Bagian 4

1.6K 235 7
                                    

Malam yang panjang berlangsung sangat lamban

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam yang panjang berlangsung sangat lamban. Lisa benci malam yang lamban seperti ini. Ia kesulitan untuk tidur dengan tubuh dan pikiran yang terasa amat lelah. Sembari berbaring di atas ranjang putih lembut yang mewah ia mengulurkan tangannya ke saklar lampu tidur di atas meja, di sebelah ranjangnya, memainkan saklar lampu itu sembari menghitung domba di kepalanya. Ia harus tidur, bagaimana pun caranya– pikir Lisa.

Lisa kesulitan untuk tidur. Ia benar-benar tidak bisa memejamkan matanya kemudian pergi ke dunia mimpinya yang indah. Rasanya kosong, ranjang besar di kamarnya itu membuatnya kesepian. Ia tidak mungkin menelpon Rose dan meminta gadis itu untuk menemaninya sekarang, walaupun menelpon Rose adalah satu-satunya solusi yang dapat dipikirkannya. Akhirnya, setelah dua pil obat tidur yang sama sekali tidak membantunya, gadis itu menyerah dan berjalan keluar, berniat mencari sedikit udara segar.

“Hai- oh? Maaf, ku kira Rose,” ucap Lisa, mengejutkan pria yang baru saja keluar dari kamar utama, dan tentu saja pria itu Jiyong. Jiyong tidak menjawab, pria itu lupa kalau ada orang lain di rumahnya dan ia keluar dari kamarnya dalam keadaan setengah telanjang– ia hanya memakai sebuah celana pendek sebatas lutut ketika tidak sengaja berpapasan dengan Lisa. Dengan canggung, Lisa berjalan keluar rumah, sedangkan Jiyong kembali ke dalam kamar kemudian tidak lama setelahnya, ia menyusul Lisa keluar dengan pakaian yang lebih rapih, lebih tertutup.

“Kau merokok?” tegur Jiyong, membuat Lisa lantas menoleh ke arahnya dengan senyum canggung. Gadis itu hanya menganggukan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Lisa.

“Jangan merokok disana, Rose tidak menyukai aroma rokok. Di sini anginnya terlalu kencang, asapnya bisa masuk ke kamar. Ikut aku, halaman belakang jauh lebih baik,” ajak Jiyong sembari berjalan dari teras depan rumahnya menuju halaman belakang yang tidak begitu luas namun di kelilingi pagar dinding yang lumayan tinggi.

Di halaman belakang, hanya ada sebuah kolam ikan kecil, dengan sebuah meja dan dua kursi taman. Lantainya di lapisi rumput sintetis seolah-olah itu adalah taman berumput dan sebuah pintu kaca besar membatasi halaman itu dan rumah utamanya. “Tolong tutup pintunya,” suruh Jiyong setelah pria itu duduk di salah satu kursi dan menoleh ke belakang, untuk melihat pintu kamarnya yang masih tertutup dari pintu kaca di belakangnya.

Usai menggeser pintu kacanya, Lisa pun duduk di sebelah Jiyong dengan sebuah meja di antara mereka. Tidak ada obrolan, Jiyong sibuk menyesap rokoknya begitu juga dengan Lisa. Tidak ada pembicaraan, Jiyong sibuk membaca pesan di handphonenya, begitu juga dengan Lisa. Keduanya diam sampai Lisa selesai dengan satu batang rokoknya kemudian berucap, “boleh aku mengambil sesuatu yang bisa diminum di kulkas?”

“Hm? Ambil saja, ada jus dan susu di kulkas,”

“Tidak ada beer?” tanya Lisa dan Jiyong hanya tersenyum, sebuah senyuman yang membuat Lisa ikut tersenyum. “Ah… Rossie tidak minum beer? Setahuku, dia sangat suka makanan dan minuman sehat,”
“Hm… Rossie tidak minum beer. Tapi kalau kau ingin alkohol, di sebelah kulkas ada wine dan whiskey, kau bisa mengambilnya,” jawab Jiyong sebelum kemudian Lisa melenggang pergi ke dapur dan mencari wine yang Jiyong bicarakan.

Lisa kembali dengan sebotol wine dan tiga buah gelas, gadis itu menaruh bawaannya di atas meja kemudian menggeser pintu kacanya sampai terutup dan kembali duduk di kursinya. Gadis itu hendak membuka wine yang ia ambil, namun Jiyong sudah lebih dulu mengambil alih botol winenya. Pria itu membuka tutup botolnya kemudian menuangkan winenya di gelas yang Lisa bawa. Pria itu sempat terkekeh karena Lisa membawa cangkir kopi, bukan gelas untuk minum wine, tapi melihat jumlah gelas yang Lisa bawa membuat Jiyong sedikit iba. Karenanya, Jiyong mengisi ketiga gelas itu dengan wine yang dipegangnya.

“Beri aku lebih banyak,” pinta Lisa karena Jiyong hanya mengisi setengah gelasnya. “Dan jangan tertawa, aku tahu ini bukan gelas wine, aku hanya bisa menemukan gelas ini di dapur,”

“Maafkan aku nona Kim, aku tidak akan tertawa lagi,” balas Jiyong setelah mengisi penuh gelas Lisa. Tanpa berbasa-basi, Lisa menyesap winenya– bukan menyesap, menenggak adalah istilah yang lebih baik dalam menggambarkan bagaimana cara Lisa minum. Gadis itu meminum wine-nya seolah wine itu hanyalah air mineral biasa. “Wah… kau seorang peminum berat juga? Kau benar-benar berteman dengan Rossie?”

“Ah… maaf, aku benar-benar haus. Kurasa aku sudah mabuk sekarang?” balas Lisa, terdengar tidak peduli dengan siapa ia bicara.

“Sungguh?”

“Tidak, aku belum mabuk,” jawab Lisa yang kemudian menoleh pada Jiyong, bertanya apakah Jiyong penasaran bagaimana ia dan Rose dapat berteman. “Di Australia, ada sekolah asrama mulai dari sekolah dasar kelas 1 sampai sekolah menengah kelas 12. Aku bersekolah disana, mulai dari kelas 1 sampai kelas 12. Aku tinggal di asrama mulai usia 6 tahun karena kedua orangtuaku sibuk bekerja. Lalu di kelas 7, setelah tamat sekolah dasar, Rossie datang sebagai murid baru. Dia cantik tapi sebagian anak tidak mau bermain dengannya karena Rossie belum bisa berbahasa Inggris. Lalu kami berteman karena aku satu-satunya anak yang bisa bicara padanya,” cerita Lisa setelah Jiyong mengakui rasa penasarannya.

“Sejak dulu aku berbeda dengan Rossie, tapi kami berteman dengan baik. Dia mengurusku, merawatku, dia juga mengingat ini dan itu untukku, saat itu Rossie seperti ibuku. Tapi kau- haruskah aku memanggilmu oppa? Kau jauh lebih tua dariku,”

“Jangan. Jangan mengingatkanku kalau aku sudah tua,”

“Ah… baiklah, aku akan menganggap usia kita sepantaran, aku akan bicara dengan lebih santai. Jadi, dulu Rossie merawatku, dia yang membantuku mengerjakan tugasku. Kalau dia tidak mengomeliku karena tugas-tugas sekolah kami, aku mungkin tidak akan lulus,”

“Hm… dia gadis yang baik,” komentar Jiyong, tanpa melupakan rokok dan minumannya.

“Ya, Rossie sangat baik dan karena itu saat di sekolah dia tidak bisa berpisah dariku. Dulu anak-anak lain merundungnya, mereka meminta Rossie mengerjakan tugas mereka, mereka juga memaksa Rossie membelikan mereka camilan dan aku selalu berkelahi dengan anak-anak itu. Setelah lulus sekolah menengah, setelah akhirnya kami keluar dari asrama yang mirip penjara itu kami berpisah karena masuk ke Universitas yang berbeda, saat kuliah jurusan apa yang kau ambil?”

“Musik tradisional, kenapa?”

“Itu jurusan yang kau inginkan? Tentu saja karena kau pemusik,” ucap Lisa, bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri. “Tapi dulu Rossie tidak masuk ke Universitas yang diinginkannya. Ia ingin belajar sastra tapi orangtuanya memaksanya masuk ke fakultas bisnis,”

“Ah… aku tahu soal itu, lalu jurusan apa yang kau ambil?”

“Kedokteran hewan,” jawab Lisa membuat Jiyong tersedak asap rokoknya sendiri. “Kau tidak percaya? Haha… lihat kan oppa? Tidak ada yang percaya kalau aku kuliah kedokteran,” ucap Lisa, tertawa sembari menatap ke arah kolam ikan di depannya, seolah ada seseorang disana– di tepian kolam ikan itu, Lisa melihat Mino duduk disana, ikut tertawa bersamanya dengan sebuah kaos merah muda dan celana hitam.

“Aku benar-benar sempat kuliah kedokteran hewan, tapi dua tahun kemudian, di pertengahan semester 4, perekonomian keluargaku terganggu dan kami harus pindah ke Seoul. Di Seoul, kami tinggal di rumah kakek dan nenekku, kemudian aku mulai bekerja sambil mengambil kuliah kelas malam, di fakultas bisnis karena memang hanya itu kelas yang dibuka untuk karyawan.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After The Man's DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang