Petikan gitar terdengar.. Sebuah lirik lagu masa kini dimainkan oleh suara merdu seorang lelaki teruntuk wanita yang kini telah sah menjadi pendamping hidupnya.
Aktifitas keduanya terhenti saat nada dering panggilan masuk dari ponsel Panji terdengar. Hari masih pagi, namun panggilan dari Iqbal adik Panji itu sepertinya mendesak.
"Halo?"
"Mas!" panggil Iqbal di seberang sana.
"Ada apa Bal? "
Telepon terputus saat itu juga. Panji mengenyit dengan ulah adiknya. Iqbal sangat tertutup. Dari semua saudaranya Iqballah yang paling pendiam. Tetapi bukan berarti Iqbal menutupi semua masalahnya darinya. Iqbal selalu bercerita kepada dirinya.
"Mas Iqbal kenapa Yah? " tanya Lina yang ikut penasaran.
"Nggak tahu Bun. Telfonnya diputus gitu aja. Kenapa ya? "
"Telfon balik aja Yah! "
Panji menelfon balik nomor Iqbal. Namun sibuk. Iqbal sepertinya sedang menghubungi orang lain. Tetapi siapa?***
"Apa maumu? "
"Siapa? Kau... " Rani mengenali suara bass rendah yang menggetarkan itu. Ia hanya memastikan saja bahwa pendengarannya masih baik dan ini bukanlah mimpi. Suara yang sangat ia rindu ditengah masalah hidupnya yang semakin hancur.
"Aku tanya apa maumu? " pertanyaan si lelaki dari seberang telepon sana masih retoris. Rani sulit memahami kemana arah dari pembicaraan mereka. Kalau ditanya apa maunya, ia hanya ingin hidup dengan damai. Ia ingin menebus segala dosanya sehingga bisa hidup damai menjalani hari-harinya yang melelahkan. Rani hanya membuang nafas. Ia menjawab dengan menahan perih dalam benaknya.
"Anakku. Harus bertemu ayahnya!" sederhana. Ia tak mau Agi juga hidup dalam kehinaan seperti dirinya.
"Siapa ayahnya? Apakah lelaki yang difoto itu? Panji? " lelaki itu terus bertanya meski tanpa perkenalan dalam percakapan via telefon itu.
"Benar. Panji adalah ayah dari Agi. Jangan sampai Juna yang merawat Agi. Dia itu player. Dia bahkan mucikari! Aku tak mau Agi di dalam genggamannya! "
Juna? Mucikari?
"Setelah Agi bersama Panji, apakah kau akan pergi? "
Rani meneteskan airmata, sesak didadanya semakin membuncah seketika. Perpisahan dengan Agi selalu menjadi bayang menakutkan dalam hidupnya. Tetapi lebih menakutkan jika Agi menjadi pria dengan segala dunia hitam Juna yang hina. Jangan sampai. Putra sucinya memiliki dua orangtua hina layaknya ia dan Juna.
"Ya. Yaa... " Ranni membekap mulutnya yang sesunggukan.
"Jangan menangis. Temui aku di depan Museum Panji. 1 Maret nanti. Bawa Agi. Dan akan aku bawa Panji Seka. "
"Iqbal! Kau mengenal Panji? "
"Urusanku sudah selesai."
Rani mendengar telefon diputus. Dadanya sesak membayangkan perpisahan dengan anak yang telah ia kandung. Ia susui, ia rawat sampai sebesar ini. Ia sangat bangga memiliki Agi. Dan kebanggannya pastilah bertambah jika Agi dimiliki oleh orang seperti Panji yang dikelilingi orang-orang yang baik.
***
Iqbal menemui Panji di pondok rumah Abi dan Umi. Menjumpai hal yang sangat ingin ia hindari. Sebuah takdir pahit yang selalu berhasil membuat paru-parunya menyempit sehingga sulit untuk bernafas. Namun ia harus temui Panji lebih dulu untuk memastikan semuanya. Juga untuk mencegah keadaan memburuk nantinya.
"Siapa? " tanya Panji pada Iqbal.
"Dia mengaku adalah teman lamamu. Perempuan bersama anak laki-laki berusia enam tahun. " jawab Iqbal. Seharusnya Panji sudah mengerti kemana arah pembicaraan Iqbal. Mengenai sebuah dosa besar dan aib yang amat sangat busuk itu akan segera terkuak. Detakan dada Panji menyepat karena takut akan adanya rumor terhadap dirinya dan keluarganya lagi.
"Kau sudah bertemu dengannya? Kau mengenalnya? "
"Kita baru dua kali bertemu. "
"Kenapa? Kenapa dia muncul? "
"Tampaknya ia ingin berpisah dengan pria bernama Juna dan memperebutkan hak asuh. Tetapi wanita itu mencarimu untuk menitipkan putranya padamu. " terang Iqbal. Ia tahu Lina mendengarkan di belakang sana. Ia sadar telah membuat hati wanita idamannya tergores sangat dalam.
"Anak lelaki itu tak ada hubungannya denganku. Kita sudah putus nasab. Dia harus mengikuti nasab ibunya karena ia terlahir dari sebuah dosa besar! Iqbal, aku mohon. Mereka tak seharusnya disini. "
Iqbal mengerti ketakutan Panji. Baru saja kakaknya kembali dari kehidupan yang sulit. Kini, langit diatas Panji menggelap kembali. Mengabarkan sebuah bencana akan muncul menerjang taman bunga yang baru saja Panji tanam.
"Aku akan berusaha semampuku. Aku datang kesini agar Mas Panji bisa menguatkan diri sebelum wanita itu menjumpai Mas. Mereka tak punya aturan dan tak tahu arti nasab. Yang mereka tahu dan cari adalah kehidupan bahagia dunia. ... Ini bukan sepenuhnya kesalahan Mas Panji. Ini semua takdir. "
"Terima kasih Iqbal. Jaza kallahu khoiron Iqbal. Mas Panji sangat berterimakasih padamu. "
"Aku permisi dulu Mas. Hanya itu yang mau aku kabarkan. "
Minggu sore yang tersiram semburat Jingga itu mewarnai langkah Iqbal meninggalkan area pondok. Menjadi background menakjubkan untuk hatinya yang sendu. Pemandangan mahameru terlihat di timur sana. Biru dan menjulang gagah. Membayangkan kemegahannya saja membuat dada bergetar. Teringat lagi penaklukannya pada Mahameru bersama Bapak yang menjadi Leadernya. Penaklukan pertama itu. Sungguh sangat sulit juga mengesankan. Tetapi rupanya pengalaman mengesankan itu tak cukup menaklukan hati seorang gadis bernama Lina dalam hidupnya. Yah, lagi-lagi Lina.
"Mas Iqbaaaal... " Deni memanggil dari selasar Masjid. Masjid Agung Baitul Makmur berdiri gagah berwarna putih gading. Lampu-lampu sudah dinyalakan karena hari sudah menggelap.
"Apa Den? "
"Nginep Mas? "
"Syukron. Lain kali aja aku nginepnya. "
"Bener ya? "
"Insyallah. " Iqbal melambai untuk perpisahannya pada Deni. Waktu dekat ini ia begitu tegang hanya karena memikirkan Rani, Panji, dan Juna. Ini bukan soal menyelamatkan Panji. Ini lebih soal menjaga nama baik keluarganya yang sempat terpuruk. Ia akan berusaha semampunya agar Panji dan Lina bisa bahagia tanpa ada gangguan dari Rani lagi.
Weelcome again to Panji. Cerita Panji. Budaya Panji.
Sederhana, menerima, semangat,...Dari Author Kholi 😉⛰️🗻
KAMU SEDANG MEMBACA
PANJI (Completed)
SpiritualBagaimana rasanya saat hidup hanya dihantui dosa besar? Dosa itu bahkan menjadi penyebab ia harus putus kuliah. Dosa itulah yang membuat ia pergi jauh dari keluarganya, dan menjalani kehidupan di jalan dengan terlunta-lunta. Dosa itu tak terhapuskan...