Tiga Enam

29 2 0
                                    

Viola terbangun dari pingsan nya. Ia merasakan sakit di kepalanya akibat syok dan kelelahan menangis. Wanita itu melihat ke sekitar ruangan, matanya berhenti pada sebuah jas hitam yang tergantung di lemari. Jas yang biasa digunakan untuk datang ke pemakaman.

"Ini pasti mimpi." ucapnya.

Viola dengan tergesa-gesa turun dari ranjang itu. Kaki nya masih terlalu lemas karena memang ia masih menjalankan terapi.  Namun wanita itu tetap berusaha bangkit, air mata nya sudah mengalir. Ia berlari tanpa alas dan membuka pintu.

"Bunda?." itu Alvin.

Viola memeluk anak laki-laki nya itu.
"Ini pasti mimpi ya kan Vin? Ayah mana?."

"Ayo masuk dulu, bunda baru aja bangun."

"Gak gak, bunda mau liat ayah. Kasian ayah sendiri hikss."

Wanita itu terus menangis dan dengan pasrah tubuhnya dibawa kembali duduk di ranjang rumah sakit.

"Ava hikss." Viola masih menangis.

"Bunda, ayah gak pergi ninggalin kita."

Viola menatap wajah Alvin dengan tatapan meminta penjelasan.

"Ayah masih ada bersama kita."

"Benarkah? Sekarang dimana ayah?."

Alvin menghela nafasnya. Ia menceritakan kejadian yang terjadi.

"Dokter itu mendonorkan jantung dan mata untuk ayah?."

Alvin menganggukan kepalanya.
Viola menangis, ia mengucapkan syukur kepada Tuhan atas diberikan kesempatan untuk suaminya.

"Apa sekarang ayah masih di ruang operasi? Sudah berapa lama?."

Alvin melihat jam tangan nya.
"Udah 5 jam. Radit mengabarkan operasi transplantasi jantung sudah di lakukan. Tinggal bagian mata."

Viola mengangguk paham.
"Bunda, apa bunda gak marah atas keputusan Alvin?."

Wanita itu menatap lekat wajah sang anak. Terlihat kekhawatiran yang dirasakan oleh Alvin.

"Kenapa bunda harus marah? Apa karena pendonor itu adalah orang yang menyebabkan ayah menjadi seperti ini?."

Alvin mengangguk.
"Apa yang Alvin lakukan hanya  karena ingin ayah tetap bersama kita. Tidak ada yang salah. Bagaiamana pun kita tetap harus berterimakasih bukan?."

"Gak, kita gak perlu berterimakasih. Memang sudah seharusnya pria itu mengorbankan dirinya untuk ayah."

Viola mengangguk paham. "Ya memang benar, tapi mengorbankan kehidupan itu tidak lah mudah. Kita bukan lah pria itu. Membawa penyesalan disaat kematian nya datang itu jauh lebih menyiksa nya. Ucapkan terimakasih saat pria itu keluar walaupun dia tidak lagi hidup di dunia ini."

Alvin menghela nafasnya, ia menyadari bunda nya ini terlalu lembut hati nya.

"Dilla mana?"

"Dilla marah sama Alvin karena keputusan ini. Dia malah nyuruh Alvin buat donorin jantung sama mata dia dari pada pria itu. Dilla bener-bener gila bun, mana mungkin aku mengorbankan Dilla. Aku yakin ayah dan bunda juga gak akan setuju ya kan?."

Alvin terlihat kesal. Sedangkan Viola tersenyum menatap anak laki-laki nya itu. " Kasih adik kamu waktu untuk memahami semuanya. Keputusan Alvin sudah sangat tepat." Viola menundukkan wajah nya.

"Saat dokter menyatakan bahwa jantung Dilla lah yang paling cocok untuk di donorkan ke ayah, bunda menangis. Bahkan berpikir bagaimana bisa bunda harus memilih diantara Dilla dan ayah? Bunda ingin ayah sembuh tapi mengorbankan Dilla adalah kesalahan besar. Bahkan bunda sudah mengiklaskan ayah. Karena kalau ayah tau jantung yang ada ditubuhnya adalah jantung Dilla pasti ayah akan marah besar dan menyesali kesempatan yang ayah dapatkan lagi."

VIOLAVA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang