Chapter 13 : Kematian Adalah Nasihat

102 11 18
                                    

Disisi bumi manapun jika ada kesempurnaan maka juga ada kekurangan yang menyertainya.
Sebahagia apapun dirinya.
Sekaya apapun yang ia punya, ia tetap saja manusia yang tak luput dari lubang-lubang yang membuat dirinya tak sempurna.
Cacat.
Bahkan hina?

***

Iqbal Pov

Aku menghempaskan tubuh lelahku. Menatap platform putih di langit kamarku. Tidak. Tidak bisa hanya putih. Bayangan seseorang hadir begitu saja, bahkan suaranya terngiang dalam gema sel-sel otakku. Hatiku pun kembali mengilu. Airmata mulai mengumpul dan siap tumpah kapan saja. Karena ini dikamarku sendiri, aku biarkan saja airmataku mengalir. Menikmati rasa sedih dan kehilangan yang amat sangat.

Tak sanggup! Rasa sedih ini semakin menumpuk. Aku semakin tergugu. Untuk meredamnya begitu sulit. Rasa sakit ini malah semakin menjadi.

Ya Allah. Kenapa harus kakakku? Dia sudah Kau ambil di usia mudanya. Saat ia masih bisa melanjutkan hidup yang dibutuhkan banyak orang. Meskipun ke empat kakakku semua merantau dan jarang pulang, namun berjumpa dengan kematian itu berarti kakakku tidak bisa kutemui lagi. Sampai kapanpun hingga aku juga menemui ajalku sendiri.

Tok tok..

Ketukan dipintu membuyarkan tangusanku, aku segera menyeka mataku yang berair.

"Iqbal.. Ayo makan malam! Kenapa nggak makan? " bapak masuk dan berkata dengan lembut. Wajahnya yang terukir senyum juga sama kelamnya. Menahan kehilangan yang menganga.

"Iqbal belum lapar pak," jawabku. Rasanya tak nafsu makan apapun. Perasaan sedih ini ibarat badai yang membuatku kehilangan nafsu makan lagi. Entah sampai kapan.

"Tapi badanmu butuh diisi. Jangan menganiaya badan sendiri. Kalau kamu juga sakit, Bapak dan Ibu akan sangat sedih. " Bapak mengelus kepalaku. "Qodar manusia sudah Allah catat 500 ribu tahun sebelum manusia diciptakan Bal." nasihat Bapak. "Kullu nafsi dzaa iqotul mauuut.. Tiap-tiap dari manusia akan manjumpau maut. Kita akan meninggalkan dunia ini, yang mana Addun yaa mata ulkholil. Dunia ini hanya kesenangan yang sedikit. Sebahagia apapun, sekaya apapun tidak bisa digantikan dengan kesenangan akhirot yang abadi." nasihab bapak membuat airmataku kembali mengalir.

"Semua anggota keluarga yang lain juga sedih Bal. Terlebih ibumu. Dialah yang mengandung kalian, menyusui kalian, dan mendidik kalian hingga menjadi anak-anak yang membanggakan seperti sekarang. Dia sudah sangat sedih dengan tidak pulangnya Panji, ditambah, dia harus ditinggal pergi anak kandungnya. Kita sebagai lelaki harus lebih tegar Bal.. Jangan buat ibumu semakin khawatir dan bikin dia stres."

Benar juga. Diantara kami, tentu ibu yang paling sedih. Saat berita Mas Panji dulu menyebar di kampung, dia bahkan tidak mau makan berhari-hari, jadi, harus di paksa-paksa. Apalagi kehilangan yang nyata ini. Meski aku pun juga menyadari, bahwa keadaan Mas Anas kritis dan sewaktu-waktu ia tidak akan bertahan. Tapi tetap saja.. Bagiku ini terlalu cepat dan~nyata.

Aku beranjak duduk. Bapak terlihat sangat tegar dan tenang. Aku yakin bapak berusaha sekuat tenaga agar semua anak-anaknya tidak melulu terguncang dalam jurang kehilangan. Apalagi istrinya. Ibu.. Yang sangat bapak cintai.

"Siapa yang masak pak? " biasanya yang masak ibu namun~~

"Ibu kamu lah. Makanya ayo keluar, makan bareng. "

Ibu ternyata masih bertahan. Jika ia tampak terpuruk terus, malah akan membuat pertahanan keluarga kami jadi jebol. Kedepannya pasti lebih sulit lagi. Lebih sakit lagi.

Manusia memang harus siap kehilangan. Karena hidup manusia didunia hanya sementara. Ibarat sebuah perjalanan, di dunia hanya mampir untuk minum, lalu melanjutkan perjalanan lagi ke dunia barzah.

"Yuk ah. Bapak tunggu diluar ya.. "

"Hm. " sebelum ke ruang makan, aku pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka. Fighting lagi Bal.

Meja makan di rumah sudah lama tidak lengkap seperti saat ini. Bahkan kakak sulung juga masih dirumah setelah seminggu meninggalnya Mas Anas. Mbak Sifa juga ada beserta suaminya Mas Fadli. Dan si kembar yang bertolak belakang sifat..

Namun, masih ada yang kurang. Ialah Mas Panji Seka. Bahkan kabar dia dimana pun tidak ada yang tahu. Kata Mas Anas, sebelun dia jatuh koma, Mas Panji berada di Makasar. Bapak dan Mas Akhnas menyusulnya. Tapi mereka menemui jalan buntu karena tidak ada alamat spesifik atau petunjuk untuk mencari Mas Panji dimana? Jadinya, mereka hanya berputar-putar Makasar hingga memutuskan untuk pulang. Itu-sudah setengah tahun yang lalu.

Mas Panji memang tidak akan dicoret dari daftar keluarga. Meski ia telah ternodai oleh qodar salah yang hina. Yang membuat keluargaku mendapat omongan miring dari para tetangga.

"Hmmm... Aromanya enak nih. " Akbar mengendus aroma masakan buatan ibu sambil mengusek rambutnya dengan handuk karena habis keramas. Ibu hanya mengulum senyum.

"Masak sih, " Ibu ditemani Mbak Sifa dan Mbak Rini-menantunya, menyiapkan piring-piring dan makanan di meja makan. Aku ikut duduk disebelah Hasan di kursi yang kosong.

"Bapak udah cerita belom? "
Riski yang merasakan suasana keluarganya yang kelabu memecah hening.

"Apa Pak? " tanya Akbar antusias. Lebih cepat dengan lontaran kami kakaknya pada pertanyaan yang sama.

"Kakek kalian alergi kangkung lhoooh.. "

"Yaaah. .. Kalo itu mah juga udah denger Pak " Akbar ber yah kecewa. Kalo urusan seperti ini Akbar memang yang paling gesit menyela. Paling gesit ngeyel, dan paling bisa bikin suasana tambah enjoy saja. Berbeda debgan Hasan dan aku yang lebih banyak diamnya.

"Kenapa emang? Nggak tau itu macam cerita klasik yang nggak ngebosenin? " celetuk Akhnas. Kakak sulungku.

"Ngebosenin atau nggak nya kan tergantung konsumennya Mas. Bagiku itu udah nggak seru lagi. "

"Lo nggak ngerti juga, kalo ke jeniusan kakek kita itu ibarat otak kita bertujuh dijadiin satu. Dia cerdas dan pintar kayak gue-hehe. Lembut seperti Sifa, jenius gambar kayak Iqbal, wartawan lepas dan penulis juga kayak Akhnas. Anak Band pula kayak Panji waktu SMU. Kan kan Ayah? "
Kakakku sulung ini juga nggak kalah cerewetnya.

"Iya iya. Tapi kakekmu nggak bisa nggambar lhoo.. Entah Iqbal itu kesambet arwah siapa kok bisa punya bakat gambar. " Bapak melempar senyum canda padaku. Aku balas dengan cengiran malu.

"Kesambet Leonardo da vinci pak. " sahut Akbar.

"Siaaap.. "

Mbak Sifa, Mbak Rini dan ibu keluar dari dapur. Makanan sudah siap di meja. Waktunya untuk santap malam.

Aku menyadari bahwa yang pergi memang harus pergi, dan yang masih hidup harus tetap melanjutkan hidup. Menjalani misi dari Allah melewati dunia yang begitu hijau dan menggiurkan. Seperti berjalan di tepian jurang, siapa yang lengah akan terperosok dalam kesenangan dunia. Dan kematian adalah Nasihat yang haqiqi bagi tiap insan yang menyadari kemana dirinya akan singgah setelah mati akibat amal perbuatannya di dunia. Surgakah? Atau Nerakakah?

***
Apa kabar Panji diluar sana? Apakah ia akan menemukan jalan pulang?
Masih hidup nggak yaa. ..nnn

PANJI  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang