Chapter 22 : Hipotermia

76 6 2
                                    

Aku pernah bertemu dengan seseorang.
Dia tak perlu kata-kata bijak dan putitis.
Cukup dia bicara, untuk membuat orang lain memperhatikannya.
Fisiknya, adalah nilai Applaus-nya yang lain.
Tingkahnya selalu membuat orang lain penasaran.

Kehadirannya adalah bonanza sekaligus 'ancaman'.

Karena orang seperti itu adalah sang pencuri hati yang sempurna!'

🔪🔪🔪

Morning in freeze

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Morning in freeze... 🌨🌫

Pemandangan Gunung Bromo biasanya terlihat indah kalau tak terhalau kabut. Di kejauhan tampak siluet Semeru yang tertutup kabut puncaknya. Hawa dingin menyerang. Walaupun saat itu baru tengah hari.
Seorang pengendara trail memacu motor trail nya dijalanan setapak jalur trail di Bromo. Tak menghiraukan cuaca dingin saat itu. Atau setapak yang becek karena air hujan. Jaket kulitnya lembab. Juga semua atribut yang ia kenakan.

Persetan. Ia tak pedulikan. Kecepatan dan kecepatan yang menaikkan adrenalinnya untuk melupakan pahit yang ia rasakan.
Dirinya butuh pengalihan. Dirinya butuh hal yang bisa menghempaskan rasa sesaknya. Tapi siapa?

Tidak ada yang memihaknya dalam hal ini. Pemuda itu sendirian memendam perih. Bahkan wanita yang ia cintai tampak bahagia dengan lelaki lain. Kenapa? Kenapa dulu ia begitu berharap?

Lelaki itu memacu motornya terlalu cepat. Padahal jalanan becek karena musim hujan. Bannya tergelincir dan ia terseret keluar dari jalur setapak. Bergulingan di jurang rendah. Merasakan kepalanya yang pusing karena putaran dan sedikit benturan.

Lelaki itu -Iqbal-. Melepas helm-nya. Merasakan rasa anyir di mulutnya. Lidahnya tergigit saat bergulingan tadi. Selebihnya, tak ada luka fisik yang parah. Yang sangat tersayat adalah hatinya yang terasa pilu dan sesak.

"Kenapa Bal? Lina sudah memilih. " gumam Iqbal. Susah payah ia mendaki jurang rendah itu. Motornya juga setengah terperosok. Untungnya tak terlalu dalam sehingga tidak menyulitkan evakuasi.

Iqbal merasa lelah. Ia tiduran di atas rerumputan yang basah. Tak peduli dengan pakaian yang kotor lumpur. Nafasnya masih mencari oksigen yang dibutuhkan tubuhnya. Mengimbangi jantungnya yang memompa darah cepat.

Suara ringtone HP terdengar.

Sebuah panggilan lokal dari adiknya. Ia mengangkatnya.

"Halo? "

"Mas Iqbal dimana? " suara Akbar terdengar khawatir setengah marah.

"Gunung. "

"Yak! Jangan bertindak aneh-aneh ya mas? Seng sabaar. "

Iqbal tertawa mendengar kekhawatiran Akbar. "Ya nggaklah. Hidupku nggak semurah itu buat ditukar untuk menghapus patah hati. Aku cuma jalan-jalan sedikit aja kok"

"Pokonya Mas Iqbal kalo sudah selesai langsung pulang ya?"

"Kalo nggak mau? " Iqbal malas sekali kembali ke rumah.

"Mas harus pulang dulu, titik!! "

Telepon dimatikan. Ada catatan 33 panggilan tak terjawab dan satu panggilan masuk.

Sepertinya Akbar ini menganggap masalahnya sangat simple. Seperti mau membeli barang tapi malah keduluan oleh orang lain?

Tapi ini urusan hati! Luka fisik bisa sembuh. Tetapi luka hati tak bisa dengan mudah dicari obatnya. Rasanya akan sangat sesak apalagi jika bertemu dengan pemicunya.

Iqbal bangkit dan berusaha menaikan motornga ke jalur setapak. Memacunya lagi. Menembus kepekatan kabut yang membuat hatinya gentar akan kesendirian yang ia alami.

***

Upacara pernikahan untuk Panji dan Lina dilakukan secara sederhana. Hanya keluarga besar dan penghulu saja. Panji lebih memilih begini. Disamping ia juga belum memiliki penghasilan untuk membuat acara yang megah untuk istri tercintanya.

Pembacaan ijab qabul di pagi itu terasa khidmat. Semuanya mengucap sah. Pengantin pria mengecup dahi pengantin wanita dengan penuh haru. Membuat orang-orang di dekitar mereka mesam mesem bahagia.

Walaupum Pak Riski tidak menyebar undangan, ia tetap didatangi tamu-tamu yang ikut menyumbang atau bersukacita atas pernikahan putra pak Riski. Karena Pak Riski termasuk orang yang aktif dalam kemasyarakatan dan organisasi.

Acara berlangsung ramai sampai sore.
Adzan isya berkumandang di kejauhan. Lina bersiap menyiapkan makan malam untuk Panji suaminya.

"Iqbal!" seruan ibu datang dari beranda rumah. Membuat para anggota yang lain berdatangan.

Di ruang tamu Lina melihat Iqbal yang saat itu pucat pasi kedinginan. Matanya menatap tak fokus. Tubuhnya tremor sampai mengejang-ngejang.

Airmata Lina sontak mengalir deras. Panji langsung menenangkan Lina. Menyembunyikan penglitahan Lina dalam dadanya. Tak mau membiarkan istrinya melihat hal yang akan membuat dirinya terguncang.

"Iqbal sepertinya terserang hipotermia. Akbar, bantu bawa dia ke kamar. Ganti bajunya. Lalu kelonin sampai tremornya mereda!! " perintah Panji pada adik-adiknya.

Kedua adik kembarnya mengerti dan melaksanakan perintah sang kakak. Pak Riski yang baru saja melepas tamu pergi ikut bergabung juga.

"Kenapa ini? "

"Iqbal pak.. " Arum hanya memberi tanda. Riski mengerti dan bergegas ke kamar putranya yang saat ini menderita.

"Tenanglah Lin. Iqbal tidak menyalahkanmu. Ini bulan salahmu. " Panji mengelusi Lina. Lalu membawa Lina ke kamar. Menenangkannya.

Situasi macam apa ini?

Sepertinya karena Panjilah keduanya menanggung derita hati yang menggila ini?

Panji terus mengusapi airmata Lina yang bercucuran.

"Hei, Lina, tatap aku!"

Panji menangkupkan tangannya. Memaksa Lina menatapnya dengan lembut.

"Lina. Apa aku merusak hidupmu? " Panji tak bisa memilih kalimatnya. Malah kalimat yang membuat dadanya sesak dan tenggorokannya tercekat.

"Lin. Iqbal nggak selemah itu. "

Panji mengelus lagi airmata Lina yang meleleh.

"Apa kau menyesal? "

Lina terdiam. Keputusan yang kemarin diambilnya dengan bulat sekarang terasa sangat menyakitkan. Dan ia tak berhak untuk menyesal!

Perempuan itu menggeleng. Mengabaikan perasaanya yang kesakitan.

Panji mendekatkan wajah mereka. Semili lagi bibir keduanya saling bersentuhan. Namun Panji beralih memeluk Lina.

"Maafkan aku Lina. Kamu nggak pantes menanggung sedih kayak gini. " Panji mempererat pelukannya.

Ia belum bisa menyentuh wanitanya kalau luka mereka masih basah.

"Dengar. Besok Mas Panji akan cari kerja. Dan buat ekonomi rumah tangga kita jadi lebih baik. Lina doakan mas Panji ya? "

Lina mengangguk samar. Panji tertawa renyah. "syukron istriku. Zaujatiku. Sekarang Lina istirahat ya? "

Panji menidurkan Lina di ranjang. Gadisnya pasti sangat lelah. Emosinya terforsir Akhir-akhir ini. Membuatnya juga ikut menderita.















Bagi pembaca yang sudah baca sampai bab ini, terimakasih banget. 🙏🙏🙏😷

Dan semua apresiasinya. Kalau bisa tetep beri apresiasinya yaa.. Syukron. Thank you 🙏🙏🤓☺

Hm,

PANJI  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang