Gue capek. Kaki gue pegal. Niatnya gue cuma mau anterin Roma dan setelah itu makan. Tapi gue nggak tahu kalau Roma itu banyak maunya. Dia malah ajak gue nongkrong di jalanan, kebetulan di situ ada tempat duduk, pangkalan ojek namanya.
Gue yang masih agak waras nggak mungkin mau gitu aja, gue beralasan banyak. Bilang kalau Geris bisa murka, Abang gue itu pasti bakalan meledak kalau gue pulangnya lama. Kelangsungan hidup gue terancam!
“Pulang, yuk! Udah mau malem, nih!”
“Bentar lagi, Yun. Gue masih pengen di sini. Tuh! Banyak kendaraan, kan?”
“Lo di sini aja sendirian, gue mau pulang!”
“Yuni.” Roma narik tangan gue. “Jangan pulang dulu, dong. Temanin gue….”
“Kenapa gue harus temenin lo?”
“Karena … gue lagi kesepian….”
Gue lirik ke mas-mas tukang ojek. “Lo bisa ngobrol sama dia.”
“Kan beda, Yun.”
“Beda apanya? Sama-sama orang juga!”
Roma menarik napas panjang, genggamannya terlepas. Wajahnya tiba-tiba mendung, raut mukanya kelihatan sedih. Untuk kesekian kalianya gue heran sama tingkah cowok itu.
“Gue cuma mau curhat, Yun.”
“Tumben lo curhat. Lo napa?”
Roma menjauh dikit, jongkok sambil lihatin kendaraan. Karena rasa iba, gue akhirnya ikutan jongkok juga.
“Lo napa? Tumben lo sedih.”
“Sebenarnya … gue tersesat sampai ke rumah lo karena gue kabur dari rumah.”
“Kok bisa?”
Roma tersenyum getir, matanya mulai berkaca-kaca. “Ayah gue sama ibu gue lagi berantem, dan semua itu gara-gara gue.”
Gue bergeming, nggak tahu mau merespon apa.
“Gue … ngerasa bersalah aja.”
“Tapi orang tua lo nggak apa-apa, kan?”
“Mereka sebenarnya itu romantis, baru kali ini gue lihat mereka marah-marah. Gue tadi sempat takut, gue pikir mereka bakalan pisah. Sumpah! Gue takut, Yun.”
Gue sama Roma saling pandang, suara kendaraan yang lalu lalang entah kenapa kayak sunyi, kayak dunia tiba-tiba berubah senyap. Mata gue fokus natap mata dia, gue bisa rasain kalau Roma benar-benar terpuruk.
“Yuni!”
Gue cukup tersentak dengar suara itu. Gue mendongak dan hampir memekik lihat pujaan gue ada di sini. Arjuna turun dari motornya, spontan dia genggam tangan gue.
“Lo ngapain di sini? Ini udah mau malam,” katanya.
“Anu, Kak….”
“Kita pulang.” Nada suaranya berubah, sedikit lirih penuh penekanan.
Gue menelan ludah, gue nggak ngomong apa-apa lagi ke Roma, gue langsung naik ke boncengan Arjuna. Roma sempat senyum ke gue dan Arjuna, dia melambaikan tangannya dengan ceria.
Selama perjalanan nggak ada yang bersuara, hanya suara ribut angin yang terdengar. Jantung gue berdetak kencang, untuk yang pertama kalinya Arjuna ngebut. Sama sekali bukan kebiasaannya kalau bonceng gue.
“Kak….”
Nggak ada jawaban, makin lama laju motor bertambah. Tanpa tahu malu gue langsung lingkarin tangan gue di pinggangnya, mata gue tutup rapat, dalam hati gue berharap nggak jatuh.
![](https://img.wattpad.com/cover/200138902-288-k175919.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue (Nggak) Jelek! [✓]
Jugendliteratur[Completed] Gue nggak sama kayak kalian. Gue jelek berdasarkan hasil penelitian. Jerawat gue banyak, minyak wajah jadi pemandangan, komedoan, dan tentunya gue gendut + pendek + pesek. Tapi... Kalian nggak akan percaya kalau gue punya pengagum rahasi...