganmu,” lanjutnya, sembari membayangkan kembali wajah khawatir Rose sore tadi.

“Kau bisa langsung pergi kalau kau kecewa padaku,” gumam Rose, ia sandarkan punggungnya ke kepala ranjang kemudian mulai memeluk lututnya sendiri disana. Sembari menumpukan dagunya ke ceruk diantara lututnya, Rose lantas berujar dengan begitu pelan seolah tengah berbisik, “aku malu. Kami memakai alat kontrasepsi, tapi alat kontrasepsi hanya punya tingkat keberhasilan sebanyak 80%. Aku malu menjadi bagian dari 20% yang gagal. Aku malu karena hamil sebelum menikah. Aku malu karena ayah anak itu hanya seorang idol yang tahu caranya membuat musik. Dia tidak bisa berbisnis, kau tahu berapa banyak bisnisnya yang gagal? Di banding pria-pria yang ku kenal, dia yang paling payah dalam urusan bisnis. Dia sudah pergi ke berbagai negara, tapi saat bertemu dengan teman-temanku, dia tidak tahu apapun. Dia tidak mau ikut di club manapun, club kapal pesiar, club berkuda, dia bilang club-club itu hanya pertemuan-pertemuan bodoh, dia tidak tahu sebesar apa bisnis yang terjadi di sana– tapi dia memperlakukanku dan teman-temanku seperti anak-anak bodoh yang hanya tahu caranya berfoya-foya.”

“Kalau kau membencinya sebanyak itu, kenapa kau mempertahankannya? Kau bisa membuangnya,”

“Karena dia berterima kasih, kenapa dia bersyukur karena hubungan kami berakhir? Kenapa dia sangat sombong? Seharusnya dia memohon padaku untuk tetap bersamanya.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After The Man's DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang