Bagian Dua Puluh Tiga

881 82 1
                                    

Sepulang sekolah cuaca agak ekstrem, panas matahari nyengat banget. Sama kayak kepala gue yang udah nggak bisa tahan sama kenyataan yang ada. Sejak tadi pagi gue berusaha buat nggak meledak. Roma sampai hari ini kelihatan nggak baik-baik aja.

“Yun, naik.” Roma udah siap di motor, matanya lirik gue. “Ayo.”

Bukannya naik, gue malah milih duduk di dekat parkiran. Di sebelah kiri ada motor Arjuna, artinya tuh cowok masih belum pulang.

Roma nyamperin gue, alisnya mengerut. “Lho? Kok nggak naik? Lo kenapa?”

Gue berdiri, natap dia lekat. “Kenapa lo bohong sama gue? Kenapa lo tega banget, sih? Lo tahu kalau gue suka sama Kak Juna. Tapi kenapa bikin sandiwara kaya gini?”

“Ma-maksud lo?”

Gue tersenyum miris. Rasanya gue pengen tabok si Roma Kelapa! Dia secara nggak langsung permainin hati gue. Kenapa dia harus segitunya, sih?

“Ini.” Gue ulurin surat cinta yang sekian lama buat gue pusing. “Ini bukan dari lo, kan? Bukan lo!”

“Yuni….”

“Lo kenapa bohong, Roma?! Kenapa lo bohong?!”

“Itu….”

Kesabaran gue habis, gue dorong dadanya menjauh. Hati gue langsung kacau. Tadinya gue pikir gue bisa bersikap santai, nyatanya nggak. Emosi langsung nyerang gue.

“Lo bohong, Roma! Lo tega banget sama gue! Lo manfaatin surat itu buat kesenangan diri lo sendiri!”

“Yuni … gue kayak gitu karena … gue cinta sama lo. Gue takut lo diambil orang….”

“Tapi lo nyakitin hati gue, lo nggak tahu perasaan gue, Roma….”

“Maaf, Yun.”

“Dan lo tahu? Sejak Kak Juna tahu kita pacaran, dia jadi cuek sama gue. Dia nyuruh gue buat nggak deket lagi sama dia.”

Roma nunduk dalam, tangannya gerak-gerak gelisah. “Maaf, Yun. Maaf banget. Gue kayak gini karena cinta, gue cinta sama lo.”

“Roma!”

“Lo juga nggak nolak gue, kan?” Kepala Roma mendongak. Tangannya genggam tangan gue. “Gue juga udah pernah nanya sama lo, lo masih suka sama Kak Juna atau nggak. Dan jawaban lo itu udah nggak! Gue salahnya dimana? Kalau lo masih cinta sama Kak Juna, kenapa lo terima gue? Karena surat cinta itu?”

“Roma….” Suara gue bergetar. “Lo nggak tahu seberapa pentingnya surat cinta itu. Lo ingat waktu gue kesepian? Waktu lo masih ngebuli gue sama Ramona? Cuma Arjuna yang selalu ada buat gue, dia bilang kalau gue cantik saat yang lain bilang gue kayak gajah! Lo nggak ngerti, sih! Bagi gue, surat cinta itu penting banget!!!”

Roma tercekat, genggamannya mengendur.

Tanpa gue sadari, air mata netes gitu aja. Gue terlalu emosi dan sedikit kacau. Semuanya bercampur jadi satu. Gue pengen Arjuna kembali kayak dulu lagi, dimana dia bisa senyum ke gue. Dan sekarang gue udah nggak tahu gimana caranya balikin semua momen itu.

“Yuni….” Roma maju selangkah. “Maafin gue….”

“Kalau lo cinta sama gue, kenapa lo bohong? Kalau lo cinta, lo bilang aja, nggak usah sangkutpautin sama orang lain. Karena kelakuan lo itu, Kak Juna jadi berubah sama gue.”

“Maaf, Yun, maaf….”

Gue masih mewek, bibir gue bergetar. Agak malu juga nangis di depan orang, biasanya gue bakalan nangis yang penting ada Bang Geris. Geris bisa meluk gue biar nggak ada yang bisa lihat wajah gue pas lagi nangis.

Gue (Nggak) Jelek! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang