Bagian Empat Belas

904 98 2
                                    


Di depan sana Arjuna berkobar menyampaikan pemberitahuan bagi kami—peserta MOS. Suaranya yang rendah terdengar seksi, gue bisa dengar cewek-cewek kagum sama ketampanannya. Gue juga menyadari satu hal, Arjuna kelihatan lebih berkharisma dari yang lain, meski sekolah ini didominan sama cewek cantik dan cowok ganteng.

“Yuni.” Roma nyolek siku gue, dia persis di belakang gue.

“Apaan?”

“Lo pacaran sama Kak Juna?”

“Hm?” Gue melirik ke belakang sesaat. “Maksud lo apa?”

Wajah ceria yang sering Roma tunjukkan nggak ada, malah wajah murung kayak nggak makan setahun. Di dahinya ada keringat, netes gitu aja di permukaan wajahnya. Gila! Roma kelihatan cakep banget!

Ngucap, Yun!

“Kak Juna tadi bilang kalau lo itu punyanya dia, itu artinya lo itu pacarnya, kan?”

Ah! Yang itu gue juga masih bingung. Arjuna belum ngomong apa-apa sama gue, dia belum jelasin kenapa dia bilang kayak gitu. Dia langsung pergi buat urus sesuatu. Kenapa dunia gue makin berantakan, ya?

“Itu … gue nggak pacaran sama dia.”

Roma memperpendek jarak. “Terus, kenapa dia bilang kayak gitu? Gue jadi salah paham.”

“Mana gue tahu!”

“Tapi lo seneng, kan?”

Gue natap Roma sekali lagi, wajahnya masih mendung. Saat-saat seperti ini otak gue yang suka berfantasi makin gila, di dalam otak gue udah simpulin kalau Roma itu … cemburu?

Ah! Masa iya, sih?!

“Lo senang, kan, Yun?” Roma berpindah posisi, dia berdiri di samping gue, halangin matahari yang manggang kulit gue.

“Kalau itu gue pasti senang, tapi gue nggak tahu maksud Kak Juna apaan.”

Roma menatap ke depan panggung, dia tersenyum tipis. “Lo beneran suka sama dia? Serius? Lo yakin?”

“Gue heran sama lo, kayaknya akhir-akhir ini lo sensi sama Kak Juna. Apa-apa nanya tentang dia. Lo kenapa, sih? Belum bisa move on dari Ramona?”

“Ngapain gue mikirin cewek itu! Dia udah punya pacar, pamer lagi sama gue. Kan gue jadi jijik sama dia!”

Gue nahan tawa. “Nggak usah ngeledek mantan, lo itu pernah suka sama dia. Sadar diri!”

Roma nggak ngomong lagi, gue jadi makin aneh lihat kelakuan dia. Roma jadi nggak terprediksi, kadang dia senyum lebar, kadang dia kelihatan sedih. Apa ini ada sangkutpautnya sama keluarganya yang lagi nggak baik? Tapi setahu gue, Roma itu orangnya nggak suka berlarut-larut dalam kesedihan, secara dia orangnya jahil banget.

Sampai waktu istirahat tiba, Roma masih diam. Tapi dia nggak jauh-jauh sama gue, dia nempel kayak lem. Matanya lirik sekitar, kayak waspada.

“Lo kenapa, Rom? Dari tadi gue perhatiin lo kayaknya nggak tenang gitu.”

“Nggak apa-apa.”

Gue merinding. Roma yang sekarang beda banget sama yang dulu. Gue nggak terlalu yakin sifat nakalnya berubah dalam semalam. Sifat nyebelin yang udah terperangkap dalam tubuhnya nggak mungkin hilang gitu aja, kan?

“Yuni!” Raka melambai, dia menghampiri kami berdua.

“Iya, Kak?”

“Gimana? Lo nggak capek, kan?” tanyanya. Mata imutnya lirik Roma. “Nama lo Roma, kan? Cowok yang tadi sama Yuni dan Juna.”

Gue (Nggak) Jelek! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang