Bagian 34

1.2K 182 2
                                    

Sekarang sudah pukul 11 malam dan Lisa baru menjawab panggilan Jiyong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekarang sudah pukul 11 malam dan Lisa baru menjawab panggilan Jiyong. "Aku baru saja bertemu Rose dan sekarang aku lelah, kita bertemu besok pagi saja. Aku ingin tidur nyenyak malam ini," ucap Lisa setelah Jiyong menjelaskan alasannya menelpon.

"Sekarang Rose jadi pria?"

"Apa maksudmu?"

"Kau pergi dengan seorang pria tadi sore,"

"Lalu? Kau bukan kekasihku, kenapa aku harus melaporkan kegiatanku padamu? Bahkan walaupun kau kekasihku, aku tidak sudi diatur begitu," jawab Lisa, benar-benar membuat Jiyong harus mengelus dadanya sendiri– harus bersabar.

"Heish... Kau harus selalu membuatku kesal? Dimana kau sekarang?"

"Perjalanan pulang. Sudah ku bilang aku tidak mau bertemu denganmu sekarang, aku sangat lelah. Aku baru saja berenang setelah bertahun-tahun tidak melakukannya,"

"Jam berapa pesawatmu besok?"

"Jam 12, bertemu besok saja. Ku telepon lagi besok. Perutku sakit karena sudah lama tidak berenang, ku tutup," ucap Lisa yang kemudian mematikan panggilan itu secara sepihak. Gadis itu menyimpan handphonenya di dalam tasnya kemudian menatap keluar, ke jalanan yang sedang ia lewati bersama pelayan kiriman Rose.

"Kemana saya harus mengantar anda?" tanya si pelayan yang tentu tidak tahu dimana alamat rumah Lisa. Dan alih-alih ia memberikan alamat rumah orangtuanya, Lisa justru meminta si pelayan itu mengantarnya ke rumah Mino– rumah yang mereka tempati bersama.

Butuh waktu satu jam untuk sampai ke rumah itu, dan Lisa langsung berbaring di sofa begitu ia sampai. Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas sofa kemudian menatap langit-langit rumah tersebut tanpa memiliki pikiran apapun di dalam kepalanya.

"Kau disini?" tanya Lisa, gadis itu menggulirkan bola matanya, berpaling dari langit-langit rumahnya ke arah seorang pria yang berdiri di depan beberapa lukisan– lagi-lagi dalam bayangan Lisa, Mino sedang berdiri disana. "Kau bersenang-senang hari ini?" tanya Mino, tentunya hanya dalam bayangan Lisa.

"Tidak, aku merasa ada yang salah dengan tubuhku,"

"Kenapa? Kau sakit?" tanya Mino semu itu, tanpa sedikitpun bergerak mendekati Lisa yang masih berbaring di sofa.

"Aku merasa sangat lelah, karena berenang, karenamu juga," balas Lisa, masih berbaring di sofa sembari menatap lesu pada lukisan-lukisan yang pernah Mino buat.

"Karenaku? Kenapa karenaku? Kau lelah padaku? Kau sudah tidak membutuhkanku lagi?"

"Kenapa aku tidak membutuhkanmu? Aku membutuhkanmu," jawab Lisa, gadis itu berusaha bangun, ingin meraih Mino yang terlihat begitu jauh darinya.

"Kau tidak merindukanku?"

"Aku merindukanmu, setiap hari, kemarilah, kau terlalu jauh," pinta Lisa namun jarak diantara mereka justru terasa semakin jauh. Itu hanya delusi yang kepala Lisa ciptakan, tapi bagi Lisa sendiri delusi itu terasa sangat nyata.

"Kalau begitu lihatlah aku, kenapa kau bilang kalau aku tidak ada?"

"Karena kau memang tidak ada," jawab Lisa dengan suaranya yang bergetar. Akhirnya gadis itu berhasil duduk, namun Mino tetap terlalu jauh untuk digapai tangannya. Bahkan setelah gadis itu berhasil berdiri, ia tetap tidak dapat meraih Mino.

"Aku ada disini,"

"Dimana? Aku tidak bisa meraihmu, aku ingin bersamamu,"

"Kalau begitu kau hanya perlu mati," ucap Mino, membuat Lisa yang sempat berdiri kembali duduk di sofanya. "Kau hanya perlu mati, bukan begitu? Matilah... Lalu kau bisa terus bersamaku," ucap Mino– dalam bayangan Lisa.

Lisa terus mengulang kata mati dalam kepalanya. Setelah mengetahui kalau dirinya hanya berhalusinasi, ingatan akan kematian Mino terus saja berputar di kepalanya. Ia mencoba untuk terlihat baik-baik saja, ia tersenyum dan berusaha meyakinkan dirinya kalau Mino sudah lama pergi. Ia bahkan membuat janji temu dengan seorang psikiater untuk mengatasi masalahnya. Namun sebagian dari dirinya tetap mengharapkan kehadiran Mino. Seolah ada dua Lisa yang berbeda didalam tubuhnya, Lisa mengalami krisis identitas. Haruskah ia menjadi Lisa yang realistis dan segera menyingkirkan bayangan Mino, atau haruskah ia menjadi Lisa yang terus membayangkan Mino dimana pun ia berada. Sebagian dari dirinya ingin sembuh, namun sebagian lainnya merasa bersalah karena berusaha melupakan Mino.

Saat itu tengah malam dan di tengah kata mati yang bergejolak dalam kepala Lisa, handphone gadis itu berdering. Berkat dering handphonenya itu, Lisa tersadar dari khayalannya. Berkat dering handphone itu, Mino yang terus menyuruhnya untuk mati akhirnya menghilang. Namun disaat Lisa tersadar dari khayalannya, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat tangan kanannya memotong pergelangan tangan kirinya sendiri. Sudah ada banyak darah yang mengalir dari pergelangan tangan kirinya, namun lukanya belum cukup dalam.

Dengan tangan yang kotor akibat darah, Lisa merogoh tasnya, mencari si benda kotak yang berdering itu. "Halo, eomma?" ucap gadis itu, sembari berjalan ke kamar mandi, mencari handuk yang bisa ia pakai untuk menghentikan pendarahannya.

"Kau tidak pulang?" tanya nyonya Kim di sebrang telepon– tanpa mengetahui kalau pikiran Lisa hampir saja berhasil membawa putrinya bunuh diri sekali lagi. 

"Tidak, ada beberapa barang yang harus ku ambil di rumahku, aku akan menginap di sana malam ini,"

"Kau masih bekerja?"

"Aku baru saja menemui Rose, tadi kami makan malam dan berenang bersama. Sekarang aku sudah sampai di rumahku. Besok aku akan pulang sebelum berangkat ke bandara," jelas Lisa yang akhirnya berhasil mematikan panggilan itu setelah meminta ibunya untuk berhenti khawatir dan segera beristirahat. Masih dengan tangan yang terus mengeluarkan darah, gadis itu meraih tas jinjingnya kemudian menghentikan taksi dan meminta taksi itu mengantarnya ke rumah sakit.

Selama perjalanan ke rumah sakit, ada luapan rasa kesepian yang membuat dada Lisa sesak. Ingatannya akan Mino hampir saja membunuhnya sekali lagi. Sembari memegangi handuk berdarah yang melilit di pergelangan tangan kirinya, gadis itu berucap, "Apa kau sedih?" tanya Lisa, tentu kepada Mino yang selalu menjadi delusinya.

"Selama kau bahagia, aku akan bahagia," jawab klise delusinya itu, yang dalam bayangan Lisa sekarang tengah duduk di sebelahnya.

"Kau pria baik," komentar Lisa, mengabaikan lirikan aneh si supir taksi. "Maaf karena aku membayangkan hal buruk tentangmu. Maaf karena aku berfikir kau akan membunuhku. Maaf karena aku menjadikanmu alasan untuk mati."

"Dunia adalah tempat yang sangat luas," ucap delusi yang tengah Lisa gambarkan dalam kepalanya. Dalam bayangannya, kini Mino tengah menggenggam tangannya. "Begitu luas seolah kita punya tempat masing-masing di dunia ini. Tapi kita tidak bisa selamanya berada di dunia ini, nanti ketika waktu kita habis, kita harus pergi dari dunia ini. Mari kita bertemu lagi nanti, saat waktunya tiba. Jangan sekarang, kau masih punya waktu," pamit Mino yang lantas menghilang begitu taksi yang Lisa naiki tiba di rumah sakit.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After The Man's DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang