"Benar bahwa yang di foto tersebut adalah putri kandungku." Satu kalimat itu mampu memicu reaksi luar biasa dari para kru dari berbagai saluran berita yang berada di ruangan tersebut. Mereka berebut melempar pertanyaan kepada Manuel yang tetap terlihat tenang, tidak gugup sama sekali. Justru Ramona yang menggigit kuku ibu jarinya karena gugup saat menonton yang terjadi di layar kaca.
"Mengapa keberadaannya ditutup-tutupi? Apakah kau malu dengan statusnya sebagai anak haram?" Ramona ingin sekali menampar mulut reporter wanita berambut pirang gelap tersebut.
Manuel di tempat yang berbeda, merasakan hal yang sama dengan Ramona. Namun, dia tahu bahwa bukan hal yang bijaksana menunjukkan amarahnya saat ini. Dia harus menjaga imejnya demi semua orang yang dia kasihi. Kendati demikian, dia tidak mau membiarkan begitu saja orang yang mengatai Alina.
"Aku sangat menghargai jika kalian tidak menyebut putriku dengan julukan 'anak haram'. Dan jawaban untuk pertanyaanmu, Ma'am, aku tidak malu. Ada alasan mengapa aku tidak mempublikasikan keberadaannya. Dua anakku tumbuh disaksika oleh publik dan aku hingga kini menyayangkan hal tersebut. Aku tidak ingin terjadi kepada putri bungsuku, apalagi ibunya bukanlah figur publik."
Satu per satu pertanyaan para wartawan yang berebutan dijawab dengan tenang oleh Manuel. Meski ada saja pertanyaan yang membuatnya geram, dia tetap menanggapi tanpa terpancing emosi.
"Apa rencanamu setelah ini?" Reporter terakhir bertanya.
"Aku dan ibunya sudah sepakat membesarkannya tanpa publikasi dan kami akan melanjutkan co-parenting yang kami lakukan selama ini." Manuel tersenyum menutup sesi tanya jawab.
Ramona tahu bahwa meski Manuel sudah berusaha menjernihkan suasana, setelah ini tidak akan sama lagi. Sangat mungkin bagi dirinya—yang bukan siapa-siapa—tertangkap kamera dan fotonya tersebar lagi di internet. Namun, Ramona bertekad untuk tetap bertahan. Asal bukan Alina yang diperlakukan demikian. Saat konferensi pers tadi, Manuel sudah menegaskan dia akan menggugat media mana saja yang mempublikasi wajah Alina. Itu bisa dilakukan karena Alina masih di bawah umur, tetapi berbeda dengan Ramona. Dia sendiri harus bertahan.
Ramona menghela napasnya. Dia melihat ke layar gawainya yang mati dan memutuskan sudah saatnya dia menghadapi apapun yang Damien akan katakan.
***
Damien terlambat lima belas menit dari waktu yang mereka sepakati untuk bertemu. Ramona memilih tempat di mana dirinya dan Damien dulu pertama kali makan malam bersama. Pria yang ditunggu tiba dengan wajah yang murung. Seperti bisa mengetahui masa depan, Ramona bisa menebak apa yang akan disampaikan oleh pria itu.
"Hai," sapa lelaki berkulit terang itu dengan rikuh saat duduk di depan Ramona.
Ramona tidak mengerti bagaimana interaksi mereka berdua bisa jadi canggung seperti saat ini. Dia memaksakan senyum tipis dan membalas sapaan Damien. "Hai."
"You look nice." Damien melemparkan pujian untuk penampilan Ramona. Dalam hati, Ramona mencebik karena jelas-jelas kekasihnya itu menghindar untuk melihatnya.
"Terima kasih. Kau juga terlihat tampan."
Ketika pujian barusan lolos dari mulut Ramona dan Damien balas berterima kasih, tidak ada lagi kata yang mengiringi kebersamaan mereka. Tidak selama hampir tiga menit. Dua-duanya salah tingkah dan kesulitan menemukan cara untuk memulai topik pembicaraan yang tak terelakkan.
"Ramona—"
"Aku tahu apa yang akan kaukatakan," ungkap Ramona yang seketika membuat pucat wajah Damien.
"Maaf .... Maafkan aku, Ramona." Damien menunduk, malu dengan dirinya sendiri. Dia merasa sangat bersalah kepada Ramona. "Aku sudah memikirkannya dan aku tidak bisa ...."
Ramona memandang dengan getir laki-laki yang dicintainya itu, yang dia yakini akan menghabiskan sisa hidup bersamanya. "Hentikan ...."
"Aku ingin memiliki putra dan putriku sendiri. Orang tuaku pun ingin cucu dariku, anak-anak kandungku."
"Hentikan!" Ramona memukul meja. Dia menatap Damien dengan wajah berurai air mata. "Kumohon, berhenti bicara. Aku sudah paham maksudmu. Jika perpisahan yang kauinginkan, aku menerimanya." Meski sulit, Ramona tersenyum. "Aku terlalu menyayangimu sehingga tidak ingin kau tak bahagia. Aku tidak mau memaksamu bersamaku jika itu menghalangimu dari sesuatu yang kau impikan."
Damien menutup mata dengan kedua tangan. Telapak tangan itu dengan cepat basah oleh air mata. "Sungguh, aku pun mencintaimu. Namun, kekurangan yang kau miliki ... aku tidak bisa menerimanya."
"Aku mengerti. Damien ... dengan ini, aku melepasmu. Kita akhiri saja, ya? Dan kumohon, biarkan aku yang pergi lebih dulu. Dengan begitu, aku akan merasa sedikit lebih baik." Ramona memakai lagi masker serta topi yang menutupi sebagian besar wajahnya, lantas berdiri dan pergi. Dia tidak menengok lagi ke belakang, sehingga dia tidak melihat Damien yang kini menangis tersedu sebelum seorang pelayan menghampirinya.
Dia tersenyum getir. Pertama kali dalam hidup, hatinya terasa sesakit ini. Seandainya dia tahu akan begini akhirnya, lebih baik sejak awal dia dan Damien tidak perlu saling mengenal.
.
.
.
Maaf karena lama nggak ada kabar. Authornya stuck dengan cerita ini, jadi belum nemu ide untuk kelanjutannya. Selagi nunggu, author dapet ilham, baca cerita ini yuk:
Update 3x seminggu. Silakan langsung meluncur ke breeyaretzi.
Pairing: Lisa-Chanyeol, Jimin-Rose
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Love Child
Roman d'amourBuku pertama The Billionaire Series Ramona Martinez menjadi seorang ibu di usianya yang masih sangat muda. Tidak ada seorang pun selain dirinya yang tahu bahwa ayah dari anaknya bukanlah pria sembarangan. Keluarga pria ini secara turun temurun memp...