Chapter 19 : Keputusan Bulat

79 8 0
                                    

Css csss

Tak ada teriakan yang terdengar, membuat pria tambun paruh baya itu semakin menjadi jadi. Setelah menggunakan 'asbak hidup'nya ia menendang-nendangnya. Menggunakan sebagai samsak. Rasa buas didalam dirinya membeludak saat ini. Jiwa psikopat yang menguasai nuraninya membuat ia tak memiliki rasa belas kasih sedikit pun pada korban yang terikat rantai di kaki dan tangannya, yang terus saja mendapat serangan kakinya yang dibalut sepatu pantovel mahal.

Anehnya, orang ini masih hidup. Bernafas. Tak berteriak juga. Benar-benar orang yang tangguh!

"Aah.. Aku bosan. Mau main apa ya? " pria itu tampak berpikir. Mengerutkan dahinya yang sudah kerut. "Ahha!! "

Sang pria mengambil lilin. Menyalakannya. Disudut ruangan ada besi panjang dengan ujung pipih yang memang sengaja dibuat seperti itu.

Cukup lama bagian pipih itu dipanggang diatas api. Setelah panas dan sedikit membara tanpa ragu si pria menanjapkan ujung pipih besi panas ke dada korban dibawahnya. Menekannya kuat.

Si korban mengejang. Akhirnya saat detik kesakitan yang sangat. Saat ujung itu tak juga dicabut dari kulitnya yang melepuh, dia berteriak. Airmata mengalir dari ujung netranya yang menatap putus asa.

Si pria tambun tertawa senang, akhirnya korbannya berteriak.

***

"Mas Panji! Mas! Bangun! "

Panji membuka matanya. Tubuhnya masih terbaring dikasur. Tremor parah. Bahkan ia sudah tak berselimut lagi. Seprai yang membalut kasur pun tampak berantakan. Disampingnya, adiknya Iqbal membangunkannya penuh kekhawatiran.

"Mas Panji mimpi buruk?"

Panji beringsut duduk. Mengelap keringat dingin yang membanjiri wajah dan tubuhnya. "Jam berapa sekarang? "

"Tiga pagi mas. "

Panji turun dari ranjangnya, hendak mengambil air wudhu untuk solat malam. Saat ini ia hanya ingin menangis. Menumpahkan rasa sakit yang sangat pada batin serta fisiknya.
Panji Seka tahu segala hal yang dialaminya karena Allah mencintainya, maka dia disiksa di dunia. Bukannya di akhirot di api Neraka yang tak pernah padam selama-lamanya!!

Allah Maha Baik. Allah Maha Mengetahui hamba-hamba lemahnya.

***

BLar!!

Begitulah kiranya reaksi yang dialami Iqbal. Seperti petir yang menyambar. Gempa yang dahsyat. Tsunami yang mengoyak-oyak. Baginya juga kabar permintaan Mas Panji melamar Lina juga sebuah bencana yang datangnya secara tibA-tiba.

Sangat menyakitkan. Dan mengejutkan.

Tetap saja. Ia merasa sangat tidak ikhlas.

Suasana pagi itu terasa amat sakit bagi semua orang. Bahkan mungkin juga bagi Panji Seka.

Semua anggota yang mau berangkat kuliah pun, pada mengurungkan niatnya.

"Mas Panji yakin? " Arum berkata lembut. Ia mengelus bahu putranya. Biasanya dulu putranya sangat hangat. Ia pasti balas memeluk dan memanja. Tetapi seorang lelaki ini seperti bukan putranya saja. Hanya pemilik raga putranya?

"Yakin bu. Sebanyak apapun ibu tanya lagi, Panji sudah yakin!"

Parah!

"Ibu.. Masih kehilangan Mas Anas? "

Panji sudah diberitahu Riski kalau kakaknya Anas sudah meninggal karena sindrom GB. Tidak terselamatkan di usianya yang saat itu baru dua puluh enam tahun.

"Ibu sudah mengikhlaskan Masmu.. Yang Ibu khawatirkan saat ini justru kamu. Kamu siap? "

Panji, sebenarnya ia gentar. Memiliki kekhalalan dengan seorang wanita saja dulu dia tidak berani. Kini dengan kurang ajarnya ia justru menginginkan berlian elok seperti Lina Qusnul.

"Yakin Bu. " singkat. Tegas. Tanpa ragu.

Semuanya menghembuskan nafas. Entah kenapa, seakan seperti nafas lelah. Nafas sesak.

"Kalo gitu ibu bicaraain sama Bapak dulu ya? Mas Panji istirahat. " Ibu berucap lembut. Ia membelai putranya penuh sayang.

"Panji tidak bisa disini saja? Mendengar keputusan Bapak ibu? "

"Ji. Bapak perlu waktu untuk ibumu. Kalau kamu nggak mau istirahat. Nih, bapak pinjami motor. Kamu segarkan dulu fikiran kamu dengan main main ke lingkungan sekitar. Atau kalau tidak, ke toko bapak yang di Tumpang ya? "

Panji menerima kunci motor CBR bapaknya. Yah, mungkin dengan merasakan angin pagi Malang, ia bisa berfikir jernih. Mengendorkan otot otaknya yang menegang.

Dengan dibalut jaket kulit dan celana kargo motif tentara, Panji pergi. Entah tujuan mana, ia belum memilih pasti. Ke pondok kah? Menemui bidadari surga itu? Ah, belum saatnya. Ia harus bersabar dulu sampai ia menyatakan keinginan untuk membuat ikrar halal pada gadis yang bak berlian mahal itu.

Rasanya melamar hal yang dulu saja tak pantas ia bayangkan, sangat mendebarkan. Juga, menyakitkan. Karena dia harus mengoyak dinding bunga yang tumbuh dengan rapi dan indah itu untuk mencapai tujuannya. Bunga-bunga itu pun hancur. Menyisakan luka dan sakit yang mendalam bagi sekitarnya. Dengan Panji yang tetap melangkah, menggapai apa yang sudah menjadi tujuannya.











Terimakasih. Mohon vote dan komennya. Itu buat vitamin banget bagi Author ya. Klik aja. Cepat kaaaan?? Terimakasiih 🤓🤓🤓

Dari sini author mampir lagi. Ini sudah revisi ke beberapa kali. Sambil lanjutin yang mau di up. Kalau masih ada bagian yang kurang silahkan langsung komen aja ya,,  😵😄

PANJI  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang