Bagian 17

1.2K 218 8
                                    



Rose masih berdiri di tempatnya, mematung di sana karena Jiyong memintanya diam dengan sebuah isyarat tangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Rose masih berdiri di tempatnya, mematung di sana karena Jiyong memintanya diam dengan sebuah isyarat tangan. Dengan hati-hati, Jiyong bangun dari duduknya. Pria itu bergerak dengan sangat pelan karena khawatir gerakannya akan membangunkan Lisa. “Ada apa? Kenapa kau terbangun?” tanya Jiyong, sembari menyisir rambutnya ke belakang dengan jemarinya.

“Untuk menangkap basah kebiasaanmu? Oppa, Lisa sahabat-“

“Apa yang sedang kau bicarakan? Kau pikir aku akan berselingkuh dengannya? Disini? Wah… dramatis sekali hidupmu,” potong Jiyong, tanpa meninggikan nada dan volume suaranya namun tetap terdengar sinis di telinga Rose. “Aku benar-benar lelah, aku tidak ingin bertengkar denganmu sekarang, jadi kembalilah tidur. Jangan membangunkan temanmu, dia baru saja tidur,”

“Kenapa oppa peduli dia baru tidur atau tidak? Oppa tidak peduli bagaimana perasaanku sekarang?” sinis Rose, membuat Jiyong menghela nafasnya. Bertengkar dengan Rose benar-benar melelahkan untuknya.

“Kau yang tidak pernah peduli pada bagaimana perasaanku. Kau selalu bilang kalau kau bisa mendapatkan pria yang lebih baik dariku saat kita putus. Kau yang selalu bilang kalau kau cantik dan banyak pria yang ingin berkencan denganmu. Kalau begitu ayo kita putus. Harus ku katakan berapa kali padamu? Ayo kita putus. Kenapa kau terus datang kesini? Bahkan membawa temanmu dan membuatku harus berpura-pura seperti ini? Kau tidak ingat kebohongan apa saja yang sudah kau katakan? Aku lelah, karenamu,” kesal Jiyong, membuat Rose memejamkan matanya, menahan emosi yang memenuhi jantungnya.

“Aku tidak pernah berbohong,” bela Rose, dengan jemari yang sudah sibuk meremas ujung pakaiannya, gugup.

“Kau bilang temanmu sakit, trauma karena kehilangan kekasihnya. Tapi menurutku, kau yang sakit, Rossie, kau hidup dalam dramamu sendiri, kau terluka karena ceritamu sendiri lalu kau membuat orang lain yang harus bertanggung jawab atas lukamu sendiri, bukankah kau harus menemui psikiater sekarang?”

“Tidak, aku tidak sakit. Kita tidak bisa bicara sekarang, oppa mabuk. Aku akan pulang dan kita bicara lagi nanti,” ucap Rose, bersikeras dengan pendapatnya. Gadis itu lantas berbalik, masuk ke dalam kamar utama kemudian kembali keluar dengan tas dan kunci mobil di tangannya. Rose pergi dari rumah itu di pagi-pagi buta, meninggalkan Jiyong yang hampir memaki karena semua beban pikiran di kepalanya. Dengan geram, pria itu lantas berjalan mendekati kulkas wine-nya, meraih sebotol wine di sana dan membukanya. Jiyong hendak menenggak wine yang baru saja ia buka langsung dari botolnya, namun suara Lisa menghentikannya, “apa kehadiranku memperburuk hubungan kalian?” ucap Lisa, gadis itu sudah bangun dari tidurnya namun masih belum merubah posisi duduknya.

“Apa yang sedang kau bicarakan? Tentu saja tidak, kenapa kau terbangun? Kami pasti terlalu berisik, maaf,” jawab Jiyong, yang kemudian berjalan mendekati Lisa dengan dua buah gelas wine di tangannya. “Kau ingin minum bersamaku?”

“Sekarang? Bukankah seharusnya kau mengejar Rose?“

“Kurasa aku akan memukulnya kalau bertemu dengannya lagi. Jangan khawatir, dia hanya akan pulang ke rumahnya, hanya lima menit dengan mobil,”

“Bagaimana tidak khawatir? Kekasih sahabatku tidak memperlakukan-“

Lisa bangkit dari duduknya, menahan rasa kebas di tangannya, hendak menyusul Rose. Setidaknya ia ingin menjadi seorang sahabat yang selalu ada disaat sahabatnya kesulitan. Lisa juga tidak ingin menjadi duri diantara hubungan Rose dan Jiyong. Akan tetapi disaat Lisa hendak pergi menyusul Rose, Jiyong justru menahan langkah gadis itu dengan memegang lengannya. “Kau mendengar semuanya bukan? Dia tidak akan senang menemuimu sekarang, dia tidak ingin kau mengasihaninya. Dia selalu ingin terlihat lebih baik dari orang lain, lebih baik darimu,” jawab Jiyong sembari menuangkan wine ke dalam gelasnya. Pria itu juga menuangkan winenya untuk Lisa namun si gadis hanya terdiam, menatap Jiyong dan menunggu pria itu memberinya penjelasan lain. “Hubungan kami sudah berakhir lima bulan yang lalu. Tapi dia tidak ingin terlihat menyedihkan di depanmu. Dia tidak ingin kau tahu kalau sekarang dia lajang, jadi dia mengarang seluruh ceritanya. Dia memintaku membantunya, hanya satu minggu, minggu depan aku akan kembali ke Seoul dan dia berjanji akan mengarang ceria lain dan berhenti menghubungiku,”

Jiyong menenggak wine-nya, satu gelas, dua gelas dan Lisa menahan tangan pria itu agar tidak menenggak gelas ketiganya. “Bagaimana bisa? Rose mengarang semua ini? Selama 6 bulan terakhir ini dia selalu menceritakanmu, dia bilang kau mengabaikannya, dia bilang kau bersikap dingin-“

“Kenapa tidak bisa? Dia bisa jadi seorang penulis handal kalau orangtuanya mengizinkannya. Lagi pula, bukankah wajar kalau aku mengabaikan dan bersikap dingin padanya? Kami sudah putus,” balas Jiyong, membisukan Lisa dalam pikirannya sendiri. Lisa melepaskan tangan Jiyong, gadis itu kembali duduk di kursinya kemudian mengulang kembali semua cerita yang pernah Rose katakan padanya.

Lisa berusaha mencari kesalahan yang ada dalam cerita Jiyong, namun ia tidak menemukan apapun. Selama ini Lisa bertanya-tanya, kenapa Rose masih bertahan dengan pria menyebalkan yang selalu Rose ceritakan. Lisa pikir Rose hanya terlalu mencintai kekasihnya, karena itu ia bertahan. Tapi ucapan Jiyong tidak menunjukan hal yang sama. “Kenapa kalian putus?” tanya Lisa, ia merasa dapat mengerti alasan Rose berbohong kalau mengetahui alasan mereka berhenti berkencan.

Lisa mengerjapkan matanya berkali-kali, gadis itu mencoba membangunkan dirinya dari mimpi yang mungkin masih mengungkungnya. Ini pasti mimpi– pikir gadis itu usai pria yang ada di sebelahnya menjawab pertanyaannya. “Rose hamil, tapi orangtuanya melarangku bertanggung jawab, mereka memaksa Rose mengugurkan anak itu dan memintaku untuk berhenti menemui putri mereka,” ucap Jiyong, menjawab pertanyaan Lisa setelah ia menenggak dua gelas wine sekali lagi.

“Tidak mungkin, jangan minum lagi, kau sudah mabuk dan mulai melantur-“

“Bagaimana aku bisa mengatakannya kalau aku tidak mabuk? Mereka mengugurkan anakku tanpa berdiskusi denganku, lalu setelah aku mulai merelakannya, kau memberitahuku kalau Mino sudah tewas. Kau pikir, kau bisa tetap waras kalau ada di posisiku? Aku berharap aku bisa menerima semua ini tapi aku rasa aku akan mati lebih dulu sebelum bisa menerima semua kenyataannya.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After The Man's DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang