Bagian Enam

1K 124 2
                                    

Gue akan nandain hari ini sebagai hari yang paling istimewa. Gue akan jadiin hari rabu sebagai hari yang paling sakral.

Mungkin pada dasarnya gue yang lebay atau gimana, tapi gue nggak bisa ngelak kalau gue itu bahagia banget.

Pertama, gue tahu nomor HP Arjuna. Nomor HP-nya woi!!! Kalau gini, gue bisa ngirim pesan sama dia, kan? Iya, kan? PDKT gitu....

Kedua, gue tahu rumahnya dia. Gue masuk ke dalam rumahnya. Ya, meski dalam artian rumah sepupunya.

Jadi, karena gue ikut ke rumahnya Si Gia, gue jadi lebih tahu tentang kehidupan Arjuna. Cowok judes itu udah kelas 2 SMA, dia nebeng di rumah sepupunya sampai lulus SMA. Dan hari itu gue beriktiar akan sekolah di sana nantinya. Gue akan ngikutin dia. Bodo amat kalau dia udah punya cewek! Selama dia nggak pernah ngenalin ceweknya ke gue, it's ok!

"Nanti pulangnya diantar sama Juna, ya? Abis tugasnya masih lama. Nggak apa-apa, kan, Ris?" Gia ngerling ke arah Geris. Senyum lebar seperti biasa.

Geris berdeham. Natap gue setelah itu natap Arjuna. Sejak dia tahu kalau sepupu Gia itu namanya Arjuna, Geris jadi agak posesif sama gue. Tatapannya selalu tajam.

"Nggak usah, Gi. Gue balik sama adek gue aja. Dia bisa nunggu di sini, kan?"

Gia manggut-manggut. "Itu sih terserah Yuni, kalau dia mau nunggu nggak apa-apa. Lagian bokap nyokap gue lagi ke luar kota. Lumayan bikin suasana rame...."

Well, ini nggak baik. Kalau gue cuma duduk diam di sini itu nggak asik! Masa gue cuma merhatiin aktivitas Geris sama Gia yang lagi ngerjain tugas? Mending gue pulang aja!

"Jun, lo ajak Yuni ke kamar gue buat istirahat. Kasihan kalau dia di sini terus, dia kayaknya ngantuk."

Geris langsung natap Arjuna. Tajam banget! Kayaknya ada sesuatu yang bikin Geris marah, deh. Aduh ... kenapa dia harus masang muka keki, sih? Gue kan nggak akan diapa-apain sama Arjuna.

"Yun, lo tidur aja. Tungguin Abang, bentar lagi selesai." Geris ngusap pipi gue sayang.

"Iya, Bang."

Gue pun ngikutin langkah Arjuna yang katanya akan nunjukin kamarnya Gia. Rumah itu cukup luas dan bersih banget, nggak ada asisten di rumah itu. Benar-benar sepi dan nyaman dalam waktu bersamaan, dan ... juga agak horor.

Rumah itu agak jauh dari keramaian, tetanggnya nggak seramai di komplek perumahan gue. Suasananya nggak ramai sama sekali.

Mungkin ini yang menjadi dasar kenapa Arjuna bisa cuek kayak gini.

"Ini." Arjuna nunjuk salah satu pintu. "Ini kamar Gia. Lo masuk aja."

Gue diam sebentar. Cuma merhatiin dengan lekat. Arjuna tanggap dan bukain pintu buat gue, nyuruh gue masuk.

"Lo istirahat, kalau ada apa-apa tinggal ketok pintu di depan."

Ternyata kamar Gia dan Arjuna itu berhadapan. Beda warna. Pintu kamar Gia itu warnanya ungu, sedangkan Arjuna warnanya putih. Polos gitu....

"Gue masuk dulu." Arjuna masuk ke kamarnya, pintunya kebuka, nggak ditutup.

"Kak Juna...." Gue panggil dia lirih. Dalam beberapa detik dia muncul.

"Apa?" ucapnya datar. Beberapa kancing seragamnya udak kebuka. Dadanya terekspos.

Mati! Gue mati, nih! Dadanya bidang banget, menonjol! Pasti Arjuna ini rajin olahraga sampai dadanya bisa berotot seksi gitu. Kenapa gue harus panggil dia tadi, sih? Kepikiran lagi, deh!

"Lo lagi mikir apa?" Arjuna berkata tajam. Matanya ngelirik ke dadanya. "Lo mikir jorok, ya?"

Buset!

Gue (Nggak) Jelek! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang