Ke mana pun langkah kakimu pergi, ingatlah keluarga yang kan selalu menanti***
Anas hanya terkekeh saat melihat Panji makan dengan lahap. Meski Panji agak risih diperhatikan intens seperti itu, tapi Panji memilih tidak menggubris kakaknya dan terus makan.
"Mas, Anas terpesona denganku?"
Sebuah tendangan di tulang kering Panji membuat Panji mengerang.
"Apanya?" tanya Anas. Aura kekuasaannya menguar seketika.
"Mas Anas nyari aku sampai ke sini?"
"Niat utama bukan itu. Mas lagi nulis artikel saja mengenai budaya sini."
"Wah... Mas Anas jadi wartawan lepas?"
"Juga disebut seperti itulah."
"Keren," komen Panji.
Panji sedikit iri dengan kehidupan Anas yang sempurna. Semuanya seperti sepaket dalam diri Anas. Tampang paling ganteng satu keluarga. Punya karisma. Ramah dan sopan. Dan juga tegas!
"Menurutku kamu lebih keren," ucap Anas melihat perubahan mood adiknya yang drastis.
"Apanya? Masa depanku sudah suram, Mas. "
"Suram? Kalo kamu memilih suram, tentu saja suram. Tapi kau bisa melalui sampai sejauh ini bagiku sudah keren."
"..." Panji terdiam mendengar Anas memujinya.
"Ibu sangat menyayangimu.
Dia pun ingin kamu pulang. Tapi, kalau pulang hanya akan menyakitimu, ibu rela membiarkanmu hidup bebas di luar sana asalkan kau bahagia."Belum ada kata-kata yang mampu Panji ucapkan. Ia menaruh makanannya. Stik di depannya sudah tidak senikmat tadi. Rasanya ia tak mampu menelan lagi. Sesak. Jika ia mengatakan ia sangat rindu, Ia ingin pulang, apa mas Anas akan memahaminya?
Tidak! Mas Anas tau sifat-sifat adiknya. Tentunya dia akan sangat mendukungnya.
"Sudah kenyang?"
"Maaf, Mas. Teman-temanku pasti sudah menunggu lama. Sepertinya aku harus pergi."
Panji beranjak dari duduknya. "Terima kasih makanannya, Mas."
"Panji."
Panji menghentikan langkah.
"Bagaimana tentang keluargamu yang menunggumu selama empat tahun ini?"
Deg.
"Bahkan kau lebih memilih teman jalanannmu daripada keluargamu!" nada Anas semakin menajam. Seakan belati yang menyayat luka penyesalan di dalam hati Panji.
Deg.
"Apa, Lukamu masih belum sembuh juga?"
"Belum, Mas."
"Kalau begitu, pergilah. Jangan lupa, ada rumah tempat kau bisa kembali pulang."
Panji melanjutkan langkahnya. Ia tak ingin menoleh lagi, atau pertahanannya akan runtuh saat itu juga. Ia meninggalkan kesempatan untuk bertemu keluarganya, lagi.
Bapak ... Ibu ... Adik-adik ... Panji rindu dengan kekonyolan mereka semua.
***
Panji mengelap airmatanya yang kembali berceceran.
"Lagi-lagi menangis." Tris sudah merangkulnya dari belakang.
"Bicara apa kamu?"
"Bicara, kalau kita nanti akan menikah, ya. Cukup panggil penghulu aja, beres. Nggak perlu resepsi sama wali. Hehehe ...."
"Mana sah kalau begitu?"
"Oi! " Di depan Panji, Sena dan Gun menunggunya. Tris menggandengnya.
Di belakang sana, ia tinggalkan keluarga yang sangat ia rindukan.
Perjalanan pulang ke PM mereka, hati Panji diliputi rasa sesak. Meski ia dikelilingi orang yang peduli dengannya, tetapi angannya masih membayang pada keluarganya.
Apakah ia serakah?
Ia sudah membuang keluarganya, namun ia masih ingin bersama mereka. Apakah ia masih diterima? Karena ia telah mencoreng nama baik keluarganya. Apalagi posisi Bapaknya sebagai guru pondok pesantren. Semakin dilemalah ia untuk pulkam.
Drap drap drap...
"Lo cari di sekitar sana!" seorang pemuda yang tampak familiar mengomando beberapa teman laki-lakinya. Sepertinya sedang sibuk mencari sesuatu.
"Tunggu!" orang itu menghentikan Panji dan teman-temannya.
"Ada apa mas? Masalah cilok tadi siang, ya? Kan kami nggak sengaja...." ucap Sena. Ternyata pemuda itu adalah korban cilok Tris yang nyasar tadi siang.
"Bukan itu masalahnya. Gue perlu bicara sama orang ini." orang itu yang tak lain adalah Sidik menunjuk Panji dengan tidak sopannya.
"Saya?"
"Iya. Empat mata aja. Cepetan ikut gua!"
Panji mengekor Sidik ke tempat agak jauh dan dirasa tak ada yang menguping mereka.
"Lo punya pikiran?"
Siapa yang nggak bingung mendapat pertanyaan retoris semacam itu. Seperti Panji yang kebingungan menjawab apa?
"Maksudnya?"
"Lo adalah Panji Seka." Dan kali ini sebuah penyataan.
"Benar."
"Gue nggak mau berdebat panjang sama lo. Apalagi melakukan negosiasi yang bikin capek. Gue langsung aja ke intinya."
"Uhmm ... Silahkan."
"Gue adalah sahabat Anas. Selama empat tahun ini menemaninya mencari adiknya. Dan aku nggak nyangka kalau saat bertemu adiknya, adiknya malah menghindarinya."
"Masalah itu sudah kubicarakan dengan Mas Anas. Saat waktunya nanti aku janji akan pulang. Dan menghubungi Mas Anas," kata Panji.
"Kapan? Nunggu keluarga lo satu per satu mati? Kena strok? Emang lo tau ajal itu datangnya kapan?"
Pertanyaan Sidik yang tajam membuat hati Panji kembali memanas.
Deg
"Mas. Saya tau kalau mati akan datang kapan saja. Tapi pulang juga pilihan yang berat buat saya! Saya sudah membuat nama keluarga saya hancur. Bahkan nama baik saya sendiri! Mas pikir saya senang hidup jauh dari keluarga? Saya juga nggak tahan Mas!"
"..."
"Saya nggak tahu kalau Mas Anas akan berkeliling kota mencariku. Saya harap Mas bisa membawa kakak saya pulang. Dan tunggu saja di rumah!"
"Anas Sekarat Ji. Dia kritis setiap saat. Apa lo masih tetap kekeuh nggak mau pulang?"
Hati Panji kembali di hantam. Kenyataan pahit yang sulit diterima akal sehatnya. "Sekarat? "
"Iya. Apa lo nggak sadar?"
"Nggak. Saya nggak sadar. Bahkan tadi saja dia baik-baik saja. Dia sehat. Dia kelihatan nggak sekarat!" Panji mencoba menyanggah pernyataan Sidik. Berharap itu adalah kebohongan.
"Cukup sederhana menyimpulkannya. Karena Anas adalah kakak, dan lo, adalah adik Ji. Lo nggak tau apa-apa soal kakak lo. Semuanya. Makanya lo nggak ngerti apa-apa sekarang! Bahkan perubahan terkecil yang terjadi pada kakak lo."
Triing triing triing ... Hp Sidik berbunyi.
"Sudah ketemu? Baik-baik aja? Ok."
"Sebaiknya lo putusin segera!"
Sidik pun berlari pergi.
Panji? Dia masih merenungi perkataan Sidik. Yah, mungkin inilah saatnya. Saat ia harus menghadapi masalahnya! Ia akan kembali pulang.
🐭
Hii.. Ketemu lagi dengan author yg masih harus banyak belajar..
Terimakasih votmennya.. Author menjadi bertenaga untuk melanjutkan kehidupan Panji ke depannya.. ☺✌
KAMU SEDANG MEMBACA
PANJI (Completed)
SpiritualBagaimana rasanya saat hidup hanya dihantui dosa besar? Dosa itu bahkan menjadi penyebab ia harus putus kuliah. Dosa itulah yang membuat ia pergi jauh dari keluarganya, dan menjalani kehidupan di jalan dengan terlunta-lunta. Dosa itu tak terhapuskan...