Bagian Dua

1.4K 142 5
                                    

Gue tahu. Nggak sepantasnya gue berharap kayak gini. Ini tuh pasti udah salah! Nggak bener! Mana mungkin ada cowok yang suka sama gue, kan? Pasti matanya udah salah, tuh!

Gue bilang kayak gitu karena ada landasannya, kok! Gue jelek! Nggak secantik Lucinta Dia. Iya, ituloh....

Pasti surat itu datang dari keusilan seseorang yang nggak punya kerjaan. Orang yang senang sama penderitaan gue.

Waduh!

Kenapa gue jadi nuduh sembarangan, nih?

Ampun ... nggak boleh, Yun! Jelek-jelek gini nggak boleh jelekin kejelekannya orang lain! Tuh, ngerti, nggak?

"Lo dari tadi kenapa ngelamun terus? Kan gue jadi takut...."

Gue ngelirik sahabat terbaik gue. Entah kenapa dalam hidup seorang manusia dia mempunyai satu orang sahabat yang paling akrab. Melebihi saudara. Dan sejeleknya gue, pastinya gue juga punya sahabat terbaik. Kalian mau tahu namanya?

Dara Dieng Darmawati.

"Masalah jerawat lagi?" Dara nunjuk muka gue, tepat di benjolan memerah itu.

"Bukan. Tapi masalah surat cinta itu, loh...."

"Ah ... Arjuna, toh?"

"Iya. Kan gue penasaran ama tuh cowok. Baru kali ini ada yang bilang gue cantik selain Bang Geris...."

Dara cengengesan. Dia tahu betul tabiat si Geris. Over protectif banget. Nggak ada yang ngalahin. Gue jalan keluar rumah dikit aja pasti diinterogasi dulu.

"Lo nggak usah nanggepin surat itu. Jangan baper. Nanti jerawat lo makin banyak."

Ah, iya juga, ya? Mungkin salah satu penyebab jerawat ini karena terlalu banyak mikir. Asal kalian tahu aja, gue ini tipe cewek pemikir. Semua hal gue pikirin, bahkan untuk hal yang nggak penting.

Contohnya?

Gue sering bertanya-tanya kenapa air itu bisa cair, kenapa gue bisa segede ini dari sebuah sperma yang kecil banget. Kenapa jerawat gue nggak bisa hilang.

Tuh, tuh! Yang paling mendominan dipikiran gue itu jerawat!

Bangke!

"Jadi, Bang Geris bakalan jemput lo?" Dara bertanya. Padahal dia udah tahu jawabannya. Dari kecil dia udah tahu kalau Geris keras kepala.

"Nanti gue diusir dari rumah kalau pergi gitu aja."

Ya, sebenarnya gue itu tinggal berdua sama Geris. Berdua. Kenapa? Karena orang tua gue udah nggak di dunia lagi, jadi Geris yang kerja. Ngikutin tren dianya, kerja sambil kuliah. Keren, kan?

"Gue duluan, ya." Dara melambaikan tangannya, memasuki mobil jemputan yang mewah.

Dibanding sama gue, Dara itu punya segalanya. Dia cantik, tubuhnya langsing, rambutnya panjang, dia juga anak orang kaya. Katanya sih, dia pengen jadi aktris. Cocok, sih! Banget.

Nah, gue? Masa depan gue masih belum jelas. Gue nggak tahu mau jadi apa kedepannya. Ini nggak ada sangkutpautnya sama wajah. Tapi gue belum tahu bidan apa yang bisa gue tekuni.

Meski begitu, gue pernah punya cita-cita jadi Ceo. Kalau nggak bisa, gue pengen cari suami yang berprofesi kayak gitu.

"Kak, nih ada surat."

Anak kecil itu lagi! Anak yang namanya Sofyan. Gue udah pernah kenalan sama dia. Sofyan itu punya kakak. Ganteng banget. Gue pernah lihat tuh cowok bareng si Sofyan. Dari tatapannya gue bisa lihat kalau kakaknya itu penyayang banget. Kalau nggak salah namanya itu Bara.

Gue (Nggak) Jelek! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang