Kengkawans, barusan gue dapat kabar dari pihak penerbit Elfa Mediatama bahwa novel Valterra sudah bisa dipesan. 😘
Valterra akan jadi novel gue yang kesebelas tapi sekaligus novel pertama setelah sepuluh tahun gue gak menghasilkan karya. Novel gue s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Prolog
"Waktu lo dua minggu lagi untuk menjadi perempuan seutuhnya, zheyeng. Atau lo akan dibuang ke luar koloni! Lo tau akibatnya, kan? Belum ada seorang pun yang bisa bertahan hidup sendirian di luar sana. Elo akan mati sebelum sempat menghirup udara kotor di hari kedua. Jika beruntung lo akan dibiarkan hidup dan dikirim ke pasar budak!" cetus Ketua Ben yang Maha Kerad.
Lelaki setengah baya bertubuh tinggi besar, serupa monster bigfoot itu berkata tanpa merasa perlu menatap Rin. Dia lebih memilih menyeringai culas, seraya memandangi orang-orang di atas rooftop yang masih menangis, saling mencium dan berpelukan, usai ritual Khotbah Agung. Sorot matanya nampak kering dan acuh, sesekali dia menguap lebar. Suara tangis, rintihan dan lolongan sekalipun bukan lagi hal-hal yang bisa menyentuh hati seorang Ben. Bukan tanpa alasan dia mendapatkan gelar Yang Maha Kerad!
"Iya, gue tau, Ketua. Tapi gue beneran belum siap memproduksi bayi-bayi kentang itu! Please...!" mohon Rin, nampak sangat gusar.
"Elo belum siap atau memang gak mau sih, Coeg?" Ketua Ben memainkan asap rokok Ximengnya, melukis sebuah hulu ledak dan dua buah bulatan yang mengapitnya.
Rin tidak menjawab. Dia yakin Ketua Ben telah mengetahui jawabannya. Hampir seluruh orang di Koloni mengetahuinya, Rin sangat tidak menyukai tiga hal: ghibah, bubur tydack diaduck dan obrolan seputar bagaimana cara membuat bayi yang enak dan benar.
Rata-rata perempuan di Santuy City telah beranak pada umur 15 tabun. Ada batas waktu seorang perempuan sudah harus beranak, yaitu delapan belas tahun. Dua minggu lagi Rin akan melewati batas itu.
"Elo enggak jelek, Rin. Mata dan hidung kocheng lo itu bahkan terlihat sangat seksi. Jadi gue heran aja kenapa belum ada cowok yang ngajak lo buat naena, memproduksi bayi-bayi." Ketua Ben akhirnya menoleh, menatap penuh minat pada Rin.
"Ya meneketehe, Ketua." Rin menjawabnya dengan malas. Sedikit saja cowok koloni yang berani mendekati Rin. Apa lagi berani melakukan cat calling padanya. Rin akan segera menghampiri anak cowok malang itu dan membuatnya harus menginap lima hari di Rumah Sakit Koloni.
"Apa karena elo sebegitu menyebalkannya, Penjahat Cilik? Sehingga tidak ada seorang pun lelaki yang sudi membuat bayi bersama lo?" Ketua Ben melangkah menghampiri Rin, menghembuskan asap Ximengnya. Rin sangat benci setiap Ketua Ben melakukan hal itu kepadanya.
"Hmm, mungkin." Rin mengangkat bahu dan menekuk bibirnya.
"Apa elo perlu sedikit bantuan gue, zheyeng?" seringai Ketua Ben. Seketika Rin merasa mual.
"Apa maksud lo, Ketua?" Rin membalas tatapan menjijikkan Ketua Ben.
"Gue bisa membantu lo, Rin zheyeng." Ketua Ben meraih dagu Rin.
"Gue enggak ehem." Rin pura-pura tidak mengerti niat bejat Ketua Ben.
"Elo sudah cukup dewasa untuk bisa meng-ehem-i apa yang gue maksud. Turuti semua kemauan gue maka lo akan selamat dari hukuman pengusiran kaum mandul!" Mata Ketua Ben semakin liar. Dia menyudutkan Rin ke dinding, merapatkan tubuh mereka, kemudian mulai menciumi daun telinga dan leher Rin.