Tiga Lima

26 1 0
                                    

Semua orang sudah mempasrahkan keadaan Ava, tinggal menunggu Profesor Amanda untuk menyatakan waktu nya. Viola dibawah ke ruang rawat karena begitu keluar ruangan sang suami, ia jatuh pingsan.

Tiba-tiba Radit, Danish, dan Nevan berlari bersamaan sepanjang koridor. Alhasil mereka menarik perhatian seluruh keluarga Matafa dan Viona.

"Alvin, Dilla, ikut gue ke dalem." ucap Radit dengan wajah serius nya lalu lebih dulu masuk keruangan sang ayah.

Dilla menatap sang kakak. Lalu secara bersamaan mereka masuk kedalam. Hal tersebut membuat semua orang kebingungan.

"Ada apa ini?." Tanya Rendo. Danish dan Nevan menjelaskan keadaan yang terjadi kepada keluarga Matafa.

Di dalam Dilla dan Alvin melihat Profesor Amanda yang terdiam. Semua suster disana kembali memasangkan alat penunjang hidup Ava.

"Dit ada apa?."tanya Alvin.

Radit menatap kearah Profesor Amanda, lalu wanita itu tersenyum dan mengangguk.

"Ada seseorang yang akan mendonorkan jantung juga mata nya untuk ayah kalian." ucap Radit.

Alvin dan Dilla menatap Radit.
"Beneran Dit? Apa kali ini akan berhasil?." tanya Alvin.

"Kemungkinan besar berhasil. Kita bisa langsung membawa ayah ke ruang operasi sekarang."

Dilla terlihat senang hingga menangis lalu memeluk sang kakak.
"Siapa pendonor nya? Kita harus bilang makasih ke keluarga nya." ucap Dilla.

Radit menghela nafasnya, "Profesor Argue."

Seketika Alvin dan Dilla terdiam.
"Pembunuh itu?." tanya Dilla.

Radit mengangguk.

"Gak!! Aku gak sudi jantung dan mata pria itu akan ada di tubuh ayah!!." Dilla terlihat geram.

Alvin masih tidak mengeluarkan suara nya.
Radit menghampiri Dilla. "Dill, ini satu-satu nya jalan supaya ayah bisa terselamatkan. Aku sudah melakukan test keseluruhan dan hasilnya Profesor Argue sangat memungkinkan untuk mendonorkan jantung dan mata nya."

Dilla menggelengkan kepalanya.

"Lakukan." ucap Alvin singkat.

"Kak Alvin!!." bentak Dilla.

Alvin tidak menghiraukan Dilla.
"Bawa ayah keruang operasi sekarang."

"Gak!! Gak!! Lebih baik aku yang kasih jantung dan mata aku untuk ayah!!." ucap Dilla.

"Bawa aku!! Diantara semua keluarga Matafa, jantung aku yang paling cocok dengan ayah. Bawa aku Dit!!" Dilla menangis dan memukul dada Radit.

Alvin menarik dan menahan tangan Dilla.
"Sekarang!!" bentak Alvin.

Radit menatap ke arah Profesor Amanda lalu mengangguk. Amanda meminta para suster untuk mendorong ranjang  ke luar ruangan.

Dilla berusaha melepas eratan tangan Alvin di tubuhnya. Saat pintu terbuka, Rendo dan Bella berdiri di depan ranjang. Mereka sudah mengetahui siapa pendonornya.

"Kakek!! Jangan biarin orang itu mendonorkan jantung untuk ayah!!!." Teriak Dilla.

Rendo dan Bella menatap sendu ke arah Dilla. Lalu mereka melihat Alvin mengangguk. Akhirnya mereka memberi jalan untuk dokter dan suster membawa Ava ke ruang operasi.

"Radit, pastikan operasi kali ini berhasil." ucap Rendo. Radit mengangguk.

Sebelum pergi ia menatap ke arah Dilla yang masih menangis dan berusaha melepaskan diri dari Alvin.

"Radit!!! Jangan Dit!!" Dilla menggelengkan kepalanya.

Tatapan Radit berubah sendu.
"Maaf Dill."

Radit pergi meninggalkan ruangan.

"Radit!!!!." Teriak Dilla.

Setelah nya Alvin memeluk adik perempuan nya itu.
"Kakak biarin jantung dan mata pembunuh itu ada ditubuh ayah hikss."

"Dill, dengerin kakak. Kalau ayah   tau jantung dan mata yang ayah terima itu milik kamu, mereka akan semakin merasa bersalah. Bunda juga sudah mengatakan untuk mengiklaskan ayah kalau memang sudah saat nya pergi, bunda gak mau harus merelakan kamu."

Dilla menggelengkan kepalanya, ia masih tidak terima. Dilla melepas pelukan nya dan berlari ke luar ruangan.
"Biar Viona yang nyusul." ucap Viona. Alvin mengangguk.

Alvin  menyesal telah membuat sang adik menangis dan marah padanya. Namun ini pilihan terbaik untuk sang ayah.
"Kek, Nek, aku titip bunda. Tolong nanti jelaskan semuanya ke bunda juga Ula. Aku mau pergi dulu." Rendo dan Bella mengangguk.

Alvin mengambil ponsel di saku celana nya dan menghubungi seseorang.

"Dimana ruangan nya?."

"....."

Alvin segera menuju ruangan yang telah diberitahu oleh di penerima telepon.

🖤🖤🖤

Alvin membuka pintu ruangan. Ia melihat Amanda, dua orang polisi, Danish, dan Nevan disana. Tatapan Radit jatuh pada seorang pria tua yang duduk di atas ranjang dengan selang infus yang terpasang di tangan nya.

"Bisa kasih saya waktu sebentar."

Semuanya mengangguk. Mereka meninggalkan Alvin berdua dengan pria tua itu.

"Kenapa anda mau melakukan hal ini?." tanya Alvin tanpa basa basi. Rasa benci nya masih ada terhadap pria dihadapan nya. Dia adalah Profesor Argue.

"Kewajiban atas apa yang sudah saya lakukan kepada keluarga kalian."

Alvin tersenyum. "Kewajiban? Bukan kan anda menginginkan sebuah pengakuan? Pengakuan bahwa anda adalah seorang profesor yang masih bisa menyelamatkan orang di sisa hidup nya walaupun status nya sebagai seorang teroris?."

Kalimat itu menohok hati Argue. Apa yang dikatakan oleh Alvin itu juta dibenarkan oleh Argue.

"Ya anda benar tapi itu sesuatu yang tidak mungkin karena inilah hukuman mati yang saya dapatkan hanya saja dalam waktu yang lebih cepat, alasan saya melakukan ini karena saya ingin membayar waktu Tuan Velava dengan kalian yang telah saya ambil."

Alvin menatap nya lama dengan penuh amarah. "Waktu itu tidak bisa anda bayar."

"Anda benar."

"Tidak ada alas budi ataupun terimakasih yang saya ucapkan begitupun keluarga Matafa kepada anda atas apa yang telah anda lakukan untuk ayah saya. Itu yang memang seharusnya anda lakukan bukan?."

Argue terdiam lalu mengangguk.

"Bertahanlah di meja operasi agar ayah saya selamat." Setelah nya Alvin pergi meninggalkan Argue.

Alvin tidak menyesal mengucapkan kalimat tajam itu pada Argue. Karena baginya, dampak yang Argue lakukan pada keluarga nya jauh lebih besar dibanding pengorbanan nya. Apa yang ia lakukan harus dipertanggungjawabkan.

Sedangkan disisi lain Amanda masuk ke ruang tempat Argue berada.
"Apa sudah saatnya?." tanya Argue.

Amanda mengangguk.
"Terimakasih Amanda, setidaknya sekarang saya bisa bertemu dengan istri dan anak saya."

Amanda mengangguk lalu tersenyum.

"Sampaikan salam saya untuk istri dan anak anda, Profesor."

Argue menitikkan air matanya. Ia mengangguk. Hanya Amanda yang masih menganggap nya sebagai seorang profesor.

"Ayo kamu harus menyelamatkan pasienmu. Pastikan operasi ini berhasil. Maaf dan terimakasih Amanda" Argue memberikan senyum terakhir nya untuk Amanda.

VIOLAVA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang