Delapan Belas

26 3 0
                                    

Setelah mengantar Dilla pulang kerumah, Radit kembali ke rumah sakit untuk menemani Alvin dan Vian. Saat masuk keruangan, Radit melihat Alvin sedang berada di depan laptop nya. Mengerjakan perkerjaan nya.

"Lo harus banyak istirahat Vin.” Itu suara Radit yang baru saja datang.

Alvin hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakan ucapan Radit.

“Keras kepala lo gak pernah ilang. Persis sama kaya Dilla.”

“Jelas dia adik gue.”

Radit tertawa. Ia duduk disamping Alvin sambil menatap  Vian yang sedang terlelap tidur.

“Gimana perkembangan bunda?”

Radit menghela nafasnya.

“Sebelum itu ada yang mau gue bicarain sama lo Vin. Tapi gue minta untuk lo dengerin dulu penjelasan gue.”

Alvin mengangguk.

“Lo tau perkembangan bunda setiap waktunya selalu sama. Lo juga tau banyak dokter yang udah menyerah dengan kondisi bunda. Gue sebagai dokter pun berpikir kalau kemungkinan bunda untuk sadar sangat tipis.”

Alvin menghela nafasnya. “Jangan minta gue untuk menyerah Dit. Gue gak akan pernah untuk menyerah.”

“Bukan itu yang mau gue sampaikan. Bulan lalu, Profesor Amanda mengatakan hal penting terkait kondisi bunda. Vin, dalam istilah medis ada 2 rasa sakit. Sakit mental dan sakit fisik. Dari segi fisik, bunda seharusnya udah bangun. Seluruh pemeriksaan menunjukkan kemajuan,dengan kata lain kondisi fisik bunda sehat.”

“Terus kenapa bunda belum bangun?”

“Mental Vin, ada kemungkinan dari dalam diri bunda yang tidak ingin bangun.”

Alvin terkejut. “Kenapa bunda gak mau bangun? Apa gue, Dilla, dan Vian gak cukup untuk jadi alasan bunda bangun?! ”

“Vin, lo tenang dulu. Coba pikirkan saat kejadian apa bunda mengalami kecelakaan? Membawa mobil dengan kecepatan tinggi dan berakhir koma hingga hari ini belum sadarkan diri.”

“Gak mungkin. Jangan bilang kalau orang itu yang bisa membuat bunda bangun?! Gak Dit!! Orang itu bukan lagi keluarga gue!!”

“Lo bisa bilang gitu tapi mungkin engga dengan bunda. Lo gak mau cari dan ketemu lagi tapi gimana dengan bunda? Ada seseorang yang ia tunggu ditengah-tengah kondisi hidup dan matinya!”

Alvin terdiam. “Ini sebagai bukti kalau bunda membutuhkan ayah.” Kali ini Radit memberanikan diri menyebut kata yang sangat tabu diucapkan jika ada Alvin. Radit menunjukkan video di ponsel nya.
Alvin melihat Radit yang berdiri disamping ranjang tempat bunda nya berbaring. Alvin mendengar percakapan Radit divideo itu.

“Selamat pagi bunda, hari ini Radit dateng buat periksa bunda. Hasilnya semua kondisi bunda membaik, tapi kenapa bunda belum bangun?” ada jeda sebelum Radit melanjutkan pembicaraan yang ia tahu lawan bicara nya tidak akan merespon.
“Bunda, Professor Amanda bilang kalau kesadaran bunda tergantung keinginan bunda untuk sadar. Bunda, apa ada yang bunda tunggu? Apa—”
Radit terdiam, ia menghela nafasnya panjang. “Apa ayah yang bunda tunggu?” saat mengucapkan itu, alat pendeteksi detak jantung Viola meningkat. Radit terkejut, saat itu ia melihat kedua mata Viola yang tertutup meneteskan air mata.

Alvin yang melihat itu langsung menjatuhkan ponsel milik Radit. Matanya membulat dan nafasnya memburu. Baru pertama kali dalam 5 tahun Alvin melihat sang bunda merespon seperti di dalam video tadi.

“Dit—bunda—”

Radit menepuk pundak Alvin lalu mengangguk. “Itu kemajuan terbesar selama 5 tahun ini Vin. Bunda mau ketemu sama ayah.”

Saat mendengar kalimat itu ada rasa sakit di hati Alvin. Ingatan saat ia melihat foto sang ayah berduaan dengan seorang wanita, ayah nya yang pergi tanpa ada kabar ataupun alasan, meninggalkan dirinya dengan 2 adik dan bunda nya yang terbaring koma.

“Gue masih marah dit. Gue masih ingat semuanya. Semua ini salah dia. Dia yang dulu gue banggakan tapi dia juga yang membuat gue benci dengan kata ‘ayah’.”

“Vin, simpan dulu amarah lo sama ayah. Yang terpenting kita harus bisa buat bunda sadar. Meski kita harus cari ayah dan pertemukan mereka.”
Alvin menghela nafasnya.

“Ayah—ayah hikss” itu suara Vian. Ia mengigau menyebutkan kata ayah. Sontak Alvin dan Radit langsung menghampiri ranjang Vian.
Radit memeriksa tubuh Vian. Sambil memeriksa, Radit menyadari bahwa Vian selalu mengigau memanggil ayah nya semenjak kejadian pagi tadi. Ia sudah menelusuri cctv di mall namun tidak ada petunjuk apapun. Saat ia menanyakan pada Vian, anak itu hanya menggelengkan kepalanya.

“Demam nya tinggi. Ini udah gue prediksiin kalau Vian bakal demam malam nya.”

Alvin mengusap-ngusap rambut Vian. Menenangkan adik kesayangan nya.
“Ayah!!” Vian terbangun dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ia menangis dan langsung memeluk Alvin.

“Hiksss Kak Alvin, ayah dimana? Vian selalu mimpiin ayah. Ayah bilang sama Vian buat tolongin ayah. Ayah dimana kak? Vian harus bantuin ayah.”

Alvin dan Radit terkejut dengan penjelasan Vian.

“Itu cuman mimpi. Ayo Vian tidur lagi ya.” Ucap Alvin.

“Gak! Vian harus bantuin ayah kak.”

Alvin menghela nafasnya. “Yaudah biar kakak yang tolongin ayah. Tapi Vian tidur lagi ya.” Vian mengangguk lalu kembali memejamkan matanya.

“Gue titip Vian ya Dit.”

“Lo mau kemana? Ini udah malem.”

“Lo bilang gue harus cari ayah bukan? Gue titip Vian ya. Pagi gue kesini lagi kok.”

Radit mengangguk, “Jaga kesehatan juga Vin!!”

Alvin mengangguk lalu keluar dari ruangan. Sebelum pergi ia memutuskan untuk mengunjungi kamar tempat bunda nya berbaring koma.

“Malam bunda, maaf Alvin baru kesini.” Alvi menggenggam erat tangan Viola.

“Bunda, setelah 5 tahun lamanya Alvin akhirnya menjejakkan kaki di Belanda. Kalau bukan karena kerjaan Alvin gak mau kesana.” Alvin menghela nafasnya.

“Bunda, Radit bilang kalau bunda mau ketemu ayah ya? Maaf kalau Alvin gak berusaha untuk cari ayah selama 5 tahun ini. Karena—karena Alvin kecewa dan marah sama ayah. Tapi kalau memang dengan adanya ayah disini bisa bikin bunda bangun, Alvin bakal cari ayah lagi. Bunda tunggu ya.” Setelah itu Alvin beranjak meninggalkan ruangan. Tanpa ia sadari bunda nya menggerakan jari tangan nya.

VIOLAVA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang