Beberapa hari lagi Ujian Nasional akan terlaksana. Sebagai seorang murid, gue harus belajar lebih giat. Iya, seharusnya kayak gitu. Tugas seorang pelajar adalah belajar. Tapi nggak semua murid begitu, dan gue juga tercantum di dalamnya.
Gue malah bengong di kelas. Nggak punya teman terkecuali Dara, itu pun gue nggak bisa ketemu sama dia tiap hari. Dara sibuk sama tugas-tugasnya, dia juga lagi sibuk buat casting.
Kok nasib gue gini amat, ya? Nggak punya teman berbagi. Apa karena gue jelek? Gendut? Pesek? Jerawatan?
"Yuni! Masih gendut aja lo!" Roma duduk di samping gue sambil bawa beberapa bungkus cemilan. "Mau?"
Gue diam aja.
"Lo benaran marah karena sering gue ejek?"
Lebih daripada itu. Gue kesel sama dia. Karena Roma, gue diledekin seantero sekolah. Gue diejek pelakor karena skandal percintaannya yang sama sekali nggak ada sangkutpautnya sama gue. Terus dia juga sering deketin gue cuma buat ngeledek. Dia maunya apa?
"Yun, lo jangan marah gitu, dong. Coba lo lihat sekeliling lo."
Gue mengedarkan pandangan. Teman kelas gue sibuk sama dunianya sendiri.
"Terus lo lihat ke gue."
Gue natap dia datar. Roma nyengir seperti biasa.
"Dari banyaknya teman kelas kita, cuma gue yang pengen ngomong sama lo, kan? Nggak tersanjung?"
"Nggak."
Roma terkekeh. "Gue sering ngeledek lo biar lo mau berubah. Tapi keknya lo makin gendut aja, jerawat lo makin banyak. Kirain lo mau buktiin kalau lo bisa berubah, nyatanya nggak gitu...."
"Kenapa gue harus berubah?"
"Karena gue nggak suka lo diledekin sama orang lain."
Sumpah! Roma kok makin aneh?
"Lo peduli sama gue? Kenapa?"
"Because ... we are friend."
"Lo nganggap gue temen?"
Roma manggut-manggut. Dia ngasih beberapa cemilannya buat gue. "Lo itu beda dari cewek yang lain, Yun. Gue suka sama sifat lo itu."
"Lo...."
"Apa? Lo nggak mikir kalau gue cinta sama lo, kan?"
Gue membeku. Nggak bisa ngomong apa-apa. Gue akuin, gue sempat mikir kayak gitu. Berdasarkan film yang sering gue tonton, yang genrenya romantis dan ala-ala remaja, cowok yang nganggap cewek itu spesial udah pasti adalah gebetannya, naksir gitu.
Tapi kayaknya gue terlalu berlebihan sama perkataan Roma tadi.
Ini bukan salah gue! Ini salahnya Roma! Dia yang terus deketin gue, dan sekarang dia bilang kalau kita itu teman?!
Emang kapan dia memproklamasikan pertemanan itu? Kalau sebagai musuh, iya!
"Roma, lo sebaiknya jauh-jauh sama gue. Lo bikin gue tambah pusing."
Roma itu cukup keras kepala, sama kayak Abang Geris. Roma nggak akan nyerah sampai dia dapatin apa yang dia mau, apa yang dia pengen.
"Lo ... beneran nggak mau jadi teman gue?"
"Ngapain gue jadi teman lo?"
Roma mendesis. "Yun, lo pikir, deh! Kalau gue jadi teman lo, seenggaknya orang-orang bakalan mikir dua kali kalau mau jahilin lo. Gue pasti ada buat lo."
"Lo ngomong gini karena ada rencana jahat ke gue, kan? Ngaku lo!"
"Yuni, segitu hinanya gue dimata lo, ya?" Roma mulai alay seperti biasa, sok melankolis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue (Nggak) Jelek! [✓]
Fiksi Remaja[Completed] Gue nggak sama kayak kalian. Gue jelek berdasarkan hasil penelitian. Jerawat gue banyak, minyak wajah jadi pemandangan, komedoan, dan tentunya gue gendut + pendek + pesek. Tapi... Kalian nggak akan percaya kalau gue punya pengagum rahasi...