“Semua orang di koloni membenci Hari Berkumpul, sama seperti orang-orang di Dunia Lama membenci hari pertama mereka kembali bekerja.” ~ Catatan Tanpa Nama, Santuy City, Hari Berkumpul, Minggu Pertama, Bulan Pertama, Tahun 99 Bumi Baru
12. Hari Berkumpul
"Bibi Leah," Rin membuka mulutnya di saat matanya masih terpejam, sementara tubuhnya dipasrahkannya di punggung Bibi Leah.
"Ya, ada apa, zheyeng?" Bibi Leah harus menggendong paksa Rin, hampir di setiap pagi Hari Berkumpul. Tentu saja Bibi Leah memakai sepatu survival dan mengatur gravitasinya mendekatai gravitasi Bulan, sehingga dia bisa dengan nyaman menggendong Rin sampai ke rooftop gedung.
"Sampai kapan kita harus melakukan ritual tolol ini, berkumpul di atap gedung seperti zombie, cuma untuk mendengarkan omong kosong?" cibir Rin.
Orang-orang di koloni harus bangun pagi sekali setiap Hari Berkumpul. Mereka akan berbondong-bondong menuju rooftop gedung untuk mendengarkan sabda agung Dia yang Tak Ternoda. Bandingkan dengan hari Bersantuy, hari di mana sampai siang hari semua orang bebas bermalas-malasan di box tidur mereka, melanjutkan mimpi atau menonton koleksi video dan musik dari katalog yang tersedia di SleepingSuit. Kemudian mereka bangun tidur untuk menikmati segelas susu, kopi atau coklat hangat yang airnya mereka peroleh dari alat pemanen air portable.
Alat pemanen air, seperti juga pemanen energi matahari, wajib dimiliki setiap kelompok dan koloni. Sementara versi yang lebih portable-nya wajib dibawa oleh setiap orang yang melakukan perjalanan jauh. Alat ini dapat mengubah udara menjadi air. Semua orang memerlukannya karena sumber air tanah sudah sangat tercemar dan tidak bisa dipakai, bahkan untuk sekadar mencuci muka.
"Jaga mulutmu, zheyeng. Dia yang Tak Ternoda memiliki banyak mata dan telinga. Lagi pula melawan penguasa bukanlah perbuatan yang disukai Tuhan!" bisik Bibi Leah.
"Huh! Kenapa sih, Tuhan selalu berpihak kepada para penguasa, Bibi?" tanya Rin lagi masih dengan mata terpejamnya.
"Zheyeng, apa kau tidak punya pertanyaan lain yang lebih mudah untuk Bibimu ini? Pertanyaan yang cocok dengan usiamu. Apakah kau tidak ingin bertanya bagaimana caranya membuat bayi, misalnya?" Bibi leah memencet gemas hidung Rin.
"Gue sedikitpun tydack tertarik membicarakan hal semacam itu, Bibi Leah." Rin menguap, kemudian memeluk lebih erat tubuh BIbi Leah.
"Hahaha. Benarkah, zheyeng? Tunggu saja sampai kau merasakannya sendiri! Di dunia ini tidak ada yang lebih menarik dan menyenangkan dari membuat bayi-bayi, percayalah!" cetus Bibi Leah.
"Iyuh...! Hanya itu sajakah kesenangan dan tujuan hidup kita di bumi enih?" tanya Rin, retoris.
"Ya Tuhan, pertanyaanmu sudah mulai membuat Bibimu ini sakit kepala lagi!" gerutu Bibi Leah.
"Pantas saja bumi menjadi serusak sekarang. Mungkin dulu memang benar bumi pernah sangat indah dan damai. Sampai kita semua mulai berlomba-lomba memproduksi bayi-bayi tanpa memikirkan orang lain, species lain dan kelestarian bumi!" orasi Rin.
"Hai, bocah sinting! Bagaimana bisa kau masih tetap tertidur di punggungku, sementara bicaramu sudah seperti seorang pengajar tingkat atas Akademi Elite Koloni!" Bibi Leah menoyor kening Rin.
"Ayolah, Bibi zheyeng, realistis saja. Kita hidup di dunia yang nyaris binasa. Kita hanya bisa minum susu, kopi dan coklat sintetik. Kita memakan segala jenis daging di meja makan kita tanpa banyak bertanya itu daging siapa! Kita setiap saat harus mempertaruhkan nyawa! Lalu kenapa kita masih berlomba-lomba menambah populasi species kita?"
Bibi Leah terdiam, jemarinya membelai pipi Rin. Apa yang dikatakan Rin memang fakta yang sulit dia pungkiri.
"Apakah agar bayi-bayi itu ikut merasakan kehidupan yang mengerikan sekaligus membosankan ini?" imbuh Rin.
"Bibi tidak tahu, Nak. Bibi hanya tau itulah tugas kita semua. Menjadi warga kelompok yang baik dan santuy, serta memproduksi bayi-bayi untuk koloni."
"Sudah berapa kali Bibi melahirkan?"
"Hmm, mungkin sudah dua puluh kali. Bibi mulai memproduksi bayi di usia lima belas tahun. Sejak saat itu setiap tahun Bibi melahirkan bayi-bayi untuk koloni."
"Dan Bibi tidak sekalipun pernah menggendong dan merawat bayi-bayi Bibi, kan?" cecar Rin.
"Ya." Bibi Leah menyeka air matanya. "Sudahlah, jangan buat Bibi mengingat hal seperti itu lagi, Zheyeng! Bibi mohon!"
"Perempuan sekuat dan sehebat Bibi seharusnya bisa melakukan banyak hal lain yang lebih berarti, dibanding hanya membuat bayi-bayi. Bibi bahkan bisa mengalahkan Ketua Ben dan memimpin kelompok kita, misalnya." Rin berupaya membuka pikiran Bibi Leah.
"Ketua Ben lebih kuat dan lebih pantas memimpin kelompok ini, zheyeng." Bibi Leah membelai rambut Rin. Mereka sudah hampir tiba di lantai teratas.
"Oh, ya? Tapi gue denger Bibi pernah mematahkan hidung Ketua Ben saat kalian masih menempuh pendidikan dasar koloni."
"Hahaha. Itu hanya kenangan masa lalu, Zheyeng. Lagi pula saat itu Ketua Ben masih kecil dan belum sekuat sekarang!" dalih Bibi Leah.
"Menurut gue sampai kapanpun Ketua Ben tidak akan pernah bisa menang geloed melawan Bibi dalam sebuah duel yang fair!" dukung Rin.
"Begitu, ya? Hahaha. Bibi memang tidak pernah takut pada Ketua Ben. Bibi hanya memandangnya sebagai pemimpin kelompok kita. Ah, sudahlah, berbicara denganmu selalu membuat Bibi sakit kepala!"
"Itu tandanya Bibi mulai berani berpikir! Jangan menyerah!" Rin membuka matanya, mengedip nakal, lalu segera melompat dari punggung bibinya itu.
"Bocah sinting!" umpat Bibi Leah ketika Rin langsung berlari menjauh, sesampainya mereka di rooftop. Dia bergabung bersama anak-anak lain seusianya. Semua orang sudah berkumpul.
"Hai, Rin zheyeng...!" seseorang menepuk punggung Rin.
"Hei, Ketua Zak...!" Rin langsung memeluk lelaki itu tanpa canggung. Rin tidak tahu berapa sebenarnya usia Ketua Zak. Tubuhnye terlihat masih gagah dan kuat. Tapi orang-orang sejak dulu sudah memanggilnya sebagai Ketua, entah apa sebabnya. Mungkin dulunya Ketua Zak pernah memimpin sebuah Kelompok sendiri.
"Gue mendengar prestasi luar biasa lo, Zheyeng. Membunuh seekor Chimera dengan bobot setengah ton itu bukan pekerjaan seorang gadis kecil yang masih suka ngompol. Elo sudah dewasa dan siap memproduksi bayi sekarang!" seloroh Ketua Zak.
Rin meninju bahu Ketua Zak. Hanya dia satu-satunya orang tua yang Rin perlakukan seperti teman sebaya. Ketua Zak juga mengetahui Rin tidak menyukai obrolan sepuatar reproduksi.
"Lo sendiri, bagaimana kabar lo, Ketua Zak? Apakah pinggang lo masih bisa digunakan cukup lama untuk memproduksi bayi-bayi?" Rin balas menyerang Ketua Zak.
"Hohoho, tentu saja gue masih sanggup melakukannya, zheyengku! Gue bahkan masih sanggup membuahi semua perempuan dewasa di koloni kita, hahaha! Hanya saja, semua perempuan seusia gue sudah tidak ada lagi yang mau melakukannya! Menyebalkan!" gerutu Ketua Zak.
Di seberang sana, Rin melihat Ketua Ben menembakkan sinar laser ke salah satu sisi gedung. Ruang kosong itu seketika berubah menjadi layar virtual.
"Salam santuy untuk kita semua, Slurr...!" seru Ketua Ben.
"Salam santuy, Mamang...! Yang gak jawab mandul...!" koor semua orang yang hadir.
"Terima kasih! Terima kasih, Slurr! Gue ketua Ben yang Maha Kerad, mewakili Dia yang Tak Ternoda, meyampaikan penghargaan atas kepatuhan dan semangat kalian melaksanakan ritual Hari Berkumpul kita yang suci dan agung ini...!"
"Hidup Ketua Ben...! Hidup yang Maha Kerad…! Terpujilah Dia yang Tak Ternoda…!" sambut orang-orang.
"Hari Berkumpul adalah hari di mana kita akan merenungkan kembali dunia yang kita tempati ini, serta mensyukuri jasa-jasa serta pengorbanan mulia Dia yang Tak Ternoda, yang telah menyelamatkan hidup dan menjadi pelindung kita semua selama ini...!"
"Terpujilah...! Uwo…! Uwo…! Terpujilah Dia yang Tak Ternoda, junjungan dan panutanque...!"
Hampir semua orang nampak larut dan terhipnotis. Begitu juga dengan Bibi Leah. Hanya Rin dan Ketua Zak yang terlihat berkali-kali menguap. Sebentar lagi mereka akan mendengar khotbah agung Dia yang Tak Ternoda. Orang-orang di Santuy City menyebutnya sebagai Khotbah Agung di Atas Rooftop. (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
VALTERRA (Open PO)
FantasyKengkawans, barusan gue dapat kabar dari pihak penerbit Elfa Mediatama bahwa novel Valterra sudah bisa dipesan. 😘 Valterra akan jadi novel gue yang kesebelas tapi sekaligus novel pertama setelah sepuluh tahun gue gak menghasilkan karya. Novel gue s...