Chapter 17 : Pengakuan Panji

90 8 9
                                    

Keadaan Panji pulih setelah dirawat selama tiga hari. Banyak sekali pantangan dari dokter yang harus ia hindari. Atau kalau tidak keadaannya akan lebih buruk lagi.

Anehnya seberapapun Panji sakit hingga rasanya putus asa ia masih tetap bertahan. Walau terkadang Panji merasa dirinya menjadi gila. Apalagi kalau sudah dekat dengan Lina. Sifatnya seperti anak SD yang manja dan ingin diperhatikan.

"Sadarlah Panji. Jadilah lebih dewasa. " gumam Panji. Ia kini berada di kamar tamu pondok. Masih enggan saja bergabung dengan yang lain. Masih enggan juga bertemu dengan keluarganya. Kenapa? Apa rasa malu dalam dirinya sudah mengerak?

Panji menghembuskan nafas. Ia harus berubah. Demi Lina. Demi sosok yang begitu ia inginkan. Ya. Lina perempuan pertama yang Panji inginkan!!

Pintu kamar tamu, Panji buka. Langkahnya mantab menuju ruang makan pondok. Para santriwan yang selesai solat magrib langsung menuju ruang makan. Panji dengan mengacuhkan semua orang ikut makan bersama yang lain.

Suasana langsung berubah menjadi canggung. Beberapa menyapa Panji tapi berakhir pahit karena tak dihiraukan Panji. Panji menyantab nasi dengan sayur asam dan ikan layur itu di meja yang pojok. Tidak ada yang berani makan bersama lelaki yang misterius itu. Tampangnya saja dibuat sadis. Tak peduli dengan yang lain.

"Boleh gabung? " sapaan ketua santriwan membuat Panji menoleh. Dan mengangguk samar.

Ketua Santriwan itu mempunyai karisma beda dengan yang lain. Meski Panji tak mengenalnya, sekali lihat Panji sudah tahu kalau dia Ketua Santriwan. Sikapnya yang tenang, berani, dan lugas adalah pertanda yang signifikan.

"Mas nggak papa makan sayur asem? Maag nya nggak kumat? "

Wah iya. Panji lupa kalau dia punya mag kronis. Makanan asam adalah satu pantangan. Tapi sudah kepalang basah. Makanannya tiga separuh ia habiskan.

"Sudah bismilah. " jawab Panji singkat. Sambil terus menyuap makanannya.

"Alhamdulillahh.. Mugi-mugi Allah paring sehat barokah. " doa ketua Santriwan dengan nada takdzim. Wajahnya terus memasang ekspresi ramah. Cih. Pencitraan kah?

Setelah piringnya tandas, panji mencuci piringnya lalu pergi ke masjid untuk menunggu waktu solat isya'. Langkah Panji terhenti melihat tiga orang yang mengobrol itu. Dua kaum hawa dan satu adam.

Seluruh sarafnya menegang. Dua hawa itu Lina dan Ketua Santriwati. Dan si lelaki adalah... Adiknya, Iqbal!!!

Panji berusaha bersikap biasa saat mendekati tiga orang yang bercengkrama itu.

"Assalamualaikum. Dek Lina mau ke Masjid? " sapa Panji ramah.

Lina sore itu sangat anggun dan cantik. Jilbab jumbonya melebar sampai bawah siku. Menambah keanggunannya. Dilengannya ia bopong Al-qur'an dan mukena.

"Eh.. Waalaikum salam mas Panji. Iya. Lina mau ke masjid. "

Jawab Lina dengan senyum mempesonanya. Iqbal yang tak kuat karena rasa cemburu berdeham. Mengingatkan dirinya masih ada disana.

"Ehemm.. Mas Panji. Kaifa hal? " kata Iqbal dengan nada ramah.

Saat ini situasi sangat canggung. Menjawab, Panji malas. Tidak menjawab Lina akan bertanya-tanya atau malah Kecewa dengan sikapnya.

"Baik." singkat. Tak ada gurat senyum sedikit pun. Jangankan memeluknya hangat. Bertegur sapa biasa saja seperti ini masih terasa jauh? Seakan dia pemilik raga Panji. Tapi rohnya bukan Panji.

"Alhamdulillah. Main ke rumah Mas. Silaturahim.. " pancing Iqbal. Berharap kakak laki-lakinya akan tergerak. Kalau Mas Akhnas yang menghadapi Mas Panji saat ini dia pasti akan menyeret Panji. Mengahajarnya biar pikirannya sadar. Menghajar? Atau mungkin itu hanya akan membuat Panji semakin kehilangan dirinya??

"Kapan-kapan. " singkat lagi.

"Ayo.. Pada ngapain nih? Sebentar lagi mau adzan isya'lho.. " suara Ketua Santriwan memecah canggung mereka. "Mbak Fatma bukannya jadwal keamanan? Nyatetin santriwati yang telat solat? "

Fatma Ketua Santriwati itu menepuk jidat. "Astaghfirullaaah.. Iya mas Joko. Hampir lupa. Tadi buru-buru diajakin mbak Lina sih. Jazakallahu khoiron Mas.. "

"Aamiin.. " jawab Ketua Santriwan.
Wanita yang memiliki ketegasan itu berbalik lagi ke asrama putri. Mengawasi santriwati yang telat solat.

"Ayo.. Para ikhwan ikut saya yaa.. Mari Mbak Linaa.. " Joko menarik lengan Iqbal dan Panji bersebrangan. Kedua kakak adik itu seperti sapi yang dicucuk hidungnya. Menurut saat mereka dibawa ke jeding putra untuk wudhu.

"Iqbal. Lina sudah punya calon belum? " pertanyaan panas itu sontak membuat otot Iqbal menegang. Aktifitasnya yang ingin berwudhu terhenti. Beralih atensi menatap kakaknya. "Punya? "

"Memang kenapa Mas? " Iqbal tidak berani mengakui kalau ia ingin memiliki Lina. Kalau ia adalah calon menantunya Abi dan Umi nya Lina.

"Aku..." Panji mengecilkan volume suaranya karena jeding putra mulai ramai. "Mencintainya! "

Iqbal mengepalkan kedua tangannya. Hatinya sangat panas. Rasanya ia tak kuat menatap kakaknya lebih lama. Salah-salah ia tak bisa menahan emosinya yang bergejolak lalu meninju kakaknya.

"Mas Panji tanya langsung ke Lina ya.. " Iqbal kemudian memilih pergi. Memilih mundur dulu. Meladeni dengan hati panas ia takut tak bisa mengambil sikap. Walau ia adalah kakaknya, ia tak ingin semudah itu menyerahkan Lina-nya. Tak semudah itu mengalah. Menghilangkan perasaan kasih sayang yang terlanjur mengakar dihatinya?

Panji menatap kepergian Iqbal. Akhirnya Iqbal membuktikan persangkaan Panji bahwa ia juga mencintai Lina. Mereka berdua mencintai gadis yang sama!!

Kenapa? Kenapa Panji harus mencintai seseorang yang sama dengan adiknya? Kenapa harus mencintai seorang gadis yang mungkin sudah menyerahlan hatinya kepada pria lain?? Kenapa?

***



















Sayangnya wanita nggak bisa punya dua suami. Tapi suami boleh punya dua istri...

Mohon tinggalkan jejak.. Terimakasih readers yang bahagia... 🙏🙏🙏🤓🤓🤓🤓

PANJI  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang