Bagian Delapan Belas

793 88 0
                                    

“Lo kenapa, Yun? Kok tangan gue diseret-seret?”

Tepat pelajaran berakhir gue bawa Roma ke tempat yang agak sepi. Gue sengaja nggak nodong dia langsung tentang surat yang ada di dalam tasnya. Gue mati-matian nahan gejolak yang membara ini.

Gue udah lari kecil untuk menghindari tiga cowok kece yang udah berotasi di dalam hidup gue. Jangan sampai Arjuna dan kawan-kawannya tahu kalau gue sedang melakukan aksi kebut-kebutan. Iya, kebutan lari.

“Yuni! Lo kenapa, sih? Tangan gue sakit!”

“Diem!”

Akhirnya setelah mutar-mutar nggak tentu arah, gue berhasil menemukan gang sempit. Di sampingnya ada tong sampah, tapi nggak apa-apa, gue udah biasa.

Roma natap gue horor, dia berdeham. “Yun, lo nggak mau jelasin kenapa hari ini tingkah lo aneh?”

Gue belum bisa jawab apa-apa. Gue sibuk memperhatikan semua detail wajah SI KELAPA!

Aneh aja menurut gue, nggak mungkin Roma yang selalu nulis surat cinta buat gue. Secara dia itu sama sekali nggak kelihatan romantis. Kalau cakep, sih, iya! Tapi … ah! Masa Roma orangnya?

“Yuni!” Roma megang pundak gue. “Lo kenapa? Mau bilang apa? Jangan buat gue penasaran.”

Gue ambil surat itu dari saku seragam gue, sejenak gue memperhatikan wajah Roma yang datar. Pokoknya drama surat cinta harus berakhir sampai di sini!

“Ini, surat ini lo yang buat?”

“Hah?”

“Gue lihat surat ini ada di tas lo. Jadi … selama ini yang kirimin gue surat cinta itu lo?”

Roma gelagapan. Matanya gerak-gerak nggak tentu arah. Jelas banget kalau dia lagi gugup.

“Jawab, Rom!”

Roma belum angkat bicara, mungkin dia lagi mikir.

“Roma….”

“Maaf, Yun. Maaf….”

“Kenapa lo minta maaf?”

Roma natap gue penuh arti, tangannya terulur gitu aja. Dalam sekian detik gue udah ada di pelukannya. Tunggu! Roma meluk gue?! Kok bisa?

“Yun, maaf. Gue … suka sama lo.”

Terasa ada yang jatuh ke kepala gue. Agak sakit. Dagu Roma bertumpu di sana, tangannya udah melilit kayak ular. Gue terlalu syok sampai nggak bisa ngomong apa-apa.

“Dulu … gue agak risi sama lo. Gue selalu ngejek lo juga waktu gue masih pacaran sama Ramona. Tapi entah kenapa gue suka lihat kalau lo lagi marah-marah, gue senang bisa buat lo kesel. Dan … gue sadar kalau selama ini gue cinta sama lo.”

Pita sura gue nggak berfungsi sementara, lidah gue juga lagi malas buat gerak. Apalagi tubuh gue yang nggak bisa gerak sama sekali. Mata gue cuma bisa ngerjap beberapa kali.

“Yun … gue minta maaf. Maaf yang sebesar-besarnya.”

Gue nelan ludah gugup. Roma kayak gini lebih kelihatan manusianya. Auranya beda banget pas zaman SMP. Mungkin nih cowok dalam masa transisi kali, ya? Dari alam kegelapan menuju alam terang benderang.

“Yun….” Roma lepasin pelukannya, dia nunduk sedikit buat tatap-tatapan sama gue.

“Ja-jadi … lo … lo … yang….” Jantung gue nggak keruan, rasanya mau lompat. “Lo … itu … Arjuna Zahiditya?”

Roma nggak jawab.

“Lo Arjuna Zahiditya? Pelaku surat cinta itu?”

Roma nunduk dalam. “Iya.”

Gue (Nggak) Jelek! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang