Dewasa ini aku sering merindu,
Canda tawa kita di masa kecil yang menjadi candu,***
Meskipun Arka tidak mengakuinya, namun Panji tahu bahwa Arka mengetahui sesuatu. Dan itu membuatnya khawatir. Setiap detiknya ia teringat akan kejadian memalukan yang membuat hidupnya morat-marit.
Di suatu sore sambil membereskan peralatan untuk melaut Panji memberanikan diri bertanya pada Arka.
"Kau kuliah dimana, Arka? "
"Jakarta. " perasaan Panji kembali mencelos ... Jakarta itu luas.
"Ooh ... Kampus apa? "
"Universitas Indonesia. "
Tangan Panji gemetar. Itu adalah sekolahnya dahulu tempat ia menuntut ilmu, serta ia mendapatkan peristiwa yang menghancurkan karirnya.
"Kenapa Ji? Kamu sehat kan? Wajahmu pucat. " kata Arka kalem.
"Nggak papa. Semester berapa? " Panji sudah tidak tahu lagi. Jika berita itu juga tersebar di sini ia harus pergi lagi.
"Semester 6."
Doeng
Berarti Arka adalah kakak tingkat Panji. Sudah. Sudah cukup. Panji tidak mau bertanya lagi. Kepalanya jadi tambah pusing. Jika ia memastikan Arka untuk tidak bocor apakah bisa?
"Panji, aku dengar dari anak-anak muda lain kau disukai Dewangga? "
"Benarkah? Saya malah tidak tahu Mas Arka. " karena Panji tahu Arka lebih tua darinya ia memutuskan memanggil Arka dengan sebutan Mas Arka.
"Masak? Dia menaruh suka padamu. " tiba-tiba nada bicara Arka menjadi dingin. Walaupun tampang Arka lumayan daripada pemuda lain disini, Panji yakin bahwa Arka merasa tersaingi. Seperti pejantan yang terancam wilayahnya dikuasai oleh pendatang asing. Dan penjantan yang terancam wanita yang didambanya direbut oleh pendatang asing!
Lagipula I Dewangga itu cantik. Sepatutnya kalau pemuda bugis ini cemburu kalau Dewangga lebih memilih pemuda jawa rantau yang bernama Panji Seka.
"Ah ... Hahaha.. " Panji menanggapi dengan tawa kikuk. Jelas dia akan mengalah dengan sukarela dari Arka. Lagipula ia tidak mau membuat kekacauan disini jika memiliki perasaan apapun pada Dewangga. Dia tidak akan berharap lebih kecuali hanya untuk mengobati luka di dalam hatinya.
"...."
Seusai pembicaraan canggung itu keduanya jarang bicara. Bahkan Arka tidak senyum sedikit pun pada Panji. Sampai hari Arka kembali ke Jakarta sikapnya tetap sama. Dingin dan kesal kepada Panji.
***
"Malati! Malati!" Amma' berseru seru panik sambil terus menggoncang tubuh putrinya. Namun kelopak Malati tidak terbuka. Masih pejam.
"Kenapa Amma? " Ando Sampara yang usai dari menjual ikan hasil melautnya menghampiri Amma.
"Malati tiba-tiba tidak bangun. Sudah Amma bangunkan tapi tak bangun. Bagaimana ini Ando? " kata Amma dengan nada sangat khawatir.
"Badannya panas Amma'. Dia sakit. " kata Abdo.
"Iya, Ando. Sudah sejak semalam Malati demam. "
"Apa? Kenapa tidak langsung dibawa ke RS? Ayo lekas bawa ke Rumah Sakit! "
Ando membopong tubuh Malati yang lemah. Sementara keadaan itu Panji yang baru datang merasa heran dengan kepanikan keluarga Pak Sampara.
"Panji. Kau tunggu Rosi pulang. Ando dan Amma ke RS dulu. " pamit Sampara pada Panji.
"Baik Ando. " Panji langsung bisa mengerti bahwa bungsu mereka sedang sakit.
Tiga hari Malati dirawat di rumah sakit. Dan dia divonis positif Demam Berdarah Dengue. Penyakit mematikan yang dipasarkan nyamuk Aedes Aegypti ini telah bersarang di tibuh lemah Malati. Dan hari ini adalah masa kritis Malati. Panji ikut ketakutan. Gadis sekecil itu sudah dibayangi kematian.
Ya Allah. Semoga Malati bisa bertahan ... Ia yang baru datang dari rumah memandangi gadis kecil yang tergolek tak berdaya. Kemudian menatap sendu Amma yang terus menggenggam tangan rapuh Malati yang tinggal tulang dan daging. Pipi gembungnya yang lucu bahkan menjadi tirus karena sakitnya.
"Amma'. "
Panji memijit bahu Amma. "Amma pulang saja dan tidur. Amma' kelihatan lelah."
"Amma ndak lelah. Amma sehat. "
"Dek Malati apa sudah sadar Amma? "
"Sudah. Dia tadi sadar. Sekarang dia lagi tidur. "
"Amma. Infuse Malati kok nggak netes ya? Panji periksa ya? " Panji mendekati tangan Malati yang diinfuse. Tetapi dia terkejut luar biasa karena ia merasakan tangan Malati yang sedingin es.
Malati....
Panji meraba denyut nadi di pergelangan tangan Malati. Tidak terasa. Lalu dileher. Tak terasa juga.
"Kenapa Panji? " Amma bertanya linglung. Masih belum sadar apa yang sebenarnya terjadi.
"Panji panggilkan dokter dulu Amma'. "
***
Amma langsung menangis mendengar vonis dokter. Malati tidak berhasil melewati masa kritisnya. Ia telah berpulang ke hadapan Sang Pencipta.
Amma menangis sambil meciumi putrinya.
Rasa sayang yang Amma' tunjukan itu membawa Panji pada ingatan ibunya di Malang.
Bagaimana kabar ibu?
Masihkah ia sempat menemui ibunya?
Masihkah sempat ia minta maaf sebelum ajal yang memanggilnya?
Ia terlalu sedih dengan pandangan di depan matanya.
Seorang ibu yang kehilangan putri yang telah dikandungnya selama 9 bulan. Yang ia rawat. Yang ia berikan apapun dengan jerih payahnya tiba-tiba hilang dari peluknya. Tak bernyawa. Hanya jasad kosong.
"Amma' harus ikhlas. Malati sudah kembali pulang ke Yang Maha Kuasa. " Ando menenangkan Amma. Namun ia juga tak kuasa menangis.
Upacara pemakaman -Ammateang- menunggu si sulung pulang dari Jakarta. Karena Ammateang tidak bisa dilanjutkan sebelum keluarga terdekat muncul barulah jenazah bisa dimandikan.
Tampaknya si sulung memilih kendaraan udara agar tiba lebih cepat. Supaya adiknya bisa cepat diurus dan dimakamkan.
Setelah sulung pulang, jenazah Malati itu langsung ia dekap dan ia ciumi.
"Adek Malati. Semoga engkau mendapat tempat terbaik disisi Allah, adikku. " bisik Arka di telinga adiknya. Bulir bening tanda kehilangan menetes cepat dari kelopaknya. Walau masih berat Arka menyilahkan warga dan ibunya untuk memandikan Malati.
Panji jadi teringat adik-adiknya dirumah, dan kedua orangtuanya yang sangat ia rindukan. Sedang semua kakaknya sudah merantau ke tempat pilihan masing-masing. Panji rindu mereka. Rindu saat berkumpul di masa kecil dulu. Namun sekarang semua sudah sibuk dengan masalah dan kehidupan masing-masing.
Beba Galesong Takalar, 15 Agustus 2015
Iqbal Indra SetiawanSee u.. Next?
Next? Gimana? 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
PANJI (Completed)
SpiritualBagaimana rasanya saat hidup hanya dihantui dosa besar? Dosa itu bahkan menjadi penyebab ia harus putus kuliah. Dosa itulah yang membuat ia pergi jauh dari keluarganya, dan menjalani kehidupan di jalan dengan terlunta-lunta. Dosa itu tak terhapuskan...